10

183 16 1
                                    

Setiap pesan-pesan yang ia kirim selalu diabaikan dalam keadaan abu-abu tanpa ada niatan dari si penerima untuk menghubunginya kembali. Rania membenci perasaan bersalah yang meski sedikit, terus saja menghantuinya setiap hari. Nggak ada keinginan yang paling ia harapkan terjadi selain waktu berhenti dan nggak pernah berputar lagi untuk memaksanya bergerak.

Dia mengerti dengan semua hal yang dijelaskan Evan. Mereka sudah berjuang sejauh ini untuk bisa bersama. Jika memang ia harus bertunangan dengan Joong, ia tak keberatan. Evan juga mengerti, mereka melakukan ini demi kebaikan bersama.

Rania memutuskan untuk beranjak dan mengambil barang bawaannya. Evan mungkin tidak akan kembali dalam beberapa menit, pikirnya. Tapi lelaki itu baru saja membuka pintu dan membawa dua kantong plastik berisi makanan.

Raut wajahnya bertanya-tanya.

"Aku beliin kamu bubur di depan, makan dulu yuk," ungkapnya sambil dengan cepat menyiapkan dua mangkuk untuk mereka berdua.

Aroma hangat dari bumbu menguar ke seluruh ruangan. Namun Rania memilih menggeleng. "Aku lagi nggak pengen makan bubur. Kamu aja."

Evan menghampiri Rania dan merangkul pundaknya. Memperhatikan luka memar yang terlihat di dekat telinganya. "Masih sakit?"

Dengan cepat Rania menutupnya dengan rambut.

"Mau aku beliin apa biar sekalian? Kamu belum makan dari kemarin, kan?"

"Enggak. Gak apa-apa nanti aku sarapan di jalan aja," putusnya. Ia terkejut dan sedikit menghindar ketika Evan mencium pipinya tanpa aba-aba.

"Oke, tapi harus sarapan. Kabarin aku kalo kamu udah sampe. Ya, sayang?"

Rania balas tersenyum mengiyakan. "Aku pulang dulu ya."

Setelahnya Evan hanya menatap sarapan yang sudah tersaji di meja, meninggalkannya begitu saja sampai mencair.

••••••••

Joong memarkirkan motornya di depan sebuah kafe. Sepertinya ia sudah mulai terbiasa mengkonsumsi kafein tiga kali seminggu. Cukup sering, meski dia memang suka kopi tapi nggak berani minum banyak-banyak kalau nggak ada penyebabnya.

Kakinya membawa Joong melangkah masuk dan duduk di meja tempat ia biasa menunggu. Biasanya kurang dari lima menit lagi orang yang ia tunggu baru akan sampai. Selama itu pula Joong senang mengamati perubahan yang terjadi setiap minggunya di tempat ini, membuatnya betah berlama-lama duduk bersantai. Dan kalau datang lebih siang, Joong sengaja bawa laptop biar bisa sambil kerja.

Pintu masuk berbunyi karena seseorang mendorongnya hingga bel bergoyang. Senyumnya selalu ikut kemanapun ia pergi, seperti hari-hari cerah yang indah ini.

Kasir di meja depan membisikkan sesuatu padanya. Yang sayangnya bikin senyumnya semakin memudar namun sebaliknya untuk Joong. Seolah ada backsound horror kayu berderit, wajahnya menoleh perlahan pada sumber yang dituju. Tatapan mereka bertemu.

"Hai," ucap Joong dari gerakan bibirnya.

Haru kembali berbisik. "Mau sampe kapan dia dateng terus?" tanya Haru.

"Gue nggak tau, tapi gara-gara dia tempat kita semakin rame hehe. Kalo gue jadi lo, nggak ada salahnya buat akrab sama dia."

Awalnya agak creepy, sih, karena Haru merasa ada orang aneh yang hanya pesan satu gelas kopi dan cuma datang di setiap kali jadwalnya masuk kerja.

Hari itu Haru sampai pukul delapan pagi, seperti biasa datang lebih awal satu jam buat persiapan buka pukul sembilan. Ada banyak yang harus ia kerjakan mulai dari menyiapkan alat dan membersihkan beberapa bagian yang terlihat kotor.

Temannya sempet cerita, bahwa kemarin ada orang yang mencarinya. Pas Haru tanya siapa, katanya orang itu mau ngenalin dirinya secara langsung. Dan ia berakhir dicandain karena mereka beranggapan ada yang naksir sama Haru. Nggak lama kemudian, temennya betulan manggil dari depan karena ada yang cari Haru.

Haru nggak punya teman dekat siapapun selain Marcel. Mungkin ada, beberapa temannya Marcel, tapi mereka harus kuliah di jam seperti ini. Ia juga nggak mengundang siapapun untuk mencoba menu di kafe ini, misalnya. Atau mungkin bisa jadi juga tukang paket. Tapi biasanya paket, kan, selalu di antar ke alamat rumah.

Haru benar-benar penasaran dengan siapa yang mencarinya. Begitu sampai di depan, seorang laki-laki yang sepertinya nggak asing menyapanya duluan. Haru merasa familiar dengan orang itu. Sampai akhirnya dia tahu bahwa namanya Joong dan dia adalah orang random yang pernah ngajak main truth or dare untuk minta dia jadi pacarnya.

Sampai disini Haru masih memaklumi, cowok bernama Joong itu mungkin cuma pengen akrab karena dia memang mengaku suka dengan kafe ini. Dengan pegawai yang lainnya pun dia memang akrab dan ramah. Tapi semenjak dia minta kontak untuk ngobrol lebih jauh, Haru nggak bisa lagi berfikir positif. Terutama karena nomor kontaknya pernah ngirim pesan aneh dan masuk ke daftar blokiran Haru.

Bahasa tubuhnya juga beda, kalau dia cerita dengan temannya yang seorang barista, katanya Joong ini suka dengan Haru. Haru sih nggak percaya ya, karena yang ia lihat justru Joong sering tertawa di sela obrolan yang nggak lucu dan matanya nggak pernah bertatapan lama dengannya. Kayak orang yang nggak niat mengobrol gitu. Berbeda kalau dengan yang lainnya, justru dia lebih santai dan nggak terkesan memaksakan topik kalau mengobrol.

"Haru, nanti tolong anterin pesanannya ke meja sebelas ya."

Haru selesai berganti seragam, kertas nota kecil dan balpoint yang tergantung di belakangnya ia masukkan ke saku depan. "Oke," balasnya dari ruang ganti.

"Makasih ya," ucap pelanggan itu. Itu pelanggan yang tadi ia bicarakan.

"Sama-sama, silahkan di nikmati."

"Gue boleh tanya sesuatu?" tanyanya yang mana kalimat itu sendiri adalah pertanyaan. Haru hendak kembali mengerjakan yang lainnya tetapi urung dan kembali berbalik. "Sepulang kerja nanti, lo sibuk nggak?"

"Hm..." Haru bersikap seolah-olah menimbang jawaban. "Hari ini gue cukup sibuk."

"Oh, o-oke," jawabnya. Dalam hati Haru malah merasa aneh karena nggak sesuai prediksinya. "Kalo ada yang mau disampaikan, sekarang aja nggak apa-apa."

Joong terdiam cukup lama karena nggak yakin harus bereaksi seperti apa. Dan Haru merasa Joong sudah mulai aneh lagi jadi ia kembali ke dapur untuk lanjut membuat pesanan lainnya.

Satu hal yang nggak disadarinya, Joong menahan diri mati-matian agar berani mengucapkan kata demi kata di depan Haru. Perasaan, selama ini ia selalu baik-baik saja bicara dengan orang baru. Tapi kalau dengan Haru, dari awal ketemu saja tubuhnya seolah tidak bisa dikendalikan. Otaknya selalu ngeblank dan mendadak kakinya selalu tremor. Ia pengen coba buat bersikap santai dan biasa aja tapi itu nggak bisa.

Sulit banget rasanya untuk bersikap normal depan Haru. Yang ada Joong malah kelihatan aneh.

Tiba-tiba pikirannya melayang, gimana kalau seandainya Haru nganggep dirinya lebih aneh lagi setelah ini? Tapi dari awal Joong emang ngerasa dirinya aneh sih. Nggak pernah terbayangkan Joong akan coba untuk dekat dengan orang lain seberusaha ini. Bahkan sama produser musik baru idolanya aja dia nggak sampai segininya.

Padahal ia sudah kemari lumayan sering dan seharusnya ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Joong merasa Haru berbeda dari kebanyakan orang, ia juga nggak tahu apa yang membuatnya merasa begitu.

SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang