11

85 6 0
                                    

Sepanjang bekerja, Haru tidak bisa fokus. Netra coklat gelap yang selalu mengikuti kemanapun ia bergerak membuatnya tidak nyaman. Jadi, Haru memilih untuk lebih banyak membuat pesanan di dapur jika pengantaran masih bisa dikendalikan.

"Hati-hati takarannya."

Haru tersadar dari lamunannya sendiri saat melihat komposisi krim yang teralu banyak ia tuangkan pada gelas. Cepat-cepat ia membersihkan tumpahan yang tersisa.

"Menurut gue ya, daripada lo kepikiran terus gini mending tanya langsung deh ke orangnya."

"Ini gue emang lagi nggak fokus aja," yakinnya. Haru kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tersisa.

Waktu berlalu dan diluar dugaan, Joong benar-benar menunggunya sampai selesai bekerja. Mengabaikan rasa penasaran, Haru berjalan melewatinya sampai ke depan cafe. Entah bagaimana cara memulai percakapannya, Haru tiba-tiba merasa canggung. Padahal ia sudah terbiasa tapi berdiri bersebelahan yahg benar-benar berdua begini membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

"Gue anter ya?"

Begitu saja terjadi hingga ketika Haru benar-benar kembali dari pikirannya, jemarinya sudah berpegangan erat pada seseorang dihadapannya. Dia melihat jalanan dari balik bahu, menghirup angin malam yang melewati wajahnya. Sesekali memberitahu kemana mereka harus berbelok.

"Sorry banget ya kalo hari ini lo merasa nggak nyaman gue tungguin kayak tadi." Cowok itu tiba-tiba bersuara.

"Nggak apa-apa." Suaranya terdengar pelan, bukan karena bisingnya jalanan, akan tapi pelan seolah tidak bertenaga.

Sesampainya di rumah, Haru meminta Joong untuk menunggunya di ruang tamu. Keadaan semakin hening ketika ia diberitahu tanpa bertanya. "Gue tinggal sendiri." Padahal bukan itu maksud kecanggungannya saat ini.

Rumah ini terasa sangat kosong, seperti ada sesuatu yang hilang.

Sejak awal kecurigaan yang mungkin tidak sampai sepuluh persen itu tidak pernah ia hiraukan. Tentang kenapa Joong terus mengikutinya sejak kejadian truth or dare hari itu.

"Sebenernya ada apa ya? Sorry banget kalo gue nggak basa-basi," ucap Haru. "Ini ada kaitannya sama lo yang nembak gue waktu itu, kan?" Karena selain kejadian itu, ia rasa nggak ada hal yang menghubungkannya dengan Joong.

Joong menaikkan alisnya. "Lo.. inget?"

"Aneh nggak sih, kalo nggak inget?"

Cowok itu setuju. "Tentang itu gue mau minta maaf. Maaf karena gue nggak jujur, selama ini gue bilang sama keluarga gue kalo gue punya pacar."

"Maksudnya gimana?"

Tatapannya nggak bisa diartikan. "Gue bilang ke mereka kalo lo itu pacar gue."

Haru makin nggak ngerti. "Tunggu dulu. Kenapa harus segitunya lo ngaku ke mereka punya pacar? Emang kenapa? Maksudnya kayak—"

"Gue dijodohin sama seseorang yang gue nggak suka. Gue salah banget karena melibatkan lo ke hal ini, Haru. Tapi sekarang mereka minta bukti kalo gue dan lo beneran pacaran." Joong menjeda sebentar, Haru menggelengkan kepalanya samar-samar. "Gue janji ini yang terakhir, bantu gue untuk ketemu mereka ya? Gue akan jelasin semuanya dan gue pastiin lo nggak akan terlibat hal apapun lagi sama gue."

"Gak bisa." Haru beranjak cepat. "Lo gila. Kita sama-sama cowok!"

Joong meraih lengan Haru dan langsung ditepis sebelum mengenainya. "Justru itu, gue mau mereka berhenti jodohin gue dengan bikin mereka ngira kalo gue nggak suka perempuan."

Hatinya terasa sakit mendengar alasan seperti itu. "Keluarga lo nggak pernah lihat gue kan? Tolong cari orang lain."

Dengan rasa bersalah Joong bilang, "Temen-temen gue tau."

Jadi, mereka sama jahatnya menjebak Haru di situasi ini? Kenapa niat sederhana sesimple menjawab pertanyaan bercandaan malah memperparah keadaan?

Haru tidak ingin mendengarnya lagi. Bukan urusannya dan bukan kewajibannya membantu seseorang yang bahkan tidak memikirkan perasaannya. Ini keterlaluan.

"Terus perasaan gue gimana? Lo tiba-tiba dateng out of nowhere, ngajak gue pacaran dengan cengengesan didepan temen-temen lo. Minta gue buat pura-pura jadi pacar lo dengan posisi gue sebagai sesama cowok yang saling mencintai?!" Kesabarannya sudah habis. Haru nggak bisa mengendalikan suaranya yang kian naik. "Gitu rencana yang ada dipikiran lo?! Jahat ya." Tanpa sadar air matanya menggenang membuat penglihatannya sedikit kabur.

Joong melemparkan pandangannya ke meja. Kunci motor tergeletak disana. "I know, im sorry."

Se fucked up itu hidupnya. Rasanya ingin dilempar ke kegelapan, tempat dimana ia bisa bersembunyi dari segala kekacauan yang ia buat sendiri.

"Tolong cari orang lain," ucapnya lagi. "Makasih udah anterin gue."

Joong mau tidak mau berdiri setelah beberapa saat. Haru segera pergi ke arah pintu menunggunya keluar.

"Gue mohon, kali ini aja. Gue janji semua bakal clear."

Joong merasa sedih dilihat dengan tatapan seperti saat ini oleh Haru. Tatapan yang menyiratkan rasa kecewa, rasa sakit yang sampai pada dirinya.

Haru menutup pintu ketika Joong masih berjalan keluar. Ia mendengar suara motornya menjauh tanpa berniat melihatnya lagi.

Bertanya-tanya dengan keadaan, membuatnya merasa bahwa kehidupannya ini tidak berguna. Ketika hatinya mulai tenang dan merasa semua baik-baik saja, sesuatu yang buruk selalu terjadi. Ia benci menjalin hubungan dengan siapapun. Dia benci memiliki keluarga, dan tidak pernah berniat untuk menikah ataupun memiliki pasangan seumur hidup.

Tangisnya semakin pecah, memaksa Haru menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya terpejam, kesal dengan ingatan-ingatan yang terlintas. Orang-orang yang menertawakannya, orang-orang yang ia benci, muncul lagi dihadapannya sekarang. Haru menggigit telapak tangannya dengan kuat, darah mengalir melalui celah di kulit putihnya. Ia terlonjak kaget. Kenapa berdarah? Apa yang salah? Selama ini dia selalu patuh, tidak pernah melakukan kesalahan. Lalu kenapa?

Kenapa Haru masih dihukum?

Matanya bergetar dan tubuhnya terpaku sambil berusaha menahan nafas. Hal terakhir yang ia ingat, seseorang memeluknya. Mendekapnya dengan erat hingga wajah Haru tenggelam dalam hangat. Meski tubuhnya tidak bisa dikendalikan, ia bisa mendengar degup jantung dan deru nafasnya yang berat. Perlahan rasa sakit berangsur hilang, dan orang-orang itu sudah tidak terlihat lagi.

SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang