06. Momentarily forgotten☄️

7 5 0
                                    

"Assalamu'alaikum."

Zya mengernyit ketika mendapati ruang tamu sepi, tak seperti biasa saat ia pulang dari sekolah selalu ada Diana yang duduk di sana sambil membaca majalah atau sekedar merajut dengan tenang, atau, selalu ada Aditya yang tengah menikmati sore santai nya dengan secangkir kopi ditemani biskuit.

"Mah?"

"Ayah?"

"Teh Nia?"

"Zidan?"

"Ini semua orang pada kemana sih?" Zya berjalan menuju dapur. Namun nihil, tak ada satu orang pun di sana.

Tiba-tiba saku celananya bergetar, menampilkan kontak bernamakan Ayah di sana. Zya menggeser ikon hijau, lalu mulai mendengarkan sahutan-sahutan dari sebrang sana yang terdengar sangat ramai.

"Ayah?"

"Helloww?!"

'Aa, semua orang di rumah sakit. Aa bawa baju ganti kita semua ya, satu malam kita nginep disini, nak. Atau Ayah perlu jemput Aa aja? Tadi pulang sekolah Aa pulang sama siapa, atau Aa masih di sekolah?'

'Aa?'

'Zya Azka?!'

Zya tersentak kaget, buru-buru ia menutup panggilan, lalu mengirimkan Aditya pesan singkat, tentang dimana letak rumah sakit nya, juga ruangan mana yang harus Zya masuki. Ia bahkan tidak tahu, dan tidak sempat bertanya, siapa yang sakit? Seingat Zya pagi tadi seluruh keluarganya baik-baik saja, yang sakit 'kan dirinya sendiri.

Zya berjalan pelan menuju lantai atas, mengambil tas yang lumayan besar untuk mengambil beberapa baju ganti milik keluarganya.

Kenapa, Zya baru dikabari sekarang? Dan kenapa Aditya sampai lupa menjemput dirinya yang terpaksa pulang menunggu angkot lewat. Zya yang tengah sakit harus rela berdesak-desakan di dalam angkot yang terasa panas. Dan sekarang Zya harus berangkat kesana sendirian? Ayahnya masih bertanya ingin di jemput atau tidak? Kenapa tidak ada inisiatif sendiri.

Zya mulai kesal, segera ia melesat keluar dari rumah, membanting pintu rumahnya, lalu memutar kunci.

Memikirkan masalah di sekolah, kasus yang harus Zya cari tahu, sekarang muncul masalah baru di rumah. Lelucon macam apa ini.

Sesampainya di sana, Zya berlari mencari bilik kamar yang sebelumnya sudah Aditya beri tahu.

Ceklek!

Zya menjatuhkan tubuhnya sendiri dilantai dingin rumah sakit, kedua kakinya terasa bergetar, kepalanya berdenyut sakit, Nia yang berada tak jauh dari Zya melesat, memegang kedua pundak Adik pertamanya dengan erat.

"Zya kenapa enggak ngabarin Teteh dulu kalau mau ke sini? Nanti 'kan Teteh bisa jemput," kata Nia lalu membantu Adiknya untuk berdiri.

"Kalian enggak ada satu pun yang angkat telpon Zya."

Semua orang tertegun, terkecuali Zidan yang tengah mendengkur menyelami alam mimpi dengan wajah damai nya. Nia baru sadar, ponsel nya mode silent. Jadi tak terdengar saat Zya menelponnya.

"Zidan kenapa?" tanya Zya menatap kosong ke arah Zidan yang kini berbaring, tangan bagian atas sebelah kanan Zidan terbalut perban yang masih terlihat baru, pelipis anak itu pun ditempel plester.

"Kecelakaan kecil, ceritanya panjang, bukan panjang sih, Zidan nya enggak mau cerita, Aa istirahat aja, Mamah keluar belikan kalian makanan dulu," ujar Diana. Menatap suaminya sesaat lalu beralih pada Nia.

Keduanya paham, lalu duduk masing-masing di sebelah Zya. Aditya menghela napas, ini memang salahnya. Mendengar kabar bahwa anak bungsu nya masuk kemari, membuat pikiran Aditya tak berkerja dengan sinkron sehingga ia melupakan putra nya yang lain, Nia pun sama kacau nya ketika mendengar kabar dari adiknya yang bahkan pagi tadi masih bercanda, tahu-tahu sekarang seperti ini. Sampai ia lupa, masih ada saudaranya yang lain di rumah.

Diana apalagi, sebagai seorang Ibu. Mendengar kata tak baik-baik saja dari anak-anak mereka bagaimana tidak panik, bagaimana tidak gelisah. Namun kegelisahan itu melupakan berbagai hal, dan salah satunya Zya. Ia mengabari Zya sore sekali, padahal kejadian ini berlangsung lumayan lama, sekitar pukul setengah satu siang, saat Zidan hendak pulang.

"Aa," panggil Aditya pada akhirnya.

"Zya enggak marah, Zya cape mau tidur duluan."

"Jangan dulu Aa, nanti habis magrib aja ya, enggak baik tidur sebelum magrib." Aditya berujar sambil memperingati.

"Yaudah merem aja kalau gitu," sambung Zya lalu menutup kedua kelopak matanya.

Memaklumi Zya, Aditya menyuruh Nia untuk bersih-bersih lebih dulu, Nia mengangguk, meninggalkan dua adiknya juga sang Ayah dan melesat pergi ke kamar mandi.

Aditya, meraih tissue yang tak jauh dari jangkauan, mengelap perlahan peluh keringat yang berada pada leher, pelipis juga sebagian wajah Zya.

"Maaf Aa, Ayah lalai. Aa harus sembuh sebelum lebih tiga hari, kalau enggak mau nginep kaya Zidan," kata Aditya pelan. Zya masih mendengarnya, dalam hati ia bersorak senang. Zya tak marah, hanya kesal dan kecewa. Bisa-bisanya keluarga sendiri melupakan Zya.

Zya membantah perintah Aditya. Tanpa sadar ia terlelap dalam tidurnya, terasa nyaman, saat kepalanya ia jatuhkan pada bahu lebar sang Ayah. Lalu kepalanya yang Aditya sentuh dengan penuh ketulusan.

***


"APA?! Coba bilang sek--"

Zidan membekap mulut Zya paksa lalu menatap sekeliling mencari pengamanan juga memastikan jika dirinya hanya berdua dengan Zya.

"Jangan kenceng-kenceg Aa, nanti Mamah denger," bisik Zidan sambil memainkan ujung selimut nya.

"Biarin, nakal sih enggak mau dengerin kata orang tua. Ini tuh namanya kualat, nyaho?!"

"Iya tahu. Sekali doang kok, enggak lagi. Tapi Aa enggak boleh ngasih tahu Mamah sama Ayah ya, ya. Nanti Zidan kasih pe--"

"Enggak ada ya Zidan! Aa enggak tergiur sama sogokan kamu itu, sekalipun kamu mau kasih Aa emas, pesawat, kapal selam, robot-robotan sampai permen karet pun Aa enggak mau!"

"Siapa yang nyogok?"

Bersamaan dengan pertanyaan Diana yang mengalun, Zya dan Zidan sama-sama bungkam. Apalagi Zidan yang kini duduk dengan gelisah. Mengatur duduknya yang dirasa tak ada yang nyaman, ingin kabur saja rasanya itu.

"Si Adek, Mah. Dia jatuh bawa-bawa orang, pake motor orang juga."

Zidan melotot tak percaya, mencubit tangan Kakak keduanya dengan kesal. Tak bisa sekali menjaga rahasia, pikirnya.

Diana kini menatap Zidan yang menunduk, Zya menggeser posisinya sedikit agar Diana lebih mudah untuk memberikan ceramah gratis pada adiknya.

"Benar Zidan?"

Zidan mengangguk kecil "Iya Mah."

Diana menghela napas, sedangkan Zya membuang wajahnya ke samping. Firasat Zya tak pernah melesat, bener saja kini Diana tengah mengeluarkan seluruh isi hatinya pada Zidan yang terlihat tertekan sekali. Ingin tertawa, tapi Zya masih punya hati. Bagaimana pun Zidan Adiknya.

"Ini masih kecelakaan kecil loh Dek, masih untung teman kamu enggak papa, motornya enggak ada yang lecet. Gimana kalau lebih dari itu, hah? Masih mau diulangi?!"

Zya mengusap punggung Diana pelan, menyuruhnya untuk tenang. "Udah Mah, nanti kalau diulang Aa sentil Zidan. Katanya Mamah habis bikin kue? Mana Aa mau nyobain."

"Hah, kamu ini Aa. Bilangin tuh Adeknya, pusing Mamah." Diana melangkah menuju sofa yang diatasnya terdapat kantong plastik.

"Jangan diulangi," kata Zya sambil mengusak rambut Zidan.

"Iya, Aa."

Zidan jadi ingin memeluk Zya, tapi gengsi lah :)








🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang