10. Chasing Dawn☄️

8 5 5
                                    

Menjelang ujian nasional tiba, Zya bukan hanya disibukkan di organisasi nya, namun juga disibukkan dilain pihak. Meski, beberapa hari lagi Zya resmi melepas jabatan, dan digantikan dengan yang baru, tanggung jawab soal siswa bernamakan Fajar itu masih tetap harus Zya urus.

Maka hari ini, hari Senin kembali menyapa. Padahal saat hari Minggu, tepatnya malam, Zya ingin sekali rasanya diperpanjang, momen saat Ayah mengajaknya keluar dan menghadiri acara kantornya, Zya diperkenalkan dengan rekan-rekan kerja Ayah, bermain musik bersama, bernyanyi, berpesta. Zya bersenang-senang malam itu juga.

Zya merapihkan jas osis kebanggaannya. Menatap kalender yang sebentar lagi tanggal tua. Remaja umur 17 tahun itu hanya membuang napasnya pelan, berjalan meninggalkan kamar dan tak lupa menutup pintunya.

"Pulang sekolah mampir ke apotek dulu Aa, sekalian lewat." Diana tiba-tiba datang dari arah kamar, mencegat Zya yang ingin turun ke bawah.

"Beli apa Mah?"

"Beli obat lah Aa, kata siapa di apotek ada ban motor," balas Diana.

Zya terkekeh, maksudnya bukan seperti itu. Ah, sudahlah, tak jadi masalah.

Seperti biasa, obat untuk meredakan sakit pinggang, nyeri otot, dan sebagainya. Untuk Aditya, faktor tua, jadi harap maklum. Semalaman mungkin bersenang-senang sampai lupa jika Aditya sudah tua. Anak saja sudah besar-besar, hm.

"Mamah enggak masak Aa, beli di kantin aja," ujar Diana kembali setelah memberikan dua lembar mata uang kepada Zya.

"Iya Mah. Aa berangkat ya."

Masih pagi, jadi rumah masih sepi. Diana juga belum memasak, mungkin bahan-bahan di rumah juga habis. Kedua saudaranya belum memunculkan batang hidung sendari Zya bangun tidur. Entahlah, mungkin masih nyaman dalam dunia mimpi mereka.

Menatap bunga-bunga yang Diana tanam kini bertambah besar dan segar, Zya tersenyum dengan lebar. Ia jadi merindukan suasana desa, tempat Nenek dan Kakek nya di sana. Dulu, saat liburan semester, mereka selalu pergi ke sana, menginap, menghabiskan waktu libur mereka di desa yang asri dan jauh dari polusi.

"Zya! Woy, malah bengong si Dugong. Buru berangkat!"

Suara Angga terdengar nyaring saat berteriak. Zya dibuat kesal, lantas berjalan cepat menuju gerbang. Hari ini Zya di jemput Angga, sedang malas membawa motor dan menjemput Aira. Singkatnya mah, si Zya lagi marahan sama Aira.

"Eh Ga, beberapa Minggu ini lo ... ada lihat si Fajar sekolah?"

"Kagak." Angga menyahut apa adanya, saat motor sudah dijalankan, dan angin yang terus menerjang mereka, membuat suara Zya yang di belakang terdengar samar-samar.

"Apa perlu kita ke rumah nya?"

"Naon Zya? Yang kenceng ngomongnya!"

"Ish, APA PERLU KITA KE RUMAH NYA?! ANGGA BUDEK! BAU! DEKIL! NGESELIN LO!"

"Biasa dong Zya, teriak sekalian ngeroasting orang, iya iya, nanti jam istirahat deh kita ke rumah Fajar," kata Angga yang kini berhenti saat lampu merah tiba.

Tak ada obrolan lagi setelahnya. Hanya beberapa pesan dari Aira yang tak Zya lihat. Sengaja, ia masih kesal dengan gadis nya itu. Kurang pengertian apa lagi Zya ini, kalau dipikir, sebelum mengenal rasa dan cinta, Zya tak pernah sebodoh ini, namun yang ia kenal itu Aira, Aira! Berbeda dari yang lain.

Dan Zya sulit untuk melepas Aira.

"Goblok memang," umpat Angga pas sekali untuk suasana hati Zya. Tak ada angin tak ada hujan, seekor anak ayam lewat melintas di depan ban motor Angga yang hendak berjalan. Refleks Angga yang bagus, menyelematkan satu ekor anak ayam yang hendak merenggang nyawa. Hah ... Senin pagi yang kembali menyebalkan.

"Aishhh! Anjing!!"

"Ga, buka dua mata lo. Melek Ga, melek, itu Ayam bukan Anjing," lontar Zya semakin membuat Angga bersulut emosi. Sudah tahu, kesabaran Angga setipis tissue.

"IYA ITU AYAM, LO YANG ANJING AZKA!"

Zya hanya dapat mengehela napas pasrah, kini keduanya impas. Tadi Zya yang teriak memaki Angga, kini bergantian Angga yang memaki Zya.

"E--eh, Ga, Ga, itu Fajar!" teriak Zya sambil menepuk-nepuk bahu Angga brutal. Membuat sang empu mendengus kesal, sambil menepikan motornya.

Zya dan Angga sama-sama menajamkan penglihatan mereka, saat sosok Fajar, yang mereka incar kini berada di depan mata. Terlihat Fajar yang baru saja keluar dari rumah, besar, megah, dan terlihat pemiliknya itu orang punya. Bukan rumah Fajar tentunya, mereka jelas tahu rumah Fajar, setiap seminggu sekali kadang mereka kesana, ditemani wali kelas dari Fajar dan kepala sekolah.

Terakhir kali mereka kesana, di rumah hanya ada Adiknya Fajar, tak ada Ayah ataupun Ibu mereka sejak mereka datang kesana. Bahkan, Fajar pun turut tak ada di sana. Yang menyambut kedatangan mereka hanyalah kerabat dari keluarga Fajar, entahlah mereka tidak tahu silsilah keluarga Fajar.

"Mau kemana tuh, kok Fajar enggak pake seragam ya?" tanya Angga. Zya menggeleng sebagai jawaban.

"Ikutin enggak ya Ga, ini udah mau jam tujuh," timpal Zya. Angga ikut berpikir, yang pada akhirnya ia berniat menghubungi kepala sekolah saja.

"Gas, Zya lo yang nyetir. Gue mau hubungin pak kepala."

Zya mengangguk, pada akhirnya si ketua osis dan wakilnya berniat mengikuti Fajar. Zya seperti tak asing saat Fajar melewati jalan kemari, tak banyak tikungan, lurus saja, ini seperti ... hari-hari saat Zya dibawa ke klinik malam-malam, ya, Zya tahu persis. Ia masih dalam posisi sadar saat itu.

"Kok, ini kaya jalan mau ke klinik ya Ga," ujar Zya yang tak paham. Angga yang sibuk bertukar chat dengan pak kepala menghiraukan ucapan temannya.

Ah, tidak. Klinik sudah terlewati, mau kemana seorang Fajar ini. Zya sedikit memelankan gas nya, saat Fajar hendak berbelok, berhenti tepat disebuah bangunan tinggi yang selalu Zya hindari. Ini kesekian kalinya Zya kemari, terakhir dalam keadaan sakit dan berlarian mencari ruang inap Zidan.

"Sehat lo Zya? Ini rumah sakit, si Fajar mana anjir? Wah, enggak bener lo ngikutin nya," sungut Angga hanya dibalas delikan tak terima oleh Zya.

Zya menoyor kepala Angga keras. Lantaran kesal, temannya ini selalu tak mengerti situasi. "Makanya dari tadi tuh lihatin! Gue ngomong enggak di denger, giliran udah sampe lo bilang gue enggak bener? Heh! Angga bego, si Fajar emang berhenti di sini, tuh lihat, LIHAT MOTORNYA!"

Angga mengikuti arah tunjuk Zya, remaja itu kini hanya terkekeh sambil membungkukkan badan bergumam maaf.

"Mianhae, Oppa, mianhae."

"NAJIS!" teriak Zya lalu dengan segera menyusul Angga yang sudah tak terlihat.

Zya dan Angga sama-sama membungkukkan badan dengan kedua tangan yang  menopang pada lutut, keduanya sama-sama meraup oksigen dengan rakus. Saat mereka sudah menemukan keberadaan Fajar yang berada di Apoteker. Keduanya ketahuan saat tiba-tiba Fajar membalikan badan.

Karena kalut, Angga dan Zya berlari kembali keluar, menancap gas dengan kencang, dan kini mereka berada di parkiran sekolah.

"Hah ... hah ... Fajarrrrr!" teriak Zya dan Angga bersamaan. Kesialan mereka kini bertambah berkali-kali lipat. Mungkin saja disana kuping Fajar terasa panas, saat Zya dan Angga mengumpatinya dari sini.







🪐
   

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang