18. Behind the story of Fajar☄️

5 5 1
                                    

Kepulan asap dari Kang Jaya selaku tukang sate yang selalu mangkal tiap sore, berhasil menarik beberapa pengunjung. Asap yang seharusnya menganggu, berbalik malah membuat perut lapar dan tergiur saat beberapa tusukan daging itu di letakan di atas arang.

Dari banyaknya pembeli, Zya dan Angga termasuk salah satunya. Dua remaja yang masih berpakaian putih abu itu duduk dengan tenang, menunggu pesanannya yang akan segera datang.

"Selanjutnya, gimana Zya?"

Zya menggeleng lesu. Angga ikut termangu, menunggu keputusan Zya setelahnya. Pulang sekolah tadi, Zya dan Angga benar-benar menemui Fajar. Ada keraguan dan keanehan saat mereka berbincang, Fajar tak lagi menghindar namun Zya dapat melihat kekosongan dalam dua netra nya.

Zya kembali menerawang, kilasan itu kembali memenuhi pikiran Zya, bagaimana wajah Fajar nampak jelas dalam ingatan, dan Zya masih ingat kalimat-kalimat mereka yang terus saling melempar tanya dan jawab.

"Masih sering lo jualan barang haram itu?"

Sore itu, ketiga remaja dari SMA yang sama tengah duduk, di samping pohon rindang ditemani kilau senja yang kian memanjakan mata untuk terus menatapnya. Baik Zya, maupun Angga, bahkan Fajar sama-sama menatap bulatan oranye yang membuat mereka terpikat. Pertanyaan Angga bahkan masih menggantung tanpa ada yang menyahut.

Tak lama, karena setalah itu Fajar dan dua lainnya ditarik kembali pada tujuan awal mereka.

"Udah enggak. Lebih tepatnya mulai sekarang sih."

Angga dan Zya sama-sama membuang napas lega. Kenapa baru sekarang, apa harus membuat Angga dan Zya repot dulu.

"Kenapa?"

Fajar menatap Zya bingung. "Kenapa apa?"

"Kenapa lo mau jualan barang haram kaya gitu. Masih banyak kerjaan yang bahkan lebih baik dari itu, kalau lo benar-benar butuh, browser lowongan kerja banyak di kamar Ayah gue, kalau lo mau bisa gue ambil," ujar Zya setengah menawarkan.

Nampak Fajar yang kini hanya terdiam, masih di sisa-sisa sidang mereka terhadap Fajar, kini sekolah mulai sepi, menyisakan satpam yang tengah menyapu halaman juga mengunci beberapa pintu.

"Kalau ada kerjaan yang satu hari dapat uang banyak selain itu, udah gue cari Azka. Tapi lo mikir, lowongan kerja buat anak pelajar memang lagi banyak, karena yang butuh enggak cuman gue, tapi apa lo tahu? Kita kerja satu bulan baru dapat gaji, dan karyawan baru biasanya setengah dari gaji senior."

"Terus? Lo mau langsung yang instan gitu? Dengan lo jualan kek gini tuh apaan Jar? Lo ngelakuin ini buat apa?" Angga menyela, di tengah-tengah perdebatan Zya dan Fajar.

"Kalau aja ini enggak nyangkut nyawa, enggak bakal gue lakuin Angga."

Angga dan Zya sama-sama saling tatap. "Maksud lo?"

"Ibu gue sakit. Udah beberapa Minggu di rumah sakit, dan lo tahu lah biaya satu hari aja tuh mahal, apalagi ini berminggu-minggu, Ibu gue enggak bakal dapat penanganan sebelum bayar biaya dulu, Ayah, sama gue, bingung, mau cari pinjaman kemana uang sebanyak itu, sedangkan di rumah hanya ada adek gue, masih kecil, dia tahu nya Ibu lagi pergi ke rumah Nenek, gue bingung Azka, Angga. Posisi gue sebagai anak sulung yang turut harus bantu."

"Malam itu, waktu gue bingung harus kaya gimana. Ada remaja seumuran gue, dia nawarin kerja dengan hasil yang buat gue senang. Setidaknya Ibu bisa dapat penanganan lebih lanjut. Gue bahkan gelap mata saat tahu pekerjaan gue apa, karena yang ada dalam pikiran gue cuman satu. Gue mau Ibu sembuh dan berhenti buat berjuang terus. Gue aja cape lihatnya, apalagi Ibu."

"Dan, lo tahu 'kan gue sering banget enggak masuk sekolah tanpa keterangan, Ibu sendirian saat jam Ayah kerja, enggak mungkin gue tinggalin."

"Hari ini." Fajar tertunduk, punggungnya bergetar, isakan mulai terdengar membuat Angga dan Zya menggeser posisi mereka jadi lebih dekat dengan Fajar.

"Hari ini kenapa Jar?" tanya Angga mewakili Zya.

"Ibu meninggal. Telat penanganan penyakit gagal ginjal kronis nya yang udah lama."

Jantung Zya dan Angga merasa berhenti sejenak. Mereka turut merasakan kehilangan.

"Kalau bukan karena Ibu, mungkin jauh dari dulu gue udah enggak mau sekolah, gue mau rawat beliau aja. Tapi Ibu pengen gue jadi sukses. Pengen lihat gue jadi sarjana buat kedepannya."

Baik Zya maupun Angga hanya bisa menepuk pundak temannya. Merasa iba saat Fajar harus kehilangan setengah nyawanya, Zya termenung, ada yang lebih sulit dari dirinya, bahkan orang menilai Fajar tidak baik karena mereka tidak tahu dalamnya seperti apa.

Sekarang, bagaimana? Mungkin setelah ini mereka akan mengobrol dengan kepala sekolah dan guru-guru lainnya.

"Itulah sebabnya, gue enggak suka kalian terus ikut campur, karena ini masalah pribadi gue Azka, Angga. Hanya keluarga gue aja yang perlu tahu."

"Tapi kita enggak bermaksud buat tahu tentang keluarga lo lebih dalam, kita hanya menyelidiki barang-barang yang lo jual aja kok, sekarang mana? Lo bawa apa enggak biar gue yang buang," ujar Zya.

"Hm. Ambil aja, mungkin ini teguran dan hukuman dari Tuhan, biar gue bisa rasain, lebih sakit mana antara lihat Ibu sakit atau Ibu pergi," ujarnya diakhir kalimat.

"Gue ambil. Jangan mau sentuh ini lagi Fajar, besok gue bawa beberapa browser itu dari Ayah, mungkin bisa bantu lo buat kecukupan ekonomi keluarga. Ah, sebelumnya kami minta maaf dan kami turut berduka," kata Zya yang diangguki Angga.

Fajar tersenyum sekilas, lalu bangkit. "Enggak masalah, gue juga banyak salah, maaf bikin kalian repot. Dan, Azka makasih tawarannya, itu bantu gue banget."

"Sama-sama."

Bersamaan dengan senja yang mulai tak terlihat, ketiganya berjalan beriringan menuju parkiran, dari beribu siswa mereka menjadi yang paling akhir untuk pulang.

"OUYYYY! SATE SATE! Ngelamun ae!"

Zya terperanjat, tak ada Zidan, ada Angga yang tidak jauh berbeda dengan Adiknya itu. Zya menatap sekitar, hari mulai gelap, saat melihat jam pada ponselnya, ternyata sudah pukul setengah enam, sebentar lagi adzan magrib.

"Kalau enggak habis nanti dibungkus, gue enggak mau ya nunggu lo makan di sini sampe isya!"

"Yeuu, lo pikir gue siput makanya lambat gitu," protes Angga tak terima.

"Siput makannya tuh enggak lambat Angga, yang lambat tuh jalannya," balas Zya.

"Serah lo!" sungut Angga menatap Zya tajam.

Membiarkan beberapa tusuk sate yang masih tersisa banyak, Zya memilih menatap jalanan kota yang mulai di penuhi lampu dari beberapa pengendara, tak lama setelah itu, Adzan magrib berkumandang, membawa langkah orang-orang yang taat pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, Angga dan Zya termasuk, mereka mulai bangkit, meminta dibungkus 'kan saja, makan dengan keluarga mungkin lebih nikmat, pikirnya.






🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang