9

97 6 0
                                    

Sabrina lupa kapan terakhir kali dia bisa merasa jadi perempuan paling bahagia. Seingatnya, dulu saat pesta ulang tahun kesembilan, di mana ayahnya memberikan kejutan sebuah sepeda berwarna merah muda dan Dio adiknya mau pakai baju sapi untuk memenubi keinginan kakaknya yang sedang berpesta. 

Sudah lama sekali itu berlalu dia benar-benar lupa rasanya bahagia, juga tersenyum lepas seperti ini.

"Kamu cantik." Kai memujinya.

Sabrina menggumam apakah cantik saja cukup untuk membuatnya pantas bersanding dengan Kai? Bukan untuk malam ini saja tapi juga untuk selamanya.

 
"Ayo!" Kai mengizinkan Sabrina untuk menggandeng lengannya malam ini. Ketika mereka berjalan bersama menuju tempat acara pertunangan Bobi dilangsungkan.

 
Tidak satu pun pasang mata yang rela melepaskannya begitu saja lewat. Seperti apa pun Kai memiliki kasus, dia tetap sosok mengagumkan yang membuat orang dengan mudah menggilainya.

Boby yang tahu kedatangan mereka menyambut dengan baik. Dia menyiapkan tempat spesial supaya bisa mengobrol lebih nyaman.

"Akhirnya, aku bisa lihat kalian jalan berdua mesra begini." Dia berkomentar. Matanya melirik pada lengan Sabrina dan Kai yang saling bertaut.

 
Merasa tidak enak sendiri Sabrina ingin melepaskan gandengannya, tapi Kai yang sedang nyaman malah sengaja menahan. "Ini belum mesra. Kami nggak ciuman di depan kalian, 'kan?"

Melody calon istrinya Boby sempat terkejut, tapi sudahnya ikut tertawa bersama.

"Iya sih, yang kayak gini masih biasa." Boby menambahkan. "Tapi kan minimal aku sudah bisa lihat kalian berdua. Sabrina melihat ke arah Kai dengan seulas senyum. 

"Ayo duduk." Melody mengajak nereka, dia persilakan Sabrina untuk menikmati makanan.

*

Jeny memang bukan orang yang akan menyerah begjtu saja. Ketika Kai bilang kalau tidak cinta lagi dengannya itu membuatnya sakit. Hal tergila yang pernah dia lakukan adalah membuat dirinya hamil anak pria yang dibayarnya. Ardan. 

Sudah tiga bulan dia tidak bertemu dengan laki-laki itu. Mungkin sekarang masih bisa dimintai bantuan. 

Jenny masih punya ibu dan ayahnya. Tapi, mereka begitu ceroboh, dia tidak bisa ambil risiko dengan membiarkan mereka terlibat lebih banyak. Setidaknya kalau nanti Jeny sudah berhasil ada di sini dan mendapatkan seluruh harta Kai, akan mudah baginya untuk membawa orang tuanya.

Sekarang, tidak ada yang bisa Jeny percaya selain Ardan. Dia hubungi laki-laki itu.

"Kamu masih ingat untuk meneleponku, rupanya." Ardan menyindir ketika Jenny yang memblokir nomornya kini menghubungi Ardan.

"Aku nggak mau basa basi." Lagi pula dia sudah membayar lunas jasa Ardan untuk memberikan sperma yang membuatnya hamil. "Aku butuh bantuan kamu dan kali ini aku siap bayar mahal!"

"Bantuan apa?" 

"Aku butuh racun yang mematikan, tapi jangan ada aroma atau rasa yang menyengat."

"Kamu mau bunuh diri karena gagal mendekati Kai?"

"Ardan, aku lagi nggak mau bercanda!" Jenny kesal karena diledek. "Oke, kalau kamu nggak mau bantu. Aku bakal minta orang lain untuk bisa mengurusnya."

"Oke." Ardan tidak mau banyak omong. "Kalau begitu, besok temui aku di tempat yang biasa."

"Aku nggak bisa keluar." 

Ardan mencebik. "Kalau nggak mau, aku juga nggak bisa sembarangan kirim."

Jeny menggeram. "Oke! Kalau begitu besok kita ketemuan di tempat biasa."

Jeny sudah membuat kesepakatan dengan Ardan. Dia menutup telepon dan kembali harus mengurung dirinya sendiri. 

Hingga berjam-jam kemudian deru mobil Kai terdengar.

Sepertinya pesta itu sangat meriah. Mereka kelihatan sangat bahagia.

Ketika Jeny mwnginti dari jendelanya. Keduanya jalan bersama masuk ke dalam rumah lalu lampu kamar lantai atas menyala.

Jeny hanya mengamati siluet mereka dari jendela. Kelihatannya Kai sedang bergelora malam ini, mereka berciuman di dekat jendela cukup lama membuat Jeny ingin muntah melihatnya.

Dengan emosi dia menutup jendela kamar, matikan lampu lalu tidur.

*

Paginya, Jeny memperhatikan Kai yang harus pergi karena ada urusan penting dengan kolega bisnisnya.

Tingggal Sabrina yang harus dia hadapi.

Jenny datangi perempuan itu di rumah utama.

"Sabrina, kamu harus izinkan aku untuk keluar."

Sabrina berjengit. "Jenny, kamu tahu siapa yang berkuasa di rumah ini. Kai sudah bilang kalau kamu harus tetap di rumah sampai anak yang kamu kandung lahir."

"Sabrina, kamu jangan berlagak bos ya! Kamu jangan ikutan mau mengatur aku harus gimana!"

Sabrina merasa sikap Jeny sangat konyol. "Aku nggak merasa bos. Tapi, kalau mental kamu sudah merasa aku ini adalah bos di sini, aku nggak bisa menyalahkan."

Kurang ajar. Sabrina rupanya sudah berani melawan setiap ucapan Jeny.

Kalau Jeny melawannya lagi, sudah pasti dia akan akan kalah. Dia harus gunakan cara lain.

Istri Kai tersebut punya hati yang cukup lembut dia mudah tersentuh setiap kali melihat ada orang yang kesusahan.

Jenyy menggunakan kebaikan Sabrina sebagai senjata. Dia merintih di depan Sabrina, beberapa detik meringis untuk menarik perhatian istri Kai tersebut.

"Kamu sakit?"

Jenny mengangguk perlahan. "Aku rasa begitu. Harusnya aku lebih tahan supaya nggak emosi. Belakangan ini perutku gamoang keram."

Sabrina masih punya hati untungnya dia sarankan Jeny untuk kembali ke kamarnya. 

"Aku langganan dokter untuk kamu kalau begitu." 

"Dokter?" Jenny menyindir. "Kamu nggak perlu sok baik denganku."

Sabrina berjengit. Apa ada yang salah dari bantuannya ini?

"Dari mana aku tahu kalau dokter yang kamu panggil nanti bukan orang jahat yang mau membunuh bayiku?"

"Jenny kamu nggak bisa menyamakanku dengan kamu!"

"Ah!" Jenny pura-pura kesakitan. "Aku takut anakku kenapa-napa. Aku tahu kamu benci denganku, tapi nggak akan aku bjatkan kamu membunuh dia sebelum lahir."

"Kalau begitu terserah kamu." Sabrina menyerah pada Jenny. Dia panggil salah satu pelayan untuk membawa Jenny ke paviliunnya.

Sebelum dibawa pergi, Jeny memohon agar dia diizinkan untuk memanggil dokternya sendiri. Ini demi keselamatan bayinya atau Sabrina akan dianggap sebagai orang yang mencelakainya jika tidak mengizinkan.

Sabrina lelah menghadapi Jenny yang mendesaknya. Berhubung tidak mau juga mengganggu Kai dengan keributan kecil tidak berguna seperti ini, dia izinkan Jenny untuk menghubungi dokter kepercayaannya.

Jenny kembali ke paviliun. Dia telepon Ardan."Rencana berubah." Jenny tidak basa basi lagi pada Ardan. "Datang ke rumah Kai sebagai dokter kandungan."

"Apa kamu gila!" Ardan protes. "Aku cuma mahasiswa biasa. Mana bisa disuruh pura-pura jadi dokter kandugan!"

Jeny mencebik kesal. "Aku nggak menyuruh kamu untuk beneran jadi dokter kandungan, Bodoh! Aku cuma mau kamu datang ke sini! Cukup kamu pakai baju yang sesuai dan nggak perlu banyak omong langsung temui aku!"

Ardan sepertinya sedang mabuk kepayang dengan Jenny sampai diminta melakukan hal yang tidak berguna seperti ini pun dia mau saja.

"Kalau begitu tunggu aku cari pakaian yang pantas dan biarkan aku siap siap dulu untuk ke sana."

"Aku tunggu." Jenny tidak sabar. "Jangan lupa kamu harus bawa racun itu dengan aman!"

"Humh, aku lebih pintar dari kamu untuk urusan yang satu itu."

Sabrina dan KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang