17. Mind burden☄️

6 5 1
                                    

Jika orang sudah terkait dengan perasaan dan cinta. Lalu tiba-tiba badai datang dan menerjang kapal mereka yang tengah berlayar, segepok uang pun tak akan membuat perhatiannya teralihkan. Contohnya saja Zya, remaja itu kini tengah merenung di meja kantin dengan kuah bakso yang perlahan mulai mendingin.

"Di makan atuh itu bakso nya, keburu dipatuk ayam," kata Angga. Sayang saja, melihat bakso yang membahana dibiarkan mendingin tanpa disentuh.

"Di sekolah kita enggak ada ayam dan ini bukan kawasan ayam," balas Zya, membuat Angga kalah talak.

Yang dapat Angga lakukan kini hanyalah menghela napas, sambil menyeruput habis minumannya yang kini menyisakan beberapa es batu berbentuk balok.

"Aira lagi?"

Zya mengangguk. Angga sudah tak heran dengan temannya ini, dari hal kecil, bahkan saat Zya berhubungan pertama kali pun, Angga yang selalu mendengar keluh kesahnya selama ini. Tak heran, jika Zya selalu mengandalkan Angga dan mempercayainya lebih dari yang lain.

"Kenapa lagi sama Aira? Tadi gue lihat dia di uks," ujar Angga seakan tengah melapor pada atasan.

"Ngapain?"

Angga mengangkat bahu, namun tetap menjawab. "Minta itu kali."

"Itu apaan?" Zya kembali melempar tanya.

"Ya itu, masa lo kagak tahu."

"Iya itu nya apaan Angga! Yang jelas dong!"

Nah, kan. Zya jadi ngegas kembali. Angga tak enak jika langsung to the point, lagi pun kenapa Zya pintar-pintar lemot sekali, Angga jadi gemas dengan Zya, ingin merobek kulitnya saja.

"Itu loh, yang buat perempuan kalau tamu datang, maksud gue datang bulan, soalnya tadi gue lihat belakangnya di tutupin terus sama buku," ungkap Angga memang benar begitu.

Zya mengangguk paham, Angga kira Zya tak akan lanjut bertanya dan memilih mencari topik lain, namun ternyata, di luar dugaan, Zya malah mengajak Angga untuk berpikir bersama-sama.

"Kenapa bisa disebutnya datang bulan?"

"Bego si Zya duh! Ya karena datangnya tiap bulan lah!"

Benar juga. Angga tercengir bangga, tak sia-sia juga ponselnya saat ini, meski merk jaman dulu, namun soal kecepatan nomor satu, sebelum menjawab pun, Angga browsing lebih dulu.

"Oh, iya juga."

Jangan heran, namanya juga Zya dan Angga. Apapun itu semua mereka bahas jika sudah di kantin, pernah sekali mereka membahas kenapa mie goreng namanya kalau cara masaknya aja di rebus. Angga sampai stres gara-gara teman dungu nya itu.

Kembali pada topik awal, Zya masih belum melahap bakso nya, kini Zya kembali termangu sambil menopang dagu, persis seperti bapak-bapak yang baru saja dipecat dari kantor. Sedang memikirkan mau cari kerja kemana lagi. Angga jadi turut prihatin melihatnya.

"Ngapa sih sama kalian? Si Aira ada selingkuh? Atau lo yang selingkuh?"

"Sembarangan lo!" Zya memukul pelan bahu Angga dengan sendok.

"Ya terus kalian kenapa wahai kawan? Galau terus, melamun terus, dirasukin setan baru tahu, konon setan sekolah tuh pada galak, lo inget 'kan Zya, katanya tiap sekolah tuh ada penunggunya, katanya dulu sekolah ini bekas rumah sakit, nah kantin ini dulu tuh ruang mayat, beuh dah tuh, banyak noh setan-setan yang dulu di ruangan mayat enggak sempet di jemput keluarga malah keburu kebakaran rumah sakit nya!"

"Kok malah kesana sih?!"

Angga menggaruk tekuknya, lantas apalagi yang harus Angga lakukan, Angga bertanya, Zya tak kunjung menjawab, kini posisinya serba salah, Zya seperti perempuan yang ini itu salah.

"Waktu itu Mamahnya Aira ngobrol sama gue," beber Zya sambil menerawang ke atas, seakan adegan itu kembali muncul dan dilihat Angga.

Angga diam, enggan menyela walau ia sudah menduga-duga. Entah benar atau tidak Angga tidak tahu.

"Aira mau kuliah."

'Oh, bukan, gue kira emaknya Aira larang Aira buat hubungan sama Zya.'

"Ya bagus dong Zya, lo juga mau kuliah, nih anak kadang-kadang ya." berniat untuk tidak menyela, namun kini mulut Angga sudah gatal.

"Dia mau ke luar negri. Pindah ke sana dan Aira bakal di jodohin di sana."

Napas Angga tercekat, bersamaan dengan Zya yang mulai menunduk.

"Semua orang bakal bilang itu bukan jodohnya, itu belum rezeki gue, gue tahu Ga, gue tahu. Dengan tamparan menyakitkan itu aja udah buat gue sadar, bahwa selama ini, gue hanya jagain jodoh orang."

"Bilang aja gue lebay, masalah cewek aja di masalahin. Tapi gue beda Angga, itu Aira. Perempuan pertama yang benar-benar bikin hidup gue sedikit ada warna," lanjut Zya.

Angga tahu, maka ia mengangguk. Zya tak sepenuhnya berbohong soal perasaannya pada Aira. Jauh sebelum mengenal Aira, Zya bahkan sulit untuk bersosialisasi dengan keadaan sekitar, singkatnya Zya cuek pada sekitar. Jika bukan Aira, Zya tak akan kenal Angga, jika bukan karena Aira juga, Zya tidak akan menanam nama baiknya di sekolah, juga di kenal seluruh warga sekolah.

Aira membawa dampak baik untuk kehidupan Zya yang dulunya penuh kesuraman, jika dibeberkan lebih panjang lagi. Zya berada dalam satu titik hitam, dimana Zya tidak melihat apapun, lalu tiba-tiba Aira datang, menariknya dalam secarik cahaya terang yang membuat hidupnya jauh lebih tenang.

"Gue paham Zya. Tapi gue bakal kaya orang-orang, mungkin, memang ini belum rezeki lo. Jauh dari keadaan lo sekarang, mungkin Tuhan bakal kasih yang lebih baik dari Aira."

"Jangan mengeluh, jangan bersedih terlalu lama. Enggak baik, masih banyak orang yang lebih-lebih dari lo. Ke kelas yuk, bel udah bunyi," ajak Angga. Zya ikut bangkit meninggalkan semangkuk bakso yang menjadi saksi perbincangan mereka beberapa detik lalu.

Isi kepala Zya saat ini padat oleh berbagai masalah. Soal Fajar yang belum tuntas, tetang Aira yang harus Zya hadapi seperti apa, padahal Zya tahu, lambat laun saat mereka lulus nanti, Zya sudah pasti berpisah dengan Aira. Namun, Zya ingin mengukir kenangan lebih dulu, jika bisa.

"Ngomong-ngomong, gue lihat Fajar. Tadi anaknya sekolah, pulang nanti pokoknya kita harus ketemu sama itu anak, gue mau cepet-cepet tuntasin Zya."

"Iya."

Tak hanya Angga dan Zya yang berjalan di lorong menuju kelas, kini siswa siswi yang lain pun turut masuk, sisa dua mata pelajaran, setengah otak Zya sudah mengepul, nanti bisa-bisa meledak setelah dihadapkan dengan matematika dan kimia.

"Jangan dijadikan beban Zya, ini hanya sementara, anggap aja lo lagi ujian," ujar Angga yang tak henti menatap Zya.

"Enggak bisa Ngga, udah numpuk di daftar otak gue."

Kalimat terakhir Zya hanya dibalas tepukan pada bahunya oleh Angga. Bersamaan dengan itu, langkah mereka sampai pada pintu kelas, sudah ramai siswa yang duduk, menunggu guru masuk dan menuntaskan pelajaran untuk hari yang melelahkan ini.






🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang