11. Vent edition with Nia☄️

10 5 1
                                    

Andai Zya bisa tahu juga bisa merasakan dunia peri itu seperti apa. Mungkin, sebelum bertemu Aira, Zya sudah lebih dulu jatuh hati dan menaruh rasa pada peri-peri di sana. Dulu, saat Zya kecil, Zya selalu diberikan dongeng seputar dunia peri oleh Aditya.

Kenapa peri? Karena Aditya meminjam buku dongeng milik putri nya, Nia. Dikarenakan Nia sudah bosan, jadilah Aditya mewariskannya kepada Zya selaku anak kedua.

Berbagai masalah yang timbul, terkadang membuat masa remaja Zya terhambat untuk merasa bahagia dan bebas. Zya memang lahir dalam keluarga yang mampu membuatnya teduh dari hujan, terhalang dari sinar matahari.

Namun, bukan hanya seputar itu saja yang Zya inginkan. Terkadang, kebebasan dalam suatu hal itu harus anak raih dan rasakan. Sebagai seorang anak tengah, jika keinginan orang tuanya tak bisa si sulung berikan, maka anak selanjutnya harus bisa menggantikan.

Zya, yang kini tengah merasakan.

"Zya, kenapa enggak ikut makan malam?"

Zya menoleh ke arah pintu, dimana Kakaknya, Nia tengah berdiri sambil membawa nampan berisikan makanan.

"Em, lagi banyak tugas aja Teh, males turun, eh untung Zya punya Kakak yang baik hati dan penyayang seperti Teh Nia, makasih Teh makanannya," kata Zya terkekeh sambil menerima nampan yang Nia bawa.

Nia menatap setiap sudut kamar Zya yang rapi, bebas dari sampah dan cucian kotor yang menumpuk. Terkadang, Nia iri sekali, bisa-bisanya kamar lelaki lebih bersih dan rapi dari pada kamarnya sendiri yang berstatus kamar perempuan. Hah, bahkan skill memasak saja lebih mahir Zya dibanding Nia sendiri.

"Masih jadi editor Zya?" tanya Nia sambil duduk disebelah Zya yang tengah menyuap makanan.

Zya mengangguk seraya menunjuk laptop yang menyala oleh dagu nya.

"Tanggal mau habis, cie bentar lagi yang gajian, boleh lah traktir Teteh jajan," ujar Nia bercanda.

"Boleh, boleh, nanti Minggu antar Zya ambil uang," balas Zya.

"Enggak lah Zya, Teteh bercanda, mendingan uang nya dibeli buat keperluan kamu aja."

Nia menghembuskan napas pelan, tujuannya kemari bukan hanya sekedar mengantarkan makanan, namun Nia tahu, ada hal yang Zya sembunyikan. Dari pulang sekolah, Zya langsung pergi ke kamar, biasanya, Nia sering melihat Zya yang pergi ke dapur hanya sekedar mengambil minum atau menyimpan cemilan yang anak itu beli. Namun, sore tadi, Zya langsung melenggang pergi, bahkan, saat Nia hendak menyapa, Zya  menghiraukannya begitu saja.

Nia melihat browser yang tergeletak di atas meja belajar. Tanpa Nia lihat pun, ia sudah tahu, itu pasti dari Diana. Soal universitas mana yang akan Zya injak selanjutnya.

"Zya tadi ngobrol apa aja sama Mamah?"

Bersamaan dengan itu. Zya sudah menghabiskan setengah makanan, remaja itu menyimpan lebih dulu nampan ke atas nakas, lalu meneguk tandas segelas air yang kini menyegarkan tenggorokannya yang kering.

"Soal kuliah itu Teh," jawab Zya.

"Terus? Zya jadinya mau ke kampus mana, yang di rekomendasikan Mamah atau maunya Zya aja?"

Zya menggeleng tanda tak tahu, ia sendiri juga bingung. Satu sisi, kata temannya lebih baik dengarkan kata orang tua, karena restu orang tua itu semakin menjamin kesuksesan kita untuk masa depan, satu sisi lainnya, Zya tak suka, Zya tak minat, takutnya jika dipaksa, Zya tak akan sanggup jika sudah berada ditengah-tengah.

"Zya." Nia menatap Zya serius. Bahkan tangannya kini memegang satu pundak Zya.

"Teh Nia tahu, ini sebuah pilihan yang sulit. Karena sebelum kamu merasakan, Teh Nia lebih dulu yang merasakan Zya. Kamu tahu, kenapa Mamah yang nuntut kamu, kenapa bukan Teteh?"

Zya menggeleng. "Kenapa?"

Nia tersenyum sambil merangkul Zya. "Karena Teteh pernah buat Mamah kecewa Zya. Teteh gagal buat wujudkan ekspetasi Mamah, makanya sekarang, Mamah kasih kepercayaan itu sama kamu Zya."

Zya tertegun, selama ini, Zya memang sering memperhatikan dua saudaranya, namun untuk saling membuka obrolan seperti ini, Zya akui ini pertama kalinya. Untuk pertama kali, Zya melihat dua mata Kakaknya yang berkaca-kaca, pertama kalinya mendengar getar dalam setiap kalimat yang Nia lontarkan.

"Zya, Teteh enggak bermaksud mengadu, siapa yang lebih terluka di sini, namun kamu perlu tahu, disetiap situasi yang sulit, pada akhirnya kita juga akan menemukan solusi dan jalannya masing-masing. Zya, Teteh pernah terluka saat Mamah tahu Teh Nia gagal, selama hampir dua Minggu, Teh Nia enggak pernah saling melempar pandang ataupun bicara. Didiemin itu lebih sakit Zya dari pada dimarahin."

"Tapi merusak mental itu lebih sakit dari pada bermain fisik, Teh," lanjut Zya. 

"Separah apapun fisik kita terluka, masih ada antiseptik dan obat yang bisa digunakan. Tapi kalau mental dan hati yang rusak? Tenaga medis pun kadang kewalahan. Pada akhirnya dianggap gila dan dibiarkan hidup didalam sel rumah sakit."

"Zya enggak mau gila hanya karena tuntutan yang nantinya enggak bisa Zya wujudkan juga Teh, Zya hanya butuh kebebasan untuk sekarang," sambungnya lagi.

Pada pekatnya malam, Zya dan Nia disaksikan oleh bintang dan bulan yang senantiasa bersinar. Kepingan-kepingan memori masa lampau kini memenuhi isi kepala Nia. Gadis itu menarik Adiknya dalam dekapan, meskipun Zya itu lelaki, Zya paling rapuh jika menghadapi hal yang sulit seperti sekarang.

"Nangis aja enggak papa Zya, enggak akan ada yang ngetawain, sekalipun kita disaksikan oleh bulan dan bintang pada malam ini, biarkan mereka tahu, titik rendah kamu Zya," tutur Nia menahan kedua matanya yang kini berkaca-kaca.

Melihat adiknya rapuh seperti ini, Nia jadi teringat masa lalunya dulu, saat-saat masa sulit yang Nia rasakan dan pada akhirnya Nia lalui.

Zidan berdiri menatap datar pintu kamar Zya yang terbuka, niatnya kemari untuk meminta Zya membantu mengerjakan pekerjaan rumah, malah melihat musuh bebuyutan nya berada di ruangan yang sama.

Nia.

Zidan sangat menghindari oknum bernama Nia ini. Entahlah, bawaannya selalu ingin mencabik-cabik saja. Padahal saat Nia tak melakukan apapun, tapi Zidan selalu melihat wajah Nia yang memancingnya untuk ribut.

"Aa!" teriak Zidan. Membuat dua orang itu terlonjak kaget.

"Aishhh! Zidan kamu rusak suasana aja sih!" desis Nia menatap Zidan sewot.

"Hayoloh Teh Nia ngapain Aa Zya sampe nangis gitu, ck, ck Zidan laporin Ayah nanti, sana-sana! Teh Nia keluar, Zidan mau berguru sama Aa Zya," ujar nya sambil menarik Nia hingga berdiri, tak lupa mendorong-dorong tubuhnya agar keluar dari kamar Zya.

"Gaya mu berguru Dek, minta Zya jadi babu kali, jangan mau Zya, mending tidur aja, enggak usah kamu bantu dia bikin tugas. Suka semena-mena, kamu cape jelasin dia malah molor," ungkap Nia yang kini telah berada di luar kamar Zya.

"DIEM YA, TEH NIA JANGAN SOK TAHU!"

Suasana berbeda Zya rasakan saat Zidan muncul. Tak ada kesedihan, melainkan tawa yang senantiasa ditimbulkan oleh Zidan.







🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang