17. [MAAFIN AYAH]

334 40 0
                                    

•••

Bagi Dika, sekolah sama sekali tidak ada menariknya. Tak ada yang istimewa disana, rasanya ia ingin pindah sekolah saja.

Saat ini pemuda itu tengah berjalan menuju ke pintu utama rumahnya. Dengan tangan yang membawa tas nya, kemudian langkah kakinya yang terlihat sangat lemas.

Sejak semalam ia sama sekali tidak melihat sang ayah. Tak peduli juga, toh, ayahnya bahkan lebih mementingkan kakaknya saja.

Kali ini pemberhentiannya bukanlah disebuah kamar yang biasa ia gunakan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Pemuda itu melempar tas nya ke sembarang arah.

Sebuah benda yang menempel didinding telah menunjukkan pukul tiga sore.

Hambar, itulah yang ia rasakan berhari-hari. Tak ada sama sekali satu hari pun dimana ia merasa sangat istimewa. Walaupun itu menyangkut hari ulang tahunnya sekalipun.

Tangannya bergerak mengambil sebuah remot televisi yang terletak diatas meja depannya. Sudah lama rasanya ia tidak melihat saluran televisi, apalagi bersama dengan keluarganya.

Acaranya tak terlalu membosankan, hanya saja rasanya hampa begitu saja. Berbeda dengan terakhir kali ia bersama dengan keluarganya.

•••

Reyan merasa begitu canggung saat ini. Kini dirinya berada dirumah sakit bersama dengan Faiz— adik ipar dari ayahnya sendiri.

Reyan merasa canggung karena ia bahkan sama sekali belum sedekat ini dengan pamannya sendiri.

Tak ada pembicaraan antara keduanya, terlihat dari dalam ruangan, Faiz tengah melakukan panggilan telepon dengan seseorang yang entah itu siapa.

Jujur saja, Reyan merasa lapar karena sore ini dirinya belum makan. Walaupun nanti malam ia sudah bisa pulang setelah menghabiskan air infus yang mengalir ke tangannya, namun rasa khawatirnya kepada sang adik semakin meningkat. Reyan takut jika Dika semakin membencinya.

Hampir dua hari ayah selalu ada untuknya, namun bukan untuk Dika. Entah angin dari mana, rasanya Reyan hanya menjadi pemisah antara ayah dan anak tersebut. Walaupun ayah tetap menyayangi mereka berdua dengan penuh kasih sayang, namun rasanya Reyan menjadi rakus karena saat ini dirinyalah yang selalu dekat dengan sang ayah.

Sejak dulu memang Dika sangat dekat dengan ibu, dan Reyan dengan ayahnya. Ia tau separah apa luka yang telah ia perbuat di hati adik kesayangannya.

Bahkan permintaan maaf pun sama sekali tak bisa mengembalikan ibu ke dunia.

Merasa bersalah? Tentu saja.

Walaupun dalam kenyataannya ia sama sekali tidak membunuh orang tersayangnya, akan tetapi mau diberitahu bagaimana pun Dika tak akan pernah percaya lagi.

Kertas tanda tangan sudah Dika lihat dengan kepala matanya sendiri, hal itu tentu saja membuat pemuda itu mengecap bahwa kakaknya lah yang telah membuat ibu mereka tiada.

Jika saja ia tak sakit, jika saja dirinya masih mampu untuk bertahan kemarin, sudah pasti ayah akan memiliki banyak waktu untuk Dika.

"Maaf,"

Hanya kalimat itu yang mampu Reyan ucapkan, ia sudah tak bisa lagi memberikan bukti-bukti yang kuat agar adiknya kembali percaya padanya.

Cahaya Redup [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang