09

205 19 0
                                    

"Kalo ada yang deketin lo, langsung laporan sama gue."

"Nggak bakalan ada yang mendekati gue, sih. Dan gue juga nggak akan mendekati siapapun."

Manusia hanya bisa merencanakan, nggak ada yang tahu bagaimana akhirnya nanti.



Haru menyapukan pandangannya ke jalanan yang sering ia lalui, pagi ini perasaannya justru nggak membaik. Sejak semalam tidurnya nggak nyenyak, mungkin setiap satu setengah jam sekali ia terbangun karena mimpi buruk.

Haru berusaha menyingkirkan rasa khawatir dan takut tanpa sebab dalam dirinya. Tanpa alasan yang juga dapat ia pahami, Haru cuma bisa menahan nafas, dan membuangnya ketika hitungan sudah sampai ke angka lima. Seenggaknya cara ini cukup berhasil di beberapa situasi.

Agak sulit mengendalikannya jadi normal kembali. Nafasnya tersengal-sengal, seperti didalam ruangan dengan sedikit lubang udara.

Orang bilang, jejak manusia yang pernah hadir di kehidupan kita nggak akan pernah bisa hilang seutuhnya. Memori yang ingin dilupakan, dan disimpan rapat-rapat masih akan tetap ada. Kalau lagi nggak beruntung, sesekali kita bisa menemuinya melalui suara, musik, aroma, rasa, dan suatu percakapan. Haru membenci fakta itu, ia nggak bisa menghapus kenangan buruknya seperti semudah melempar batu ke jalanan. Meskipun bisa, ia tahu batu itu akan masih tetap ada disana.

Aroma parfum yang ia kenal, begitu familiar dengan indra penciumannya, tercium selewat begitu saja. Darimana asalnya, Haru juga nggak tahu. Yang jelas, ia membencinya.

Jalanan hari ini sangat sibuk. Orang-orang berlalu lalang menyebrang jalan dan kendaraan melintas dari kedua arah. Tentu, perasaan berlebihan ini membuatnya jadi rugi sendiri.  Orang-orang disekelilingnya tampak menikmati hidup mereka, meski wajahnya nggak secerah hari minggu tapi mereka berusaha memenuhi apa yang menjadi jembatan untuk tujuan akhirnya; bahagia.

Haru melihat ada ruang kosong di bangku halte. Ia duduk disana. Meluruskan punggungnya hingga membuat orang disampingnya melirik sekilas padanya, lalu kembali pada kesibukannya sendiri-sendiri.

Satu, dua, tiga, empat, lima, dan ia mengembuskannya. Butuh berapa tarikan nafas lagi sampai—euh, ia hampir muntah, rasanya sudah naik dan membuatnya mual. Haru memejamkan matanya sebentar, menahan sebab tidak ingin mengingat hal itu lagi.


"Gue tahu, kok!"

Haru menelan salivanya khawatir. "Tahu... apa?"

"Nggak usah pura-pura, deh. Lo itu sebenernya—     —iya, kan?"

"Itu semua nggak bener! Jangan sok tahu!"

Haru menundukkan pandangannya. Seseorang yang ia amati dari balik jendela menatap balik padanya. Mungkin nggak sengaja, Haru juga nggak peduli. Tapi senyumnya disana semakin cerah saat melihat dirinya.

Senyum itu. Ia melihatnya lagi.

"Lo... lihatin apa?"


Ada suara dari dalam dirinya yang menyuruh agar Haru membenturkan kepalanya pada sesuatu, agar ia bisa tenang. Tapi cukup, ia nggak akan melakukannya. Suara itu terus terdengar hingga perlahan dirinya kembali pada kenyataan.

Bahagia.

Apa dia bisa mencapai akhir yang bahagia juga? Haru nggak yakin, ia menjawab dalam hati sambil terkekeh ringan.

Akhir bahagia? Kayaknya nggak masalah kalau nggak dapat kata bahagia, setidaknya ia masih bisa dapat kata yang satunya.

"Kakak."

Haru membuka matanya, bayangan kabur yang semakin jelas menampakkan seorang anak kecil berdiri di depannya.

"Ala, jangan gangguin kakaknya."

Tampak seorang ibu yang berdiri nggak jauh dari anak itu memanggilnya. Haru tersenyum, sedikit menurunkan pundaknya.

"Kak, kata guruku ini permen ajaib," tunjukknya. Anak itu membuka genggaman tangan dengan bungkusan permen bulat kecil. "Kalau kakak pegang permennya kayak gini, nanti keinginan kakak bisa terwujud."

"Oh ya?"

"Iya, di sekolah aku bisa dapat juara dua lomba mewarnai loh, kak. Terus aku ingat aku bawa permen ini di kantong bajuku," jelasnya penuh antusias. "Aku kira bu guru bohong, ternyata beneran, kak!"

"Alara, ayo."

"Tunggu, ma." Haru menahan senyumnya, lucu sekali. "Ini buat kakak aja, aku suka sama kakak. Biar kakak bisa juara juga."

Eh?

"Aku mau minta lagi permennya ke bu guru besok." Ia lantas berlari menuju perempuan yang sudah menunggunya sejak tadi. "Dadah, kak!"

Haru balas mengangguk sopan saat ibu anak itu berlaku demikian. Ia bingung harus bagaimana.
Masih menatap permen yang kini di genggamnya,  Haru tersenyum dan berterima kasih banyak pada anak itu.

••••••••

Tahu rasanya dikendalikan oleh seseorang seperti layaknya orang itu punya hak penuh atas dirimu? Rasanya nggak enak banget, seolah ada ledakan yang meninju bertubi-tubi dari dalam dada. Joong tahu, kalau ia ada di dunia ini karena mama dan papanya menikah, memutuskan untuk punya anak, dan tara! Lahirlah dirinya. Tapi untuk menikah, ia nggak bisa menyerahkan keputusan pada mama dan papanya begitu saja. Sebab Joong yang akan menikah, bukan mereka.

"Papa akan tarik kartu, mobil, dan motor kamu kalo masih mau begitu. Minta maaf sama Rania sekarang."

Papa tahu Joong masih bisa hidup tanpa semua itu. Jujur saja, masih cukup kok. Nggak masalah bahkan jika ia harus keluar rumah. Namun untuk saat ini, Joong harus setuju dengan papanya untuk membuktikan sesuatu.

"Iya."

Ada sedikit rasa lega dari wajah papa. Berkebalikan dengan anak laki-lakinya, ia justru merutuk dari mana papanya tahu soal masalah beberapa hari yang lalu itu. Yap, gara-gara bapak-bapak suruhan papa yang dia kira Joong nggak sadar mengikutinya seperti informan. Padahal Joong ngeuh banget kalo dirinya diikuti.

"Aku bakal dateng ke acara itu, pa."

Papa mengehela nafas. "Jangan buat ulah. Jaga nama baik keluarga kita."

"Iya." Tapi nggak janji, pa. Sambungnya dalam hati.

"Minta maaf sama Rania. Jangan kekanak-kanakan."

"Iya."

Hanya begitu saja, lalu percakapan yang jarang terjadi antara papa dan anak itu berakhir.

SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang