15

26 2 0
                                    

"Aku membuat akun palsu." Ardan ceritakan lada Jenny. "Dengan VPN, aku menyembunyikan lokasi IP asli dan menggantinya dengan lokasi lain."

Jenny bukan orang yang paham soal dunia digital begini. Dia tidak mau Ardan lama-lama basa-basi. "Terus, gimana?"

"Kalau bukan ahli, IP-ku nggak akan terlacak. Aku bisa posting beberapa hal berkaitan dengan Kai dan anakmu. Masalahnya adalah, meski aku nggak tunjukkan identitas, Kai pasti bisa menebak itu siapa. Tetap  saja aku dan kamu nanti yang akan kena masalah."

Jenny mendengkus. "Kalau kamu bisa nggak pintar sedikit, masalah kecil kayak gini nggak perlu kamu pusingkan!"

"Jen!" Ardan dari ujung sana membentak. "Kamu kira Kai itu bakal diam?" 

Pria itu menghela napas. "Kamu lindungin dirimu sendiri dan aku akan jaga diriku." Bagaimanapun menyebalkannya Jeni, Ardan tetap menyukainya. Dia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi dengannya.

"Lakukan saja. Urusan keselamatanku, biar aku yang urus." Jeni menutup telepon.

*

Beberapa hari kemudian, Albi–sekretaris pribadi Kai– menunjukkan sebuah informasi penting pada Kai soal berita yang beredar belakangan ini. Berita ini harus disampaikan cepat karena sepertinya orang-orang mulai membicarakan soal Kai.

"Anda perlu baca berita ini, Pak," ujar Albi sambil menunjukkan sebuah portal berita di layar ponselnya. Portal tersebut memuat artikel yang membahas mengenai seorang wanita yang sedang dalam posisi memunggungi kamera, dan mereka menduga wanita tersebut adalah Jeni.

"Orang-orang mulai menduga bahwa wanita ini sedang ditahan oleh seorang pengusaha muda," jelas Albi dengan nada serius. "Dugaan terkuat salah satunya Anda, Pak."

Kai nyaris meledak pagi ini. Sementara itu, Sabrina memilih untuk tidak ikut campur. Dia segera membersihkan sisa-sisa sarapan mereka dan beranjak ke ruang tengah untuk menunggu.

"Siapa yang berani membuat berita semacam ini!"  Amarah Kai tampak jelas di wajahnya.

"Dia menggunakan akun palsu, tapi saya bisa mencoba melacak siapa pelaku sesungguhnya," kata Albi dengan tenang, mencoba meredakan kemarahan Kai.

Kai hanya menggumamkan kata-kata kasar sebagai respon, "Kurang ajar!" 

"Lacak sumber berita ini!" perintah Kai dengan nada tinggi. 

"Baik, Pak!" Tidak banyak omong, Albi segera beranjak dari ruangan itu, meninggalkan Kai yang sedang frustrasi.

Setelah Albi pergi, Kai menggebrak meja. Suara gemuruh itu memecah keheningan ruangan. Dalam kesendirian itu, pikirannya melayang ke Sabrina.

Dia berdiri dan mencari istrinya yang ternyata menunggu di ruang tengah, duduk diam seribu bahasa. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya menunjukkan rasa penasaran yang mendalam.

Kai mendekat dan bertanya dengan suara rendah, "Kamu nggak  mau tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi?"

Suasana menjadi semakin tegang. Pertanyaan tersebut menggantung di udara antara mereka berdua, menunggu untuk dijawab.

Sabrina menggeleng, "Aku nggak perlu tanya."

Kai tampak bingung, "Kenapa?"

Sabrina diam saja, tidak memberikan jawaban. 

"Karena kamu tahu masalah apa yang aku hadapi?" tebak Kai.

Sabrina mengangguk. Kai menghela napas panjang. Dia berjalan mendekati Sabrina dan bersimpuh, menaruh kepalanya di pangkuan sang istri.

"Kamu marah karena hal ini?" tanya Kai lagi.

Sabrina kembali menggeleng, "Aku nggak marah." 

Kai menatap mata istrinya itu dan berkata dengan lembut, "Aku janji, nggak akan menyusahkanmu dalam urusan ini. Apa pun yang terjadi aku akan bersamamu."

Sabrina mengangguk lagi. Ya, setidaknya untuk saat ini dia tahu kalau suaminya itu sudah berubah, tidak lagi memanfaatkan dirinya hanya demi posisi dan juga demi Jeni. "Sekarang gimana?"

"Aku tahu ini ulah siapa." Kai tidak bisa menyembunyikan kemarahannya ketika dia mengatakan kalimat barusan. "Aku nggak akan tinggal diam kali ini, aku akan balas dia," lanjut Kai.

"Jeni maksudmu?" tanya Sabrina. Kai mengangguk.

"Jangan sakiti dia." Spontan Sabrina memohon pada suaminya.

Kai mencebik mendengar itu. Dia tidak mengerti kenapa Sabrina masih membela Jeni.

"Kamu tahu nggak, dulu saat aku mau bersikap jahat ke kamu, Jeni sama sekali nggak pernah membelamu."  Bahkan, kalau ingat masa lalu saja Kai sampai malu sendiri. Sepatutnya Sabrina pun tidak perlu membela saudaranya itu.

"Aku nggak peduli soal itu karena aku nggak sama kayak dia," ujar Sabrina sambil menatap Kai dengan tatapan tajam, penuh penekanan. "Aku cuma mikirin kakek yang masih sayang sama Jeni dan fakta bahwa kami ini masih bersepupu."

Kai mengangguk, wajahnya tampak serius. "Aku cuma mau kasih peringatan sedikit," ujarnya dengan nada rendah.

"Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Sabrina. Tanpa sadar, perempuan itu meremas ujung baju Kai seolah sedang mencurahkan ketakutan.

Kai bangun dari posisinya, kemudian mencium kening istrinya. Matanya menatap Sabrina dengan penuh kelembutan dan keyakinan. "Percaya saja denganku, aku nggak akan bertindak jauh."

Meski mendengar kata-kata Kai itu, Sabrina tetap merasa takut. Rasa cemas terus mendera pikirannya. "Gimana dengan bayinya Jeni?" tanyanya lagi.

Senyum misterius merekah di wajah Kai. Sejenak mereka terdiam. Hening menyelimuti ruangan tersebut seiring dengan embusan angin yang sesekali masuk melalui celah-celah jendela.

Kai menyentuh lembut pipi Sabrina sambil berkata, "Aku akan manfaatkan dia."

Sabrina dan KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang