Zya merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa pegal. Selama hampir satu jam dalam posisi duduk bersila dengan laptop yang menyala, remaja itu kini beralih turun dari ranjang menuju nakas untuk menuangkan segelas air ke dalam gelas.
Meneguk dengan habis, Zya memilih untuk turun. Meninggalkan pekerjaannya yang deadline tersisa dua Minggu. Dari anak tangga ujung, Zya sudah mendengar teriakan menggelegar dari Zidan, Adiknya yang masih menginjak sekolah menengah pertama.
"Aa! Aa Zya tolongin Zidan dari amukan singa perempuan ituuu!"
Zya yang baru saja sampai diujung anak tangga terakhir pun, sedikit terdorong, kala Zidan yang bersembunyi di belakang punggungnya, kedua sisi kaos Zya diremat kuat oleh sang empu.
"Zidan sini kamu! Punya Adek nakal banget ampun, kamu kemanain kemarin proposal-proposal Teteh hah?!"
Tubuh Zya ikut terhuyung kesana-kemari saat kedua saudaranya terus bertikai. Ada Diana, Ibunya yang tengah berkutat di dapur, juga Aditya yang baru saja selesai sholat isya.
"Aduh, Zidan sama Teteh bikin Aa pusing. Coba bicarain baik-baik, Teteh lupa naruh kali Teh. Lagi pun kemarin 'kan Zidan full sekolah ya 'kan Dek? Sampe sore karena ada latihan apa, Aa lupa, latihan apa Dek?"
"Iya, Aa pinter. Zidan ada latihan paskibra."
"Terus kok bisa ilang? Sebelumnya Zidan masuk ke kamar Teteh mau pinjem stabilo 'kan? Nah, itu tuh. Di atas meja ada proposal Teteh, mana besok dibawa lagi, aaaa emakkk! Enggak mau tahu, tanggung jawab kamu Zidan!"
Zya jadi turut riweuh. Pasal kedua saudaranya yang dikit-dikit ini, dikit-dikit itu, melangkah meninggalkan si Teteh juga Adiknya, Zya memilih duduk di sebelah sang Ayah yang tengah menonton acara televisi.
Ayahnya memang hobi menonton acara-acara televisi, apalagi saat malam hari.
"Kenapa lagi tuh berdua?" Aditya bertanya, sambil melirik ke arah Zya sebentar.
"Tau tuh, Yah. Udah gede-gede masih aja kek anak-anak, proposal Teteh hilang katanya, terus nuduh tuh si Zidan. Emang enggak salah sih curiga sama anak itu, dia kan usil, jahil, ngeselin juga."
Aditya yang mendengarnya hanya bisa tertawa pelan, fokusnya kini tak lagi pada televisi, namun pada wajah teduh putra tengahnya, Zya selalu bersikap dewasa antara Adik juga Kakaknya. Aditya tersenyum bangga, sambil merangkul Zya yang kini tingginya melebihi Aditya sendiri.
"Rencana Aa nanti pas masuk kuliah mau ambil jurusan apa?"
Zya mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu. Zya rasa, ia tidak memiliki bakat di bidang apapun, padahal Zya suka sekali dengan musik, namun baru memegang salah satu alat musik saja Zya langsung teringat akan pesan Diana.
'Aa, coba lakukan sesuatu hal yang bermanfaat. Bermain musik itu hanya membuang-buang waktu.'
"Ayah tahu, anak Ayah ini suka musik. Minggu depan mau ikut Ayah enggak?"
Zya, yang tadinya tidak terlalu fokus pada obrolan pun, seketika menoleh pada Aditya. "kemana, Yah?"
"Ke kantor. Ada acara akhir bulan, selain acara makan-makan, teman kantor Ayah juga ada yang bisa bermain musik, akan ada pertunjukan gratis," jelas Aditya.
"Oh iya? Aa ma---"
"Loh, loh, bukannya lebih bagus belajar ya buat ujian, bentar lagi 'kan ujian, Aa juga harus banyakin istirahat, simpan energi nya buat ujian nanti. Selama ini 'kan Aa sibuk ngurusin organisasi, bukan begitu Aa?" tanya Diana seraya meletakan satu dua piring plastik yang isinya berupa makanan ringan yang ia buat.
Aditya, pria itu menoleh ke samping yang ia dapati putra tengahnya kini menunduk sambil memainkan ujung kaosnya sendiri. Ucapan Diana memang tak ada unsur membentak apalagi kekerasan, namun dengan nada lembutnya seakan menyudutkan Zya untuk mendengarkan apa yang Diana katakan.
"Enggak papa lah Mah, sekali-sekali, putra Ayah yang satu ini juga butuh refreshing, hm. Oke, nanti Minggu Zya siap-siap aja, kita berangkat pukul delapan malam." Aditya berujar sambil menyisir rambut Zya dengan lembut.
"Makasih, Yah." Zya melempar senyum, lalu bangkit. Seakan hidangan didepannya ini tak menarik untuk membuat Zya berdiam di tempat, anak itu memilih pergi ke kamar.
Berbeda dengan Zidan dan Nia. Kakak beradik itu malah asyik bergabung dengan Diana juga Aditya saling berebut cemilan yang Diana hidangkan. Tersenyum teduh, Zya memilih untuk segera tidur saja. Besok hari Senin, hari yang menurutnya berat sebelum hari Kamis.
***
"Aa, anterin sebentar aja ya, ya. Bentar aja kok, cuman ke rumah Sena. Ambil makalah doang kok ini." Zidan memohon, bahkan sampai memegang kedua kaki Zya untuk mengantarkannya ke rumah Sena.Bukan tidak mau mengantarkan, namun Zya sudah nyaris telat karena ia terbangun jam setengah enam pagi. Kini sudah setengah tujuh, Zya harus segera ke sekolah untuk membantu para anggota osis yang tengah mempersiapkan alat untuk upacara.
"Tapi Dek, Aa udah telat ini. Lagi pun Sena juga sekolah 'kan nanti? Kenapa tadi enggak ikut sama Ayah pake mobil," kata Zya dengan nada yang kini terdengar kesal.
"Sena enggak sekolah Aa, dia izin. Teh Nia udah berangkat, Ayah juga udah, sisa Aa Zya aja yang belum, ayolah Aa anterin Zidan ke sana yaaa, hmm. Tadi Zidan lupa kalau makalah ada di rumah Sena, kalau enggak lupa mah Zidan minta Ayah anterin kesana."
Diana yang tengah menyiram tanaman pun menyipit, saat atensinya melihat Zidan dan Zya yang masih sibuk berdebat di parkiran. Dengan tangan yang masih membawa selang air, Diana menghampiri keduanya.
"Zidan, Zya kok belum berangkat? Udah siang loh ini. Zidan temen kamu si Sena, Sena itu mana kok belum kesini kaya biasa? Aa, kamu juga, ketua osis kok berangkatnya siang."
Zya mengehela napas, ia siap-siap memarkirkan motor, apa boleh buat jika sudah ada Diana disini. Pasti Zidan akan mengeluarkan jurus rengekannya, lalu menyudutkan Zya seakan ia pelaku yang jahat, tidak ingin menolongnya. Maka, sebelum ada drama lagi, Zya menarik Zidan untuk segera naik ke atas motor.
"Enggak ada apa-apa Mah, kita lagi diskusi aja tadi tuh. Hari ini Zidan berangkat sama pulang bareng Aa. Kita berangkat ya Mah, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati!"
Tak ada sahutan kembali, Zya sudah berada di jalan menuju rumah Sena, lalu mengantar Adiknya ke sekolah yang jaraknya lumayan juga. Harus putar balik setelah dari rumah Sena. Memang benar kata Zya, hari Senin adalah hari yang menyebalkan, meski banyak sekali hikmah pada hari yang tak disukai oleh sebagian orang. Tetap saja, kesialan tak pernah luput Zya dapati pada hari ini.
"Pulang nanti Aa enggak mau tahu ya, kamu pulang sendiri, terserah mau naik bus, angkot, gojek, jalan kaki, atau pun nebeng yang penting kamu pulang. Awas kalau kelayapan! Aa makan hidup-hidup!"
Zidan tak terima dengan pernyataan bullshit Kakak keduanya ini. "loh, tadi bilangnya sama Mamah, Aa anterin sama jemput bareng Zidan loh, kok sekarang beda?"
"Biarin! Kamu bikin Aa telat. Nih sekarang udah mau setengah delapan, mau apa kamu?"
Telak. Zidan tak dapat membalas ucapan Zya. Jika anak itu sudah berkata tanpa embel-embel Dek, atau pun Zidan. Artinya Zya benar-benar kesal padanya.
🪐
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 01. Semesta Punya Tujuan
Fiksi Penggemar"Dunia Zya yang penuh lika-liku, dan kisah Aira yang berakhir pilu." Publish: 10 November 2022 End : 02 Desember 2022 [Sudah end & lengkap]