04. Troubled Pain☄️

8 5 0
                                    

"Hatchi!"

Zya mengusap hidungnya yang kini terlihat merah, kedua mata Zya berair, hawa panas terasa merambat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak hanya itu, denyutan tak nyaman mulai Zya rasakan saat ini.

Tak salah lagi, Zya terkena flu. Salahkan ia yang tak ingin mendengarkan perkataan Aira.

"Dikit lagi, ayo dikit lagi, masih ada naskah yang harus gue revisi. Tolong lah badan gue jangan mau tidur dulu, bantulah tuan kalian ini untuk mendapatkan cuan," celoteh Zya sepanjang ia menatap layar laptop yang menyala.

Posisinya sekarang berpindah ke atas kasur, sisa-sisa hujan masih terasa, sehingga hawa dingin semakin terasa menusuk kulit. Beberapa ketukan pintu terdengar, lalu suara Aditya yang selanjutnya yang dapat Zya tangkap.

"Aa, ini Ayah."

"Masuk aja Yah, Aa lag--hatchi! Aduh!"

Aditya melangkah masuk, membawa kedua tungkainya jadi lebih dekat pada Zya.

"Aa, ada Aira di ruang tamu. Gih kesana."

Zya yang mendengarnya buru-buru menyibak selimut, merampas kaca matanya yang berada di atas nakas. Meninggalkan Aditya yang kini hanya terkekeh, sambil mengikuti langkah putranya yang lebih dulu keluar kamar.

Benar kata Aditya, Aira tengah duduk berbincang dengan Diana, Aira ke sini malam-malam hanya untuk mengantar makanan sepertinya, terbukti dari rantang yang berada di atas meja.

"Aira," panggil Zya.

"Azka, sini deh. Nih Tan, anaknya bandel enggak mau dengerin Aira, pasti sekarang flu 'kan? Aira bawa makanan. Sini duduk deket Aira." perempuan itu menepuk-nepuk sofa yang kosong, dengan kosa kata yang membuat Zya gemas sekali saat mendengarnya.

Diana yang kebetulan melirik Zya hanya dapat merotasikan matanya sesaat, anak jaman sekarang, ya, ada pacar saja baru tuh wajah sumringah, gumam Diana dalam hatinya.

"Yaudah atuh Mamah tinggal ya, ada Ayah tuh yang ngawasin kalian. Aa nanti sebelum tidur minum obat dulu, Mamah simpan di meja makan," tutur Diana, lalu beranjak dari sana.

Perkataan Diana hanya diangguki sesaat oleh Zya. Setelahnya, ia terbuai dalam obrolan hangat Aira. Aditya yang berada diantara mereka seperti menjadi seekor nyamuk. Hanya dapat menopang dagu, sambil turut mendengarkan obrolan dua anak muda ini.

"Kasus dia lagi? Azka 'kan udah mau pensiun jadi ketua osis. Kok masih Zya yang ngurus?"

Topik obrolan mereka kini berpindah menjadi pembahasan tentang kasus salah satu siswa, Zya sendiri merasa kewalahan untuk menghentikan kasus dari salah satu Adik kelasnya. Yang mungkin seharusnya menjadi tanggung jawab pihak sekolah, kini beralih pada Zya selaku ketua osis disana. Pihak sekolah sendiri pun merasa lelah dalam menghadapinya, apalagi Zya yang hanya sekedar murid.

"Zya dibantu sama anak-anak yang lain Aira, tenang aja," balas Zya sambil membenarkan letak jepitan rambut milik Aira.

"Udah malam, Aira pulang nak, takut dicariin sama orang tuanya. Kamu juga Aa, pergi tidur. Besok enggak usah sekolah dulu." Aditya yang merasa jengah sendiri pun akhirnya angkat bicara, bukan ia tak suka Aira lama-lama di sini, namun keberadaan Aditya diantara mereka yang membuat pria itu kesal.

Bukannya Zya patuh, remaja itu malah tersenyum jahil seakan meledek Aditya selaku Ayahnya.

"Aira jangan pulang sendirian. Mau Zya yang anterin aj--"

"Eeeh, enggak ada, enggak ada! Enak aja. Gimana kalau Aa khilaf? Gimana kalau anak orang di grepe-grepe. Aira, nak, kamu jangan terlalu anu sama si Aa ini. Gimana pun dia itu seorang laki-laki. Biar Ayah yang antrin Aira pulang," pungkas Diana yang entah sejak kapan berdiri di belakang Zya.

"Aa 'kan emang laki-laki Mah, emang kenapa atuh? Hihh."

"Punya hawa nafsu Aa," bisik Diana tepat ditelinga Zya.

Aira hanya terkekeh canggung, sambil membereskan rantang nya yang sudah kosong, perempuan itu kini berjalan keluar rumah diikuti Diana dan Zya di belakang, seperti perkataan Diana sebelumnya, Aira diantar pulang oleh Aditya. Tadinya Aira hendak menghubungi sang Kakak di rumah, namun urung saat keputusan Diana tak bisa diganggu gugat.

Keputusan Ibu negara dalam rumah tangga, memang pemegang kekuasaan terbesar.

"Dahh Aira, besok Zya enggak sekolah dulu," kata Zya sambil melambaikan tangan.

Aira mengangguk seraya tersenyum, setelah ia duduk dengan sempurna di atas jok motor. "Iya Azka, enggak papa. Sehat dulu aja, Aira pulang ya, bobo yang ganteng Aa pacar."

Diana mencubit pelan pinggang Zya membuat sang empu menggaduh. Sambil mengusap pinggangnya, Zya mengangkat kedua alis tanda bertanya.

"Hidung Aa mau terbang dah tuh, buruan masuk, Ayah pelan-pelan bawa motornya, bawa anak orang. Aira makasih nak makanannya, salam buat keluarga yang di rumah ya."

Aira mengacungkan jempol sambil memperlihatkan giginya yang tersusun rapi, lalu membungkuk saat motor dilajukan dengan kecepatan biasa.

Zya membuang napas pelan, keadaan rumahnya kembali sepi saat kepulangan Aira. Nia, selaku Kakak nya sudah tidur mungkin, apalagi Zidan, anak itu selalu tidur lebih awal dari siapapun. Masih kecil, dalam masa pertumbuhan, biasalah, Zya paham akan hal itu.

Rasa bosan yang sebelumnya hilang saat ia berbincang dengan Aira kini datang kembali, Zya berjalan pelan menuju meja makan, dengan langkah lunglai seperti tak ada tenaga.

"Lesu amat, nanti juga ketemu Aira lagi Aa," kata Diana melirik Zya yang kini membuka bungkusan obat dengan tak minat.

"Minumnya pake air anget aja Aa. Tunggu bentar," tutur Diana sedikit berlari, lalu suara kompor terdengar setelahnya.

Tak lama, hanya beberapa menit Diana sudah kembali dari dapur, meletakkan satu gelas air panas yang sudah ia campur dengan air biasa didekat Zya yang tengah menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan.

"Enggak usah galau, libur satu hari mah enggak masalah Aa, buruan diminum, habis itu tidur, kalau tiga hari Aa enggak ada perkembangan, atau sampe enggak bisa jalan Mamah sama Ayah mau bawa Aa ke rumah sakit," putus Diana serius.

Zya baru mendengarnya saja sudah malas sekali. Seumur-umur Zya tak pernah tahu dan tak pernah merasakan bagaimana rasanya saat sebuah jarum itu menusuk kulitnya. Memberikan cairan dengan selang yang kemudian masuk ke dalam tubuh, Zya tak pernah merasakannya, dan tak ingin pula merasakannya.

"Aa enggak lumpuh Mah, huhu. Jahat banget dibilang enggak bisa jalan," cecar Zya menatap Diana miris.

"Kan emang iya, kamu sekali sakit kaya orang sekarat, coba sana gih jalan sendiri ke kamar, mampus tuh naikin puluhan anak tangga. Yakin bisa sendiri? Janji enggak bakalan ngegelinding ke bawah, ha?"

Telak. Zya yang kini bungkam seribu bahasa, Diana ini memang tak tanggung-tanggung jika berbicara, katanya ucapan itu adalah doa. Jadi Zya cukup diam saja, ia tak yakin juga pergi ke kamar sendiri tanpa dibantu Diana, ngeri juga kalau malam-malam mendapatkan tragedi semacam terguling-guling di tangga lalu roh Zya langsung tercabut, bagimana nasib Zya.

Hah, pikiran Zya memang ada-ada saja.







🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang