05. Meet the principal☄️

8 6 1
                                    

Suasana pagi hari yang terasa hening, Zya masih tidur dengan dada yang naik turun teratur. Di samping nakas terdapat sebaskom air juga kain. Di sofa kamar, Diana masih terlelap dalam tidurnya, setelah semalaman membiarkan kedua matanya terus terjaga untuk Zya.

Tidurnya seketika terganggu, saat ponsel Zya berdering dengan kencang, membuat getaran itu malah membangunkan Diana. Dengan keadaan yang masih belum sepenuhnya sadar, Diana berjalan mendekati garden lalu menyibaknya sedikit kencang, kedua matanya beredar mencari benda persegi yang masih bergetar tak ingin berhenti.

Ponsel dengan sisa daya dua puluh persen itu menyala, menampilkan langsung nama kontak si penelpon.

Angga. Nama yang tertampang jelas saat Diana melihatnya, Diana menggeser ikon hijau, lalu menempelkannya didekat telinga.

"Siapa Mah?"

Diana tersentak saat mendengar suara Zya, posisi Diana yang sebelumnya membelakangi Zya, kini berbalik sambil menyodorkan ponsel yang masih menghubungkannya pada Angga.

"Disuruh berangkat Aa, katanya penting. Aa mau berangkat? Enggak izin aja gitu?"

Zya memutuskan sambungan secara sepihak tanpa berbicara dengan Angga. Pasti ini tentang kasus yang semalam Aira bicarakan, tak salah lagi, ini memang tanggung jawab Zya. Namun dengan keadaannya yang seperti ini, tubuh Zya juga diminta untuk diistirahatkan sejenak.

"Iya, Aa mau berangkat, Aa mandi dulu," kata Zya seraya turun dari atas ranjang.

"Air anget Aa, jangan yang dingin," teriak Diana.

"Iya!" sahut Zya yang kini sudah terdengar suara air dari dalam kamar mandi.

Diana membuang napas jengah, lalu bergerak membereskan kamar Zya, sementara di ruang tamu, ada Zidan dan Nia yang gaduh seperti biasa. Adik, Kakak yang satu ini memang tak pernah akur, barang sedetik pun, membuat Aditya yang baru saja keluar kamar hanya dapat menghela napas.

Baru saja Aditya ingin duduk, lemparan bantal sofa mendarat pada wajahnya. Pelakunya tak lain si bungsu.

"Masih pagi ini ya Allah, Teh Nia hari ini berangkat pagi atau sore? Dek, sana buruan mandi, ayo cepetan," titah Aditya.

"Pagi, Yah, tapi Teteh mau sarapan dulu sebelum mandi," ujar Nia tertawa lalu berjalan menuju meja makan. Tak tahu saja, Diana belum memasak apapun.

"Dih jorok, itu iler dimana-mana, Adek udah mandi Yah, dari subuh kok, cuman belum pake seragam aja, Ayah ayo sarapan!" ajak Zidan menarik tangan Aditya menuju meja makan.

Ketiganya bengong saat tudung saji dibuka, menampilkan piring-piring kotor dan sisa-sisa makanan yang sudah tak layak dimakan, tak lama Diana datang bersama Zya yang sudah rapih, wajahnya masih ketara sedikit tak berona, tak seperti biasa menampilkan rona merah. Jalan pun, masih di wanti-wanti oleh Diana, meski lambat sekali, Diana memaklumi.

Zya jarang sekali sakit, diantara saudaranya yang lain. Namun sekali sakit, seperti orang sekarat sampai tidak bisa bangun sewaktu Zya masih sekolah menengah pun.

"Mamah belum masak apa-apa wahai para anak-anak ku dan suami ku, hari ini hanya ada sisa nasi, jadi bikin nasi goreng saja ya, Aa harusnya bubur sih, tapi bahannya udah enggak ada Aa, Ayah, beli gih sana, ngantri di persimpangan."

Aditya yang disebutkan pun mendongkak, lalu melirik Zya yang sudah duduk dengan wajah sayu nan kuyu nya. Ia jadi kasihan saat melihatnya, tak tega juga jika ia menolak.

"Masih panas loh Aa, kenapa sekolah?"

"Penting Yah," jawab Zya seadaanya. Ia sedang malas-malasnya menjawab pertanyaan orang.

Aditya hanya mampu mengangguk, lalu berdiri dan mengusap singkat punggung Zya. Masih pagi, mungkin yang ngantri juga masih sedikit, pikirnya.

"Emang Aa Zya teh sakit?" tanya Zidan yang kini baru sadar. Nia yang turut melihat dan mendengarkan pun beralih duduk di samping Zya.

"Hm, heeh atuh ieu mah panas. Zya, saran Teteh nih ya, izin dulu ajalah masalah di sekolah kamu itu," tutur Nia. Zidan mengangguk menyetujui ucapan Nia barusan.

Zya menggeleng lesu, seraya menjatuhkan kepalanya di atas lipatan tangan. Pagi yang seharusnya menjadi tempat untuk Zya beristirahat, lagi, harus terhambat karena tanggung jawabnya sebagai ketua.

Kini, Zidan dan Nia saling melempar pandang. Lalu dua-duanya mengangkat bahu.

***


Zya berjalan lesu menuju kelasnya, di depan pintu sudah ada Angga yang tengah bersedekap dada. Dengan kaki kanan yang tak bisa diam, wajahnya terlihat gelisah, saat netra nya menangkap sosok Zya, Angga berlari menyusul.

"Zya, ayo buruan udah ditunggu pak kepala di kantor," ujar Angga yang masih tak sadar dengan keadaan Zya saat ini.

Zya tak membalas ucapan Angga sedikit pun, sekujur badannya lemas sekali, kemari saja di antar Aditya, Diana yang menyuruh, bahaya jika membawa kendaraan sendiri.

Angga yang memang kesal, sedikit mendorong punggung Zya sambil misuh-misuh, tadinya Angga bercanda, namun saat Zya terjatuh dan tak kunjung berdiri, lantas membuat Angga gelagapan.

"Anjir, lo napa dah Zya!" teriak Angga panik. Berjongkok lalu membantu Zya berdiri.

"Banyak omong, diem Angga! Mau nangis aja gue ya Allah, mau pulang! Badan gue sakit nih, udah lo tunggu dimari, gue simpan tas dulu."

Jarak dari kelas ke kantor membutuhkan jarak yang lumayan jauh. Apalagi Zya yang kini berjalan saja terasa begitu lama, beberapa kali ia berjongkok, guna mengumpulkan tenaganya untuk berjalan, Angga yang sudah paham merasa kasihan, tahu seperti ini ia tak menyuruh Zya untuk kemari. Ya, Angga pikir semalam Zya mengirimkannya pesan bahwa ia sedang sakit hanya sakit flu biasa, maksudnya untuk berjalan masih mampu, nyata-nyata nya Zya berbeda dengan dirinya saat flu.

Baiklah, seperti yang sering kita dengar, orang itu berbeda-beda. Jadi jelas Angga dan Zya itu berbeda saat diserang flu.

"Permisi, kami mau ketemu sama Pak kepala sekolah," ujar Angga mewakili Zya untuk berbicara.

"Ada di ruangan sana, masuk saja," balas salah satu guru disana.

Ah, benar. Disana sudah ada pria berkaca mata tengah menunggu kedatangan Zya dan Angga.

"Silahkan duduk, Zya, Angga."

"Langsung aja ya, Fajar, sudah dua Minggu ini dia enggak sekolah, bukan apa, masalahnya pas saya kemarin datang kesana, Ayahnya bilang dia selalu berangkat dari rumah ke sekolah, ini memang masalah yang harus saya urus, apalagi wali kelas Fajar harus turut ikut andil. Tapi, Zya, Angga. Saya percaya sama kalian, Fajar teman kalian juga 'kan? Soal kasus itu, bagaimana? Penyelidikan kalian sampai kemana?" tanya Pak kepala seraya menatap satu persatu anak didik kepercayaannya.

Zya menyikut lengan Angga kencang, membuat sang empu menggaduh kesakitan. Zya sedang malas berbicara, Angga paham dengan komat Kamit anak itu.

"Belum jauh Pak, Minggu kapan ya saya lupa, waktu pulang sekolah kami lihat Fajar ngasih sesuatu gitu sama seseorang Pak, letaknya enggak jauh dari sekolah sih, pas saya mau samperin--" Angga menjeda ucapannya, membuat sang kepala sekolah jadi lebih serius mendengarkan.

Brak!

Angga menggebrak meja dengan kencang, membuat seluruh atensi semua guru menatap ke arah mereka.

"Eehh, tiba-tiba ada angkot lewat Pak, kecepatanya tinggi banget, sampe kayu yang tergeletak di jalan jadi dua, saya kaget dong, Zya juga. Pas liat ke sana lagi, Fajar udah enggak ada Pak."

"Hampura Pak, Angga orangnya memang suka terlalu menghayati kalau cerita, jadi dia gebrak meja karena emang kemarin suara kayu patah nya nyaring banget Pak, kaya gini nih." Zya ikut menggebrak meja, lalu dihadiahi cengiran gratis dari Angga dan Zya.

Semua guru, termasuk Pak kepala sekolah tak mampu berkutik. Salah apa mereka harus menerima murid-murid semacam Angga dan Zya.






🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang