●
●
●Saga menghembuskan asap dari vape yang baru saja Ia hirup. Semilir angin membuat rambutnya bergerak berantakan, meski begitu Ia tak berniat merapihkannya. Maniknya mengawasi teman - temannya yang masih asik memainkan papan seluncur seraya beberapa kali melakukan trik khusus. Ia melirik jam tangan mahalnya, kemudian kembali menghembuskan kepulan asap yang beraroma bubblegum. Ia teringat ada hal yang harus Ia pastikan, terlebih Ia harus kembali mempelajari proposal dan laporan perusahaan yang diberikan padanya.
Saga menghubungi personal assistant terpercayanya, John. Selang beberapa detik panggilan itu terjawab. "Temui aku di rumah, John. Aku kembali sekitar lima belas menit." Ia kemudian mematikan panggilan itu.
Dari arah depan Felix memperhatikan Saga yang kini berdiri seraya membawa skateboardnya. "Lo cabut?" tanyanya saat sudah di dekat Saga.
Saga berdehem menyampirkan tas yang tak ada isinya itu di satu bahu. "Woi!! Saga pulang!!" Pekik Felix pada teman-temannya. Ia tahu Saga ingin pamit tapi malas bersuara, buktinya Ia memberikan smirknya pada Felix seraya mengangkat satu alisnya.
"HATI - HATI BROO!"
Saga mengangkat tangan sekilas untuk membalas teman - temannya, kemudian pulang dengan motor kesayangannya.
"Selamat malam, tuan muda." John menundukkan kepalanya saat Saga sudah tiba di rumah. Ia mengikuti langkah lebar Saga yang kini menaiki undakan tangga menuju ruangan pribadinya. Ruangan itu Ia buat khusus untuk mempelajari dan menyelesaikan pekerjaan kantor yang diberikan papanya. Di dalamnya terdapat ruangan lagi untuk ia mengerjakan hobinya, orang luar mungkin tak akan menyangka apa yang ia kerjakan di dalam sana.
"Tuan Arvin sudah pulang sekitar jam 7, sepertinya sudah beristirahat bersama nyonya." Saga mengangguk mendengar laporan John yang tak pernah ia lewatkan.
"Kabar baik hari ini pihak dari perusahaan jepang sepakat berinvestasi dengan Dalton," lanjutnya.
John berdiri di depan mejanya seraya meletakkan beberapa berkas, mengawasi tuan mudanya yang kini tengah membaca salah satu proposal. Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk Saga mempelajari itu semua.
Anak itu bersikeras untuk melakukannya agar setelah lulus sekolah ia bisa dengan cepat melengserkan posisi papanya di perusahaan. Mengingat ia adalah anak tunggal kaya raya entah alasan apa yang membuatnya begitu terburu-buru, padahal tiada siapapun yang dapat merebut posisinya sebagai pewaris. Jangankan John, Arvin selaku orangtuanya saja tidak tahu apa yang anak itu rencanakan.
Saga memakai kacamata minus nya, mulai membuka berkas-berkas itu.
"What the hell? Perencanaan pembangunan?"
"Tuan berencana membuat gedung baru untuk Dalton, beliau juga ingin menarik D&X group untuk membantu proyek besarnya."
Saga menghela nafas. Mengapa papanya tidak mengajaknya berdiskusi tentang hal ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga's Favorite
Fiksi RemajaPerempuan sempurna seperti Embun tidak mungkin mencintai monster sepertinya. Tidak. Mungkin saja... jika ia tidak punya pilihan?