10

45 7 2
                                    

Lengkingan dari bunyi teko berisi air panas terdengar. Ardan mengalihkan perhatian dari ponsel untuk mengangkat teko tersebut sebelum bunyinya mengganggu tetangga lain.

Hari ini dia bisa datang bertemu dengan Jeni. Perempuan yang mencintainya, tapi di sisi lain juga nekat mengerjainya.

Ya, Ardan diminta untuk membawa racun ke rumah itu. Lantas setelahnya apa?

Jika Sabrina atau Kai tewas di tangannya Jeni pasti akan cuci tangan, tinggal Ardan yang nanti akan menanggung akibatnya. Sudah tentu, dia yang akan dituduh sebagai tersangka utama.

Pria itu menuangkan air panas ke cangkir yang sudah berisi kopi

Ardan menghabiskan sarapannya lebih dulu, sebelum nanti dia akan jadi orang nekat yang akan datang ke kandang singa untuk mengumpankan diri.

Sudah hampir siang, pria itu belum juga ada niatan untuk berangkat. Hidupnya bisa berada dalam bahaya, jika mau mengikuti Jeni. Dan ... baru saja dipikirkan, Jeni sudah menelepon

"Ardan, kamu di mana?" Jeni kesal. "Kenapa belum juga datang?"

Ardan menghela napas panjang. "Gimana kalau kamu keluar aja dari rumah itu?" Dia rasa punya tawaran yang lebih baik daripada harus membunuh Sabrina dengan cara meracuninya. "Sebentar lagi aku lulus kuliah, aku bjsa kerja kamu nggak perlu khawatir soal nafkah."

"Kamu sudah janji denganku kemarin dan kita sudah sepakat!" Jeni tedengar marah. "Sampai kamu melanggar, kamu bakal lihat aku dan bayi ini mati!"

Tentu Jeni sanggup gunakan cara itu sebagai ancaman karena dia tahu bahwa anak yang berada dalam kandungannya adalah anak Ardan. Pria itu kelihatan melankolis juga. Dia tidak ingin sampai bayi yang ada dalam kandungan wanita itu kenapa-napa.

"Iya, tunggu sebentar." Ardan menjawab setengah tidak bersemangat. "Aku ke sana kalau urusan di sini sudah selesai."

Sebelum telepon ditutup Jeni sudah memberikan ancaman lagi kalau kali ini Ardan tidak boleh melanggar apa yang sudah mereka sepakati bersama.

Ardan menghabiskan kopi dan juga sarapan. Menyiapkan apa yang harus dia bawa.

Bukan hanya itu, Ardan harus lakukan sesuatu di mana dia bisa menyelamatkan Jeni tanpa membuat 'tangan kotor'. Dia menghubungi seorang wanita lalu tanpa ragu mengatakan apa yang akan direncanakan hari ini. Setelah memberitahukan, Ardan hanya memohon kerja samanya. Dia boleh bicara setelah semua selesai.

*

Kediaman Kai kedatangan tamu. Dia mengaku kalau hari ini sudah buat janji temu dengan Jeni. Tapi, tetap tidak bisa diizinkan masuk karena majikan mereka sudah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh menengok Jeni tanpa seizinnya.

"Aku sudah bikin janji. Coba cek dulu." Ardan memohon.

"Maaf." Securiy menolak. "Nama Bapak nggak ada dalam daftar orang yang boleh berkunjung hari ini."

Ardan menggeram. "Ini rumah atau penjara? Kenapa, cuma mau bertemu susahnya minta ampun?"

Mau bagaimana lagi?

Security hanya menjalankan tugas yang sudah diberikan majikannya.

Ardan sedang kesal kesalnya, Nyonya Rumah menyadari kalau ada sedikit keributan di luar.

Ardan lega. Karena biasanya Sabrina bisa diajak kerja sama.

"Hai?" Ardan mengangkat tangannya pada Sabrina. Wanita itu menatap cukup lama tanpa membalas sapaan.

Dia bertanya pada satpam, "Ada masalah?"

"Dia nggak ada dalam daftar orang yang boleh berkunjung hari ini. Kami nggak bisa kasih masuk."

Sabrina tahu sekarang alasan kenapa di luar sini sangat ribut.

"Ada perlu apa kamu datang ke sini?" Sabrina tanya penuh selidik.

"Aku mau ketemu Jeni. Kami sudah buat janji." Ardan menjelaskan. Setelah itu bukan berarti bisa langsung dapat kesempatan supaya dia bisa masuk.

"Aku bawa obat untuk dia " Ardan kemudian menunjukkan sebuah botol yang berisi obat untuk diberikan pada Jeni.

Sabrina meminta satpam untuk bukakan pintu. "Biarin dia masuk."

Majikannya sudah berkata demikian mereka tidak bisa bertindak banyak Sealin menurut.

Ardan tersenyum luas saat dapat kesempatan masuk. Dia melangkahkan kaki, berdiri di depan Sabrina cukup lama.

"Tempat Jeni tinggal lurus dari sini, kamu bisa temui dia. Jangan lama-lama dan kalau sudah selesai urusan bisa pergi."

Memang tidak akan lama. Ardan mengambil langkah lalu saat melintasi Sabrina dia sempatkan untuk bilang, "Makasih sudah jadi tuan rumah yang baik ...."

Setelah Ardan menemui Jeni, Sabrina tidak bisa mengetahui lagi apa yang terjadi.

Hanya satu jam pria itu berada di sana lalu pulang.

Jeni yang tidak mengantarnya, tidak tahu kalau Sabrina sudah menunggu di los penjaga.

Ardan melihat ke belakang. Dia yakin Jeni tidak akan tahu kalau mereka bicara di sini.

"Kamu paham bukan dengan apa yang aku bilang tadi?" Ardan bertanya.

Sabrina menipiskan bibir, sedangkan raut wajahnya masih tampak tegang.

"Kenapa kamu lakukan ini

"Bukan apa-apa." Ini sebenarnya bukan jawaban yang tepat. Yang jelas aku cuma mau membantu Jeni dan membawa dia leegi dari sini.

Ardan tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu tahu semua tentangku bukan."

Ah ... dia benar juga.

Malam harinya, Jeni meminta izin untuk bertemu Sabruan menggunakan alasan kalau mereka ini masih bersaudara dan dia juga sedang 'ngidam' ingin minum teh ginseng dengan Sabrina.

Sabrina akan tampak sangat membencinya kalau dia tidak menuruti keinginan Jeni.

Perempuan itu membiarkan Jeni berada di teras rumahnya, juga menerima teh ginseng yang dibuatkan Jeni.

Sabrina menatap cangkir teh tersebut cukup lama. Suasana sangat hening, Jeni terlalu fokus memperhatikan apakah Sabrina akan meminumnya atau tidak sampai dia lupa berbasa-basi.

Hampir menempelkan ke bibirnya, Sabrina mengukir senyum. "Jeni, kamu mencintai suamiku atau mencintai hartanya?"

Jeni kikuk. "Apa-apaan kamu ini. Kenapa tanya begitu?"

Sabrina menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku 'tersanjung' kamu sampai mau melakukan ini demi dia. Bahkan ... teh ini."

"Teh ini?" Jeni mengerutkan alisnya. "Kenapa memang dengan teh ini?"

"Bukan apa-apa." Sabrina menunjukan sikap yang anggun sebagaimana seorang nyonya. "Aku akan habiskan ini untukmu." 

Sabrina dan KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang