3.

76 12 0
                                    

Jeni datang ke tempat Hanggono. Orang tua satu itu memilih hidup sendiri karena tidak mau mengganggu kehidupan Kai dan Sabrina katanya. Hanya ada satu orang perawat yang tinggal di sebelah rumahnya untuk mengawasi kalau dia butuh apa-apa.

"Kakek, kita harus bicara!" Jeni tidak punya sopan santun ketika mendatangi kakeknya. Dia bahkan tidak mau membuka sepatu kulitnya yang sudah kena tanah liat.

Hanggono melemparkan biji jagung ke ayam ayamnya yang ada di pekarangan belakang. "Kamu dengan siapa ke sini?" tanyanya.

"Sendiri." Jeni menutup hidung. Bau unggas di sini cukup menyengat, rasanya seperti dijebak di antara sampah. Dia menutup hidung bicaranya jadi kurang jelas.  "Aku ada perlu dengan Kakek."

Hanggono kembali melemparkan jagung. "Kamu nggak pernah pernahnya butuh bantuanku. Kenapa tiba-tiba datang ke sini?"

"Ini soal Sabrina. Cucu kesayangan Kakek. Suaminya selingkuh denganku dan aku hamil!"

*

Sabrina memasak sarapan untuk Kai. Ini adalah pengalaman pertama membuatnya sedikit merasa gugup. Biasanya kalau pagi Kai lebih suka sarapan yang berat, tapi tinggi serat. Oat dan kopi tanpa krimer mungkin cocok.

Di rumah ada mesin kopi, Sabrina tadi minta pelayan di rumah ini untuk mengajari cara memakainya karena dia belum paham. Untung cukup mudah, tinggal menakar kopi sesuai petunjuk lalu menekan tombol.

Pelayannya pergi, Sabrina kerjakan semua sendiri. Dia menyiapkan oat dan juga sereal ke dalam mangkuk, kopi yang sudah jadi diwadahkan ke cangkir ukuran kecil.

Biji kopi yang digunakan, ini biji kopi terbaik. Kai membeli dari petani lokal dan Sabrina baru tahu kalau aromanya bisa sesegar ini.

Oke, semua sudah siap, dia akan menyajikan di meja. Tapi, belum sempat dilakukan tangan milik suaminya melingkar di pinggang. Dagu Kai bertemu dengan bahunya, memberi sensasi hangat yang membuat merinding.

"Buat apa?" tanya Kai.

"Aku nggak buat apa-apa. Cuma kopi dan juga oat untuk sarapan kamu."

Kai memejamkan mata. Nyaman juga memeluk istrinya seperti ini. Dia jadi ingin melakukannya lebih lama.

"A-ku mau bawa ini ke meja makan." Sabrina terbata-bata.

"Sebentar saja." Kai meminta izin agar dia bisa dekat begini dengan Sabrina.

Sabrina suka saja dengan perlakuan ini. Tapi, dia merasa malu juga kalau nantinya ada asisten rumah tangga yang melihat.

"Ayo sarapan, nanti kopimu dingin." Hati-hati Sabrina menggeser suaminya supaya dia tidak marah. Kai menyeringai dia cubit pipi istrinnya itu.

Mereka sarapan, setelahnya Kai berangkat ke kantor.

Sekitar pukul sepuluh, Jeni datang juga ke kantornya. Dia menunggu Kai di luar karena semua pekerja di sana sudah diingatkan kalau tidak mengizinkannya untuk bisa masuk.

Jeni menuliskan pesan pada Kai yang dititipkan salah satu staf-nya.  Sebuah memo yang berisikan ancaman yang membuat Kai akhirnya dengan terpaksa keluar dari kantor membawa Jeni pergi.

"Kai ...." Jeni meraba dada laki-laki itu ketika mereka berada dalam mobil. "Aku kangen banget dengan kamu."

Kai menepis kasar. "Nggak usah pegang-pegang!"

Jeni mencebik. "Kamu jual mahal ya, sekarang. Dulu aja aku dikejar-kejar setengah mati."

Dulu Kai mengejar-ngejarnya karena tidak tahu bagaimana perangai perempuan itu yang sebenarnya. Kalau sekarang, jangan harap perasaan itu masih sama.

"Aku nggak punya waktu untuk meladeni kamu. Hari ini aku cukup baik mengantar kamu pulang, tapi Lain kali kalau kamu ganggu lagi, aku nggak akan segel-segan untuk melempar kamu di jalanan."

Jeni mencebik. "Kamu tuh dari dulu tetap jadi orang yang paling naif ya. Bilangnya nggak sayang dan kakak peduli dengan anak ini, Tapi saat aku ancam mau meracuni diri buru-buru kamu keluar untuk menemuiku."

"Aku nggak mau kamu buat masalah di kantor. Cuma itu masalahnya. Harusnya kalau kamu mau mati dengan anak itu lakukan saja jangan bilang-bilang padaku." Kai mendecih. "Dengan kamu bilang, itu sama saja cari perhatian dan aku tahu lagi-lagi kamu bakalan menjebakku."

Jeni tertawa renyah. "Aku tuh selalu suka sama kamu yang nggak mau basa-basi kalau ngomong."

Kai menghentikan mobilnya. Dia turun dan bukakan pintu. "Turun. Aku sudah antar kamu sampai sini Lain kali kalau mau macam-macam nggak perlu laporan dulu lakukan saja sesukamu."

Jeni masih bertahan untuk duduk di mobil Kai. Dia tidak mau turun sekalipun Kai sudah mengancam akan menyeretnya keluar.

"Jeni, jangan sampai kesabaranku habis hanya untuk menghadapi tingkahmu yang kekanak-kanakan seperti ini."

Bagaimanapun Kai memakinya, dia tetap bertahan untuk duduk di mobil. Sampai ketika tangannya ditarik paksa untuk keluar akhirnya dia turun juga. Itupun, drama yang dibuatnya tidak langsung selesai.

Jeni sengaja memeluk Kai. Laki-laki itu menolaknya.

"Jen, aku nggak punya rasa peduli lagi untuk kamu selain kewaspadaan. Aku belajar untuk waspada dari setiap Apa yang kamu lakukan. Jangan sampai kesabaranku habis dan kamu akan tanggung akibatnya."

Jeni menyeringai. Barusan dia mau turun dari mobil bukan karena Kai berhasil memaksa untuk keluar, tapi orang suruhannya sudah mengkonfirmasi kalau Sabrina saat ini sudah dalam perjalanan ke rumah kakeknya.

Jeni menyeringai, Kak tidak tahu apa yang menyebabkan dia bisa berekspresi seperti itu.

"Kamu yang akan menanggung akibatnya, Kai."

Kai tidak peduli. Dia akan tinggalkan Jeni di sana. Tapi, seruan Jeni membuat langkahnya terhenti.

"Aku memberitahukan kakek kalau aku hamil anakmu. Sabrina sedang pulang ke rumah kakeknya."

Tubuh Kai membeku mendengarnya. Dia marah besar setelahnya. "Apa mau kamu, Jen?"

Jeni mengangkat bahu. "Memberitahukan kakek Sabrina yang ternyata dia juga kakekku, kabar bahagia kalau cucu menantu kesayangannya akan memberikan dia cucu. Dan menceritakan seperti apa cinta segitiga kita. Termasuk, bagaimana dulu kamu menyiksa Sabrina."

"Jeni, kamu--"

"Sabrina mungkin bisa menutupi selama ini apa yang kamu lakukan padanya. Tapi, dia nggak akan berani bohong pada kakeknya." Jeni menyimpulkan senyum.

Tentang kisah cintanya, tentang Kai yang di tahun pertama pernikahan selalu tidur di apartemen-nya, tentang Kai yang membiarkan Sabrina hampir mati membeku di bawah hujan. Sementara dia bisa bermesraan dengan Jeni di mobil.

Jeni menyentuh kerah baju Kai. "Pilihannya cuma ada dua, Sayang. Nikahi aku  dengan cara yang baik atau aku bongkar semuanya di depan umum. Aku malu, kamu juga malu."

Ketika dia sedang bicara, Kai menyingkirkan tangannya agar jangan berani menyentuh seujung kuku pun. Jeni tidak terusik. Dia masih bisa memasang senyum yang paling mengerikan.

Jeni berbisik. "Aku punya banyak momen di mana kita bermesraan, Kai." Setidaknya meski hanya Jeni yang agresif dari file yang disimpan itu adalah bukti nyata mereka memang pasangan selingkuh.

"Sial!" Kai menggeram. Dia masuk mobil pergi mencari Sabrina di mana sekarang.

Sabrina dan KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang