12. Watch tutorials☄️

3 5 3
                                    

Terkadang, orang perlu egois untuk meluapkan kekesalannya menghadapi cobaan semesta.

Zya Azka tak pernah sekalipun berpikiran untuk egois, mengabaikan keluarganya, merubah sikapnya, menutup mata hatinya sekali pun, Zya tak akan pernah dan tidak akan bisa. Karena Zya tahu, masih banyak orang yang mungkin peduli dengannya, seperti Aditya. Mungkin, Zya menaruh harap pada pria yang berstatus Ayah tersebut.

Zya itu seperti kapas diantara seluas air sungai. Mudah lenyap, dan cepat menciut, jangankan di air yang seluas sungai, pada segelas air saja, bisa hilang dan tak terbentuk lagi. Seperti itulah kira-kira jika diibaratkan dengan hati Zya.

Walau laki-laki, Zya itu bertutur lemah lembut, hatinya selembut sutra, sikapnya selemah kapas, dan tingkahnya membuat orang-orang terbuai dalam kenyamanan.

Zya itu menenangkan, bagi orang yang pernah dekat dengannya.

"Terus sekarang, mau nya Aira gimana?"

Sudah ada lima belas menit, Zya membuang waktu pagi nya hanya untuk membalas obrolan dari oknum bernamakan Aira itu. Beberapa kali Zya membuang napas, guna meredamkan emosinya agar tak lepas. Konon, orang sebaik dan selembut Zya bisa lebih seram dari monster saat amarah tidak bisa dirinya kontrol.

"Iya, gimana maunya Aira aja."

"Zya selalu ada, saat Aira butuhkan. Yang harusnya marah Zya bukan sih Aira? Tapi enggak papa, Zya paham. Zya tutup ya."

Tanpa menunggu kembali sahutan dari sana, Zya sudah lebih menutup sambungan yang kini menjadi beban pikiran baru untuk Zya. Terlepas dari kemarin malam, saat Nia berbincang hangat dengannya, kini masalah lain datang kembali. Seakan tak ada celah untuk Zya bernapas dengan lega dan leluasa.

"Elahh, Aa. Pacaran terus, buru itu nasi udah dingin, Zidan mau berangkat duluan."

Jika refleks Zya tak bagus, mungkin ponsel satu-satunya sudah retak karena terbanting tak sengaja menghantam kerasnya lantai dingin. Bagaimana tidak, Zidan datang tiba-tiba, padahal saat terakhir kali Zya lihat, anak itu baru saja bangun dari tidur. Sekarang sudah rapi dan hendak berangkat saja.

Zya bingung, sebenarnya Zidan kalau mandi itu cuman liatin air aja, atau memang beneran mandi. Bisa secepat itu dan seringkas itu jika disamakan dengan rangkuman materi.

Kembali pada dua Z. Zya dibuat terheran-heran saat Zidan menyisir rambutnya lebih dulu, tak luput, Zya mengendus, mencium aroma yang menyeruak pagi-pagi begini, Zya tahu, Nia belum bangun, tapi kenapa aroma minyak wangi nya tercium dekat sekali.

"Zidan, kamu pake parfum punya Teh Nia, ya?"

Tanpa rasa bersalah Zidan menyengir dan mengangguk. "Hehe iya Aa. Habis ini wangi, Zidan 'kan mau ketemu ca--"

"Ca?" Zya mengangkat satu alisnya, meminta Zidan untuk melanjutkan.

"Ca ... Cantika, heem. Bendahara kelas Aa, biasanya kalau nagih kas, itu anak suka sambil ngendus-ngendus dong, jadi enggak enak kalau enggak wangi, hehe."

Walaupun jawaban Zidan tidak menyambung sama sekali, namun Zya tak peduli. Remaja itu hanya mengangkat bahu, lalu beranjak pergi ke dalam rumah, setelah memberi Zidan patuah untuk berhati-hati di jalan, Zya mengira seperti biasa, Sean, temannya Zidan yang akan menjemput Adiknya itu.

Ah, siapa sangka, Zidan malah naik ke dalam taxsi yang jarang sekali Zidan pesan. Pasalnya, 'kan Zidan suka sekali menabung dan menghemat uang.

Hm, sebuah teori konspirasi baru.

Agaknya pagi ini, memang awal yang sial, yang pastinya akan berlanjut sampai Zya kembali mengistirahatkan tubuhnya pada malam hari. Setelah tadi Zidan mengagetkan Zya, kali ini Aditya yang tiba-tiba berdiri di belakang pintu. Sama seperti Zidan, sambil menyengir dan menanteng satu pasang sepatu yang sudah mengkilat, seperti habis disemir.

"Ayah, astagfirullahaladzim. Ngapain sih?" tanya Zya yang kini tengah menormalkan detak jantungnya dengan tempo yang cepat.

"Enggak, hehe, ini Ayah mau berangkat kerja. Aa sendiri ngapain di luar, sana sarapan," titah Aditya lalu duduk di kursi depan rumah, tempat sore santainya bersama Zya. Pria itu tengah mengikat tali sepatunya, tak ada kerjaannya lagi, Zya malah diam memperhatikan.

"Masih berdiri aja Aa, Ayah mau berangkat nih, mau salim?"

Zya mengangguk lucu, lalu meraih tangan Aditya. Pria yang lebih tua itu terkekeh sambil menepuk bahu Zya pelan.

"Ayah, hati-hati di jalan," pesan Zya. Petuah pagi kepada siapapun yang ingin berpergian dari rumah. Dan, itu Zya lakukan setiap hari tentunya.

"Iya Aa. Mau nitip apa nanti kalau pulang?"

Zya menggeleng. "Enggak ada Yah, Ayah pulang sehat aja Zya senang, tapi kalau mau beliin martabak, nasi goreng, ayam geprek, mie goreng, telor gulung, juga enggak papa."

Aditya tak bisa jika tak tertawa, pagi-pagi sudah disuguhi lawakan ala bapak-bapak oleh Zya.

"Dah, Ayah!" seru Zya sambil melambaikan tangan.

Setelah memastikan mobil Aditya keluar dari halaman, Zya masuk ke dalam rumah dan mendapati Nia yang baru saja turun dari kamar, dan Diana yang sudah memakai pakaian rapi. Tidak stelan rumahan yang sering Zya lihat, Zya tebak Diana pasti pergi keluar.

"Mamah mau kemana?"

Diana yang tengah mengecek barang-barangnya dalam tas pun mendongkak, lalu menjawab pertanyaan putra tengahnya. "Mamah mau ada pertemuan sama temen-temen bisnis Mamah Aa, nanti Mamah pulangnya mungkin besok pagi lagi, Mamah sama yang lain mau nginep, jadi, Teh Nia nanti yang masakin kalian."

Zya hendak protes, namun Diana sudah beranjak pergi lebih dulu.

"Tapi Mah." Zya berbalik, menatap Nia yang tengah mengigit paha ayam sambil tersenyum lebar.

"Wellcome to uang jajan ku, kamu akan terkuras lagi oleh majikanmu," ujar Zya lirih.

Nia tertawa, puas sekali. Tak apalah, Nia masuk siang untuk hari ini, jadi saat Adik-adik dan Ayahnya pergi dari rumah, Nia bisa melihat tutorial memasak simple di YouTube nanti.

"Enggak ada lah Zya, nanti Teteh lihat tutorial," pungkas Nia.

"Terserah Teteh, asal jangan nonton tutorial cara masak ikan goreng sama ayam goreng. Bahaya Teh," sambung Zya.

"Kenapa?" tanya Nia yang kini menuangkan air ke dalam gelas.

"Apa ya Teh, masak telor ceplok aja pake helm, apalagi masak ikan sama ayam yang blebek blebek nya tuh beuhh, minyak nya muncrat kemana-mana Teh," kata Zya setelahnya.

Zya menepi saat Nia menyemburkan air dalam mulutnya. Benar juga kata Zya, Nia tak akan berani kalau begini. Sepertinya helm saja tidak cukup, Nia harus memakai mantel pelindung bahaya, em ... semacam baju dinas pemadam kebakaran mungkin.

Nia menggeleng-gelengkan kepala, bergeridik ngeri saat nanti satu cipratan minyak panas mengenai tangan atau wajahnya. Pasti perih, pikirnya.

"Udah ya Teh, Zya sarapan di sekolah aja udah siang, Zya mau berangkat, ingat, jangan nonton tutorial apa?"

"Masak ikan goreng sama ayam goreng," jawab Nia.

Zya tersenyum bangga, lalu menyalami Nia setelahnya.

"Hati-hati Zya!" pesan Nia ketika Adik pertamanya mulai beranjak.

Zya mengacungkan jempol tanda respon. Kini rumah benar-benar sepi, setelah kepergian seluruh anggota keluarga. Nia membuang napas, membereskan piring kotor dan sisa makanan jatah Zya yang tidak disentuh sang empu pagi hari ini.






🪐

[✓] 01. Semesta Punya TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang