Obrolan acak - 21 Januari 2021

9.8K 1.5K 469
                                    

Siapa yang kangennnn? Abis baca janlup absen di snapgram tag aku, Dipta, dan Jana yaaaw!

•••

"Kalau nanti suatu saat kamu bisa bikin galeri. Aku harus jadi orang pertama yang kunjungin."

Aku terkekeh rendah. Tangan yang semulanya mengoles kanvas, kini ku turunkan ke palet untuk mengambil ulang cat warna.

"Itu salah satu mimpi paling besar. Kayaknya gak semudah itu tercapai."

"Gak mudah emang. Tapi pasti bisa." kilah Nayya meyakinkan. "Btw, tahun depan kita lulus. Gak kerasa, ya."

Kalau ingat hal itu rasanya jadi sedih. Lulus artinya kami semua akan berpisah. Mereka punya tujuan dan mimpi masing-masing, begitu juga aku.

"Aku gak pengen cepet-cepet lulus." keluhku kemudian. "Bisa gak, sih, masa SMA sepuluh tahun aja?"

"Waduh, keburu bangkotan dong." canda Nayya yang membuatku tertawa.

Omong-omong, sekarang aku dan Nayya tengah berada di ruang seni lantai bawah. Nayya memintaku untung mengajarinya melukis karena tampaknya Heru mulai tertular virus Radipta, jadilah kami pergi kesini sehabis bel pulang berbunyi.

Nayya mengatakan padaku bahwa Heru terus menceritakan soal lukisan yang bahkan tak Nayya mengerti sama sekali. Maka dari itu Nayya bertanya padaku sekalian minta diajarkan melukis agar bisa nyambung ketika mengobrol dengan Heru nanti.

"Adeknya Radipta, kamu udah ketemu?"

Kegiatanku berhenti sejenak, kemudian muncul ingatan ketika kami di angkringan Jogja dua minggu lalu.

"Belum. Aku gak chat dia lagi dan dia juga gak chat aku lagi."

Setelah kejadian itu kami kembali lagi seperti biasanya. Ketika bertemu di sekolah ia masih tak pernah menyapaku meski mata kami seringkali bertemu. Membuatku yang tadinya sudah senang karena berpikir kami sudah beberapa langkah lebih dekat, menjadi ciut lagi ketika ditepis oleh kenyataan.

"Datengin aja langsung ke rumahnya."

Aku menggeleng. "Biarin aja, lah. Mungkin dia cuma iseng kirim chat itu."

"Greget banget sama Radipta." Nayya menggerakkan tangannya seperti ingin mencakar. "Pengen gue cakar-cakar, terus cekek biar sadar."

"Atau gak, gini," Nayya membenarkan posisi duduknya menghadapku. "Kamu ceritanya main aja ke rumahku, terus jalan mondar-mandir depan rumah sampe adeknya keluar. Nah, tunggu aja sampe adeknya manggil, baru deh kamu samperin."

"Kalo gak keluar-keluar?"

"Ya..." Nayya tercengir. "Belom rejeki."

Aku menggeleng dengan senyum maklum. "Ya udahlah. Pasrah aja."

Ting!

"Siapa, Jan?"

Aku mengerutkan kening. "Alin,"

"Ngapain dia?"

"Nanya aku lagi dimana." Ku ketik balasan pesan untuk Alin sebelum ku taruh kembali ponsel di meja samping. "Kayaknya mau nyamperin."

"Sayang banget. Aku mau nemenin tapi udah dijemput." Nayya berdiri kemudian menghampiriku, mengajak tos seperti biasa. "Gak papa aku tinggal?"

Aku memutar bola mata. "Alin bukan Glara. Gak akan macem-macem."

"Belum tentu..."

"Iyaudah sanaa. Nanti ditungguin lama." usirku seraya tertawa.

Nayya melambaikan tangan. "Bye!"

Satu Cerita Untuk Kamu (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang