Lembar awal, di mana kesan pertama yang dapat terlihat adalah kisah hidup si tokoh. Dari mana setiap sudut pandang yang orang lihat, yang orang baca yaitu si tokoh masih mendapat kebahagiaan, tidak tahu jika menuju lembaran lainnya seperti apa.
Kesannya, cerita ini memang dibuat sesuai kehidupan, banyak kejadian yang mungkin serupa seperti yang dialami di real life.
Zya Azka Saputra. Sapaannya memakai nama depan, karena, Zya bilang tidak ribet dan menurutnya itu nama hanya satu dari beribu banyak siswa di SMA. Tidak pasaran lah singkatnya, dengan begitu pula, tidak dapat dipungkiri jika Zya memang sudah terkenal dikalangan guru maupun siswa siswi.
Hari Minggu yang seharusnya menjadi tempat untuk Zya beristirahat, setelah berperang selama enam hari ini di sekolah, harus terhambat karena ada acara penting dalam organisasi yang dipegang Zya, terlebih dia adalah ketua, memiliki tanggung jawab yang besar.
"Yah, salim dulu." Zya menyodorkan tangan kanannya pada Aditya- sang Ayah yang tengah menikmati acara televisi.
"Hari Minggu mau kemana atuh Aa?"
Sambil membenarkan letak kaca matanya yang melorot, Zya menyengir sambil menunjukan room chat di grup nya yang kini ramai seperti pasar.
Aditya mengangguk-angguk. "Yaudah, gih sana. Di jalan jangan lupa beli sarapan ya, Mamah kamu pulangnya sore."
"Siap, Yah. Zya berangkat, Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam."
Polusi di kota Jakarta memang tidak diragukan lagi, Zya bahkan tidak bisa menghirup yang namanya udara segar. Walau masih terbilang pagi, asap kendaraan, bercampur yang lain sudah menempel saat ini juga. Zya membenarkan masker nya lebih dulu saat lampu tiba-tiba berubah menjadi merah, sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru jalan. Zya bersenandung kecil guna membunuh rasa bosan.
Gedung tinggi yang hampir selama 2 tahun setengah ini menjadi tempatnya menimba ilmu sudah berada di hadapan Zya. Tidak terasa satu semester lagi yang harus Zya selesaikan untuk mendapatkan kata lulus, juga menambah koleksi ijazah.
"Anak-anak udah pada datang?" tanya Zya, pada Angga, wakil nya yang sampai sekarang masih berjabat.
"Baru setengah, calon nya aja lelet banget, pagi-pagi udah bikin gue emosi, gila Zya!" balas Angga seraya berdecak kesal.
"Sabar Angga ya Allah, mungkin lagi pada nyuci dulu kali di rumahnya," tutur Zya santai sambil menggiring langkah mereka menuju aula.
"Dari subuh juga bisa kali Zya, emang dasarnya pada males aja. Generasi micin tuh emang beda!"
Ah, omongan teman Zya ini memang menyakitkan teman-teman. Dari banyaknya teman Zya, Angga yang lebih tidak bisa mengontrol yang namanya emosi. Kadang, mereka anggota osis lebih sering takut dengan Angga dibanding Zya. Angga itu memang tegas, Zya juga sama, namun berbeda dalam hal sifat saja.
"Lo tahu kenapa udah ada keriput-keriput gitu di dahi lo, Ga?"
"Gak." Angga menyahut dengan ketus. Masih kesal dengan para calonnya ini.
"Ya karena Lo sering banget marah-marah, jadi lo ce--"
"Cepet tua. Iya Azka! Gue tua, gue tua!"
Jika sudah memanggil Zya dengan nama tengahnya itu, Angga memang sudah kesal setengah mampus. Zya jadi ikutan kesal, ia terus memandang jam dipergelangan tangannya yang terus berjalan, sisa lima belas menit lagi, padahal jika semuanya sudah berkumpul, acara ini mungkin tengah berjalan dan bisa mempersingkat waktu.
Katanya, waktu adalah uang. Jadi teramat berharga bagi orang yang bisa menghargai waktu.
"Sumpah, lima menit lagi mereka enggak datang-datang, gue makan mereka!"
***
"Dari mana Aa?"
Remaja itu berjinjit dengan spontan saat suara Diana, wanita yang Zya cintai setengah jiwa raganya itu berdiri di belakang Zya dengan menanteng beberapa kantung plastik, dengan logo Alfamart di depannya.
"Mah, habis pulang belanja?" tanya Zya meraih tangan Diana, menyalaminya seperti biasa.
"Malah balik nanya si Aa teh, Aa sendiri habis dari mana? Pulang-pulang rumah sepi, Ayah enggak ada, Adek kamu juga enggak ada, si Teteh belum pulang, ini Mamah baru aja belanja bulanan." sambil mengeluarkan semua isi belanjaan, sesekali Diana melirik putra tengahnya yang kini tengah menopang dagu.
Zya terkekeh, lalu meneguk habis segelas air yang Diana sodorkan. "Habis hadirin acara di sekolah, pemilihan ketua osis baru buat periode sekarang Mah, Aa 'kan bentar lagi lulus."
Diana yang mendengarnya mengangguk-angguk sambil ber-oh ria. Selama tiga hari ini, Diana memang menginap di rumah sang Ibu, lantaran ada sesuatu yang mengharuskannya menginap di sana, sampai rela meninggalkan suami dan anak-anaknya. Biarlah, anak-anaknya juga sudah pada besar semua.
"Selama Mamah enggak ada, si Teteh masakin apa aja buat kalian?"
Zya mencibir dalam hati, apa yang Ibunya bilang? Dia menanyakan Kakak nya itu memasak apa saja dalam tiga hari ini?! Uang simpanan Zya harus kritis lantaran selama tiga hari ini ia pesan makanan cepat saji, terkadang, pagi-pagi Zya harus mengantri di tukang bubur Kang Omay yang antriannya tidak bisa dihitung.
"Mamah lihat aja sendiri, dapur Mamah berminyak, dari kompor, sampai ke perabot-perabotnya, Teh Nia masak telor aja wajahnya dipakein helm Mah," adu Zya memang benar apa adanya, tidak ada koki di rumah ini, hancur sudah seluruh perabotan dapur.
Diana membuktikan ucapan Zya, ia melirik ke arah rak piring yang disampingnya terdapat helm. Ya, anak sulung nya itu memang payah dalam hal memasak. Apalagi, Aditya, suami tercintanya itu.
"Gih sana mandi, bentar lagi adzan magrib, cari tuh si Zidan kalau main suka lupa waktu, palingan di rumah nya si Jojo," ujar Diana yang masih membereskan dapurnya.
Zya mengangguk, detik itu pula ia bangkit, sambil membawa gelas yang telah kosong ke arah wastafel. Meninggalkan Diana yang masih bergelut di dapur, kedua kaki Zya melangkah menuju kamarnya yang terletak di samping kamar sang Adik.
Seperti anak pada umumnya, Zya juga memiliki sifat yang pemalas. Bukannya ia mandi, anak itu justru duduk di kursi meja belajar, sambil membuka laptopnya yang menampilkan beberapa naskah yang harus ia revisi, selain sekolah, Zya juga memiliki kerja sampingan, menjadi editor dalam dunia literasi selama hampir tiga bulan lamanya.
"Zya Azka Saputra! Belum mandi juga ya? Mamah tahu loh Aa!"
Sang empu yang mendengar teriakan maut dari Diana pun buru-buru menutup laptop, sambil menyambar handuk, tidak lupa, pintu kamarnya ia kunci lebih dulu. Percaya tidak percaya, mata seorang Ibu itu banyak, hal yang seharusnya tidak terlihat pun, bisa terlihat dengan mudah.
Bukan, sulap, bukan juga sihir. Namun, memang begitu kenyataannya, tak dapat di ubah, tak juga dapat di bantah. Sudah banyak yang mengalaminya bukan selain Zya?
Lembar pertama menceritakan, Zya serta kesehariannya menjalankan peran sebagai anak tengah. Memiliki Kakak, juga seorang Adik, yang semakin membuat rumah mereka ramai.
Kuningan, 10 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 01. Semesta Punya Tujuan
Fanfic"Dunia Zya yang penuh lika-liku, dan kisah Aira yang berakhir pilu." Publish: 10 November 2022 End : 02 Desember 2022 [Sudah end & lengkap]