"Renjana!"
Aku melambaikan tangan, tanda menyuruh Laksita untuk mendekat ke arahku. Gadis itu berlari heboh dengan senyum lebarnya.
"Aku cari kemana-mana gak ketemu. Ternyata disini, toh!"
Omong-omong, aku dan Laksita sudah semakin dekat sejak dua hari terakhir. Kegiatan MOS yang padat mengharuskan ku terus berada di kelas dan mau tak mau berkenalan dengan peserta lain. Laksita satu-satunya peserta yang sejauh ini ku rasa satu frekuensi, dan sepertinya ia juga merasa begitu, mengingat ia terus-menerus mencariku seperti sekarang ini.
"Abis ini ada demo ekskul, 'kan? Kamu udah ada pikiran buat masuk salah satunya?"
Aku mempersilahkan Laksita untuk duduk di atas gundukan batu panjang, di sebelahku. Ia mengucap terimakasih dan mulai mengeluarkan sekotak susu dari kantung celana olahraganya.
"Belum. Aku mau lihat-lihat dulu." ujarku seraya menopang dagu, mengamati persiapan demo ekskul pertama-yang kalau ku lihat dari perlengkapannya seperti ekskul pecinta alam.
"Aku gak mau masuk ekskul yang aneh-aneh. Antara PMR sama English Club. Menurut kamu mendingan mana?" tanyanya padaku.
Berpikir sejenak, kemudian aku mengangkat bahu dengan senyum paksa. "Gak tau. Di sekolahku dulu gak ada ekskul PMR, jadi gak bisa bandingin sama ekskul lainnya."
Laksita menepuk dahinya pelan. "Oh, iya, aku lupa kamu anak swasta." katanya dengan menekankan kata 'swasta' di akhir kalimat.
Aku tertawa rendah. "Jangan bahas itu terus. Aku jadi malu inget kejadian sidak."
"Loh, harusnya Kakak OSIS itu yang malu, dong. Belum dijelasin udah main marah-marah aja."
Laksita menawarkan sebungkus permen kepadaku, yang ku respon dengan gelengan kepala dan ucapan terimakasih.
"Besok kita udah beda kelas, ya." ucapnya mengganti pembahasan. "Kelas IPA kayaknya di belakang, sedangkan IPS di depan. Kita bakal jarang ketemu."
Aku mengangguk. "Aku takut gak punya temen."
"Aku juga."
Aku menaikkan alis kebingungan. "Kamu supel, Ta. Pasti gampang dapet temen nanti."
"Justru itu. Temenku banyak, saking banyaknya sampe aku gak sadar siapa aja yang bisa ku sebut temen deket. Semua cuman sekedar kenal." jelasnya membuatku ber-oh ria.
Aku bukan tipe orang yang mudah berkenalan dengan orang baru, pendiam kata orang-orang. Jadi ku pikir orang seperti Laksita bisa dengan mudah dapat teman tanpa khawatir apapun. Tapi ternyata persepsi ku salah.
"Tapi temen SMP-mu banyak yang masuk sini, 'kan?" tanyaku seraya mengamati sekitar lapangan karena baju olahraga yang dikenakan Laksita sama dengan sebagian besar peserta MOS.
Laksita mengangguk. "Banyak banget. Dari angkatan sebelumnya pun kebanyakan muridnya dari sekolahku."
Terdapat setitik rasa iri di hati. Aku memang ingin masuk sekolah ini, tapi tak banyak teman-teman ku yang ingin pindah dari swasta ke negeri, rata-rata dari mereka tetap memilih lanjut sekolah swasta di satu yayasan yang sama. Hanya aku dan Achal yang memilih negeri karena kami pikir akan ada lebih banyak hal yang bisa di explore disini.
Laksita menoleh ke kanan dan kiri, kemudian menatapku. "Mau aku kasih tau orang yang ku kenal disini? Siapa tau nanti ada yang kebetulan satu kelas."
Aku hanya mengangguk walaupun tak yakin setelah tahu dan sekelas nanti bisa ku ajak mengobrol.
"Yang itu," Laksita menunjuk gadis dengan rambut panjang terurai, tengah duduk di sudut lapangan dengan memeluk kedua lutut. "Namanya Shaila. Sifat kami sebelas dua belas, tapi dia lebih aktif lagi. Setauku dia milih jurusan IPA. Dia juga pinter, lumayan kalau sekelas dan kamu lagi kesulitan, nyontek ke dia aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Cerita Untuk Kamu (Terbit)
Fiksi RemajaBercerita tentang Renjana Manohara, anak perempuan lugu namun ambisius, yang baru saja masuk ke bangku sekolah menengah atas di tahun 2019. Membawanya bertemu Radipta Abra Supala, laki-laki mati rasa yang penuh tanda tanya. "Kita diciptakan hanya un...