Menjelang libur tiba, Aditya sudah mempersiapkan semuanya. Dari tujuan mengajak keluarga berlibur kemana, lalu kembali berusaha membangun kenyamanan bagi anak dan istrinya. Aditya pun, turut merakit kembali kisah yang kini telah berantakan, perlahan, pria berstatus kepala keluarga itu memperbaiki apa yang setengahnya telah rusak.
Para wali murid mulai berdatangan untuk menyaksikan lulusan putra putri mereka, sekaligus merayakan hari yang bahagia ini. Di aula, Aditya dan keluarga sudah duduk anteng, tak sabar menunggu hasil terbaik dari anggota keluarga mereka.
Zya menoleh ke samping saat Aditya menggenggam tangannya, meyakinkan Zya apapun hasilnya, Zya sudah berusaha dan masih mendapat predikat terbaik bagi keluarga.
"Para tamu undangan dimohon untuk berdiri, kita menyanyikan lagu kebangsaan terlebih dahulu."
Sebagian orang merasa sedih dan berat untuk melepas masa-masa remaja mereka setelah tiga tahun di sini. Dari awal mereka ikut pengenalan lingkungan sekolah, lalu bertemu dengan teman-teman, membuat serangkaian kisah yang seru dan disimpan untuk anak cucu kelak, semua terukir cantik di gedung ini.
Acara berlangsung kurang lebih satu jam, sesi pemotretan menjadi bagian akhir dari acara singkat hari ini.
Usaha Zya memang tak menghianati hasil. Zya menjadi murid dengan lulusan terbaik setelah temannya Angga. Mungkin jika orang lain akan merasa senang, dan berekspresi sumringah. Namun, Zya, remaja itu seperti tak ada semangat apapun.
"Aa memang bisa diandalkan, Mamah bangga!" seru Diana. Merasa sangat puas dengan deretan nilai putra tengahnya.
Tak ada balasan, atau reaksi apapun dari Zya. Dengan lunglai, Zya berjalan menuju mobil, meninggalkan beberapa anggota keluarganya yang dilanda kebingungan.
Dalam pikiran Zya sekarang berbagai bisikan terus terdengar, mengumpatinya, memaki, juga menjatuhkan Zya lebih dalam lagi. Aditya memegang kedua pundak Zya, memanggil namanya berulang kali. Aditya memekik spontan, saat tubuh Zya meluruh bersamaan dengan buket bunga yang Zya pegang terjatuh bersamaan.
Mungkin, Zya ingin tidur sebentar. Membiarkan rasa lelah nya lenyap sendiri. Saat kita haus, kita butuh yang namanya kesegaran, maka saat lelah pun, kita butuh ketenangan dan suasana yang nyaman.
Dibiarkan seluruh anggota keluarganya dilanda khawatir, Zya terpejam dengan damai, seakan seluruh bebannya sekarang telah hilang.
"Zya baik-baik aja Zidan, harus percaya sama Teteh," bisik Nia pada Zidan yang terlihat gelisah.
Zidan ingin menyangkal, namun ia juga ingin Zya baik-baik saja. Maka ia sekarang hanya bisa mengangguk, menatap wajah damai sang Kakak yang masih setia memejam.
"Kamu lihat ajalah sekarang Diana, kamu enggak akan puas kalau belum lihat anak kamu sekarat!"
Sebetulnya, Aditya tak ingin memulai perang dengan istrinya--Diana. Namun, melihat putranya sekarang, Aditya benar-benar tak bisa menahan segala kekesalannya selama ini.
"Dia capek Diana. Istirahat dengan modal tidur aja enggak cukup buat dia, coba kamu yang jadi Zya, kuat enggak kamu?!"
Wanita itu semakin tertunduk dalam, niatnya hanya untuk kebaikan Zya, namun caranya memang salah. Diana tak tahu, harus bahagia atau sebaliknya.
"Tapi aku lakukan ini semua buat kebikan dia Mas, dia anak aku juga, jadi ak--"
"Kebaikan apa yang kamu maksud Diana? Apa?! Buat anak sakit kamu bilang itu kebaikan? Kamu harusnya nger--"
"MAS! AKU SELALU SAKIT SETIAP KALI MAMAH KAMU MAKI-MAKI ANAK AKU ZYA KARENA DIA TIDAK BISA MENJADI APA YANG MAMAH KAMU MAU! Coba kamu pikir, yang lebih jahat disini siapa? Aku, atau Ibu kamu!"
"Kamu ngerti enggak Mas, hah, setiap kali cucu-cucunya yang lain dan saat keluarga kita mengumpul, selalu anak-anak aku yang Mamah pojokan. Karena mereka tak sesukses cucu-cucunya yang lain, kamu pikir dong Mas. Aku enggak sakit hati lihat anak-anak aku di gituin?!"
Senyap, tak ada yang bersuara, mobil melaju dengan tenang tanpa ada lagi keributan.
Nia menggigit bibirnya dalam diam, sampai kapan pun, Diana memang seorang Ibu yang baik bagi Nia, sekeras apapun perlakuannya yang pernah dirasakan Nia, selalu ada sesuatu dibalik itu semua. Namun, mungkin, jalan yang Diana ambil jalan yang salah, tak seharusnya seperti ini.
Sampai satu persatu keluar dari mobil, Nia masih berdiam di dalam, sendirian. Terlalu banyak pikiran yang bergelayut membuat Nia pening sendiri, pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kamar Zya saja, menunggu sang empu kembali membuka kedua matanya.
"Apa? Kamu mau bilang apalagi Mas?"
Aditya duduk lebih dulu, di ruang tamu yang kini hanya ada mereka saja, usai pulang dari acara kelulusan Zya, bukan sepenuhnya bahagia yang mereka dapatkan, namun luka yang semesta kirimkan.
"Diana, aku enggak akan pernah bosan menasehati kamu. Aku yang bertanggung jawab atas istri dan anak-anak ku kelak, kita luruskan saja masalah sekarang, bagaimana? Besok kita harus membuka lembaran yang baru, kisah sebelumnya sudah penuh."
Diana menghela napas, lalu mengangguk pelan.
"Kita tak perlu mendengarkan apa kata orang lain Diana, yang penting kita bahagia, senang dan nyaman. Baik untuk kita dan bukan untuk orang lain, maksud aku, kamu enggak usah mikirin apa yang Mamah aku minta Diana, sukses bukan diatur sama Mamah aja, yang jalanin dan yang menikmati hasil bukan Mamah juga, kita enggak perlu bersaing sesama keluarga."
Aditya memegang kedua pundak sang istri, menatapnya begitu lama, lalu menarik dan mendekapnya erat-erat.
"Hidup itu bukan perihal jabatan dan predikat hanya untuk di pandang orang. Berbuat baik saja, itu sudah lebih dari cukup, meski sebagian orang menganggapnya biasa, tapi Tuhan menganggap itu luar biasa."
"Diana ... istriku, kamu Ibu dari anak-anak kita yang luar biasa. Jangan sandingkan batas kemampuan anak-anak dengan yang lain, semua kapasitas otak anak berbeda, kita tak perlu melatihnya terlalu keras, mereka akan berhasil pada rezekinya masing-masing."
"Belajar dari kejadian sekarang, Tuhan sudah memberikan kita teguran, atas apa yang terjadi pada putra kita, yang hanya dibutuhkan anak-anak hanyalah semangat, motivasi, dan kita harus memberikan mereka rasa percaya diri, singkatnya kita hanya perlu mendukung apa yang mereka mau, selagi itu baik," sambung Aditya.
Diana terisak sekarang, begitu beruntungnya dia bisa memiliki Aditya selaku suaminya yang baik dan bertanggung jawab. Aditya benar, dan Diana menyadarinya sekarang.
"Kenapa Tuhan mengirim kamu yang baik untuk aku yang begitu buruk, Mas," lirih Diana semakin mempererat dekapannya.
"Karena Tuhan tahu, kamu butuh seseorang yang akan membawa kamu menjadi lebih baik lagi, Diana, yang perlu kita lakukan setiap harinya adalah bersyukur dan menikmati hidup dengan baik, tak perlu melirik komentar orang-orang, oke?"
Diana mengangguk. Hari yang terasa panjang sekaligus lega, Aditya, sebagai seorang pemimpin rumah tangga merasa tenang setelah satu persatu masalah mungkin telah usai.
🪐
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 01. Semesta Punya Tujuan
Fanfic"Dunia Zya yang penuh lika-liku, dan kisah Aira yang berakhir pilu." Publish: 10 November 2022 End : 02 Desember 2022 [Sudah end & lengkap]