4.

68 10 0
                                    

Saat dengar Sabrina menemui Hanggono, Kai buru-buru ke sana. Di jalan dia berusaha untuk menghubungi istrinya. Sampai beberapa kali, tidak ada jawaban.

Kai marah-marah, mengumpat selama perjalanan karena kesal harusnya dia itu tidak termakan dengan omongan Jeni yang bisa dengan mudah memanipulasi keadaan.

Dia benar juga. Selama ini segala macam tingkah Kai tidak diketahui keluarganya Sabrina. Kalau sekarang terbongkar, di saat dia masih mau menyelesaikan semua masalahnya. Bisa-bisa akan timbul masalah baru.

Kai masih mencoba untuk menelepon sampai dia tidak konsentrasi saat di jalan, lantas nyaris saja menabrak.

Laki-laki itu sekarang tidak peduli dengan apa pun lagi, dia memacu mobil lebih cepat segala maju ke rumah kakeknya Sabrina. jantungnya berdetak kencang dan cengkeramannya di gagang setir semakin erat. Semoga saja belum ada pembicaraan penting di antara mereka berdua. Dan, semoga kali ini panggilannya yang tidak terjawab bukan karena Sabrina sedang benci padanya.

Kai tiba. Laki-laki itu tidak sabar untuk masuk. Dia mengetuk pintu memanggil nama Sabrina beberapa kali. Perasaannya cemas. Takut Hanggono merasa tersinggung karena cucu kesayangan yang selama ini dijaga baik-baik telah disakiti oleh cuci menantunya.

Suara kunci diputar terdengar lalu kedua matanya menangkap sosok wanita  yang dari tadi dicarinya.

"Kamu datang?" tanya Sabrina polos.

Kai menghela napas lega. "Kamu kenapa nggak angkat telepon dariku?"

Sebelum Sabrina menjawab suara berat dari dalam menyuruh supaya dia  membiarkan  Kai untuk masuk.

Kai masuk, dia bertemu dengan Hanggono. Dia menunduk di depan kakek istrinya tersebut. Matanya yang jernih hanya berani menatap ke lantai. Dia sedang meruntuhkan harga diri di depan kakek Sabrina.

"Aku akan biarkan kalian bicara berdua." Suara dingin Hanggono bercampur dengan kemungkinan dia bisa mengusir Kai kapan saja dari rumah ini. Dia pergi. Sabrina ingin membuka mulut untuk mencegahnya. Tapi, dia tidak sanggup karena kakeknya sedang marah pada dirinya juga.

Mereka berdua. Sabrina mengajak Kai untuk pergi ke tempat lain. Di luar, di kebun bunga milik kakeknya akan lebih hening bagi mereka berdua untuk mengobrol.

Meskipun Kai belum bisa menikah dengan Jeni, jelas ia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini.

"Kakek mau kamu tanggung jawab juga pada Jeni."

Bagaikan disambar petir, Kai tidak percaya istrinya bisa berkata seperti itu. Alisnya menukik, dia protes soal omongan tadi. "Aku harus tanggung jawab untuk apa kalau aku sendiri merasa nggak melakukan sesuatu padanya?"

Setelah Kai mengatakannya, terdengar suara lembut Sabrina. "Kai, aku nggak pernah bilang apa-apa ke Kakek soal apa yang terjadi selama pernikahan kita. Tapi, mantan wanita yang kamu puja itu yang membongkar ke sini. Aku sudah nggak punya daya untuk ngomong ke kakek supaya kamu bisa dimaafkan."

Sabrina bersedekap. "Jeni yang cerita semuanya. Kakekku sakit hati, kamu memperlakukanku dengan begitu buruk sebelumnya. Kamu baru menyadari setelah terancam kebangkrutan."

Kai segera menyesal dan kasihan pada Sabrina setelah mendengar apa yang perempuan itu katakan. Pria itu meraih jemari istrinya kemaluan menakutkan dengan jemarinya. "Itu nggak benar. Aku nggak pernah menyesal setelah diambang kebangkrutan. Aku menyesal saat aku tahu bahwa selama ini yang aku suka kamu."

"Aku bisa percaya dengan ini." Sabrina mendesah pelan, rasa cinta dan juga kasihan mulai naik merambati dadanya. Dia takut kalau terlalu larut dalam perasaan itu sampai nanti tidak bisa menggunakan akal logikanya lagi.

Tatapan hangat Kai mendarat di wajah Sabrina. Ketika perempuan itu menatapnya kembali keberanian muncul di dadanya.

"Biar nanti aku yang ngomong dengan kakek. Aku nggak akan tanggung jawab apa-apa pada Jeni. Aku nggak salah!"

Setiap kata Kai seperti sebuah angin segar yang membuatnya bisa bernapas lega. Tapi, di sisi lain dia juga memikirkan soal perasaan kakeknya.

"Kakek bilang dia mau tinggal di panti jompo. Dia mau aku keluar dari masalah ini, aku bisa pergi keluar, cari kerja atau lakukan apa yang baik untukku. Dia nggak mau aku bertahan dalam pernikahan ini hanya karena aku takut kakek nggak ada yang jaga."

"Kamu yakin, itu yang kamu mau?" Kai bertanya, Sabrina bungkam untuk sesaat. "Kalau memang itu yang kamu mau. Aku nggak akan menahan kamu di sini. Aku akan biarkan kamu, nggak akan lagi aku biarkan kami u tersiksa denganku."

Sabrina menggeleng.

"Kalau gitu, biar aku selesaikan ini." Kai menggandeng tangan Sabrina menemui Hanggono. Dia menunduk di depan pria tua itu meminta maaf.

Hanggono memukul bahu Kai. Dia tidak tahu dorongan dari mana yang membuat ingin melakukan itu. Pria yang terhormat itu diam saja. Terlebih ketika ditanya tentang kebenaran dia meninggalkan Sabrina sendirian di jalan. Juga tentang dia yang mengabaikan saat Sabrina terluka.

Kai tidak bisa bicara apa-apa. Tapi, dulu dia melakukannya karena ada sesuatu yang harus dibuktikan dan dia mengakui bahwa itu salah.

"Kalau aku tahu, untuk bertahan hidup harus mengorbankan cucuku disakiti begini. Aku nggak akan mau terima biaya operasi jantung itu!" Bagi Hanggono ini tidak dapat dimaafkan lagi. "Kamu menyakiti dua cucuku sekaligus. Aku nggak akan memihak salah satunya."

Mata Kai membulat mendengar soal ini.

Sebagai kakek, Hanggono tidak pernah membenci Jeni, sekalipun dia punya perangai yang buruk. Pada Sabrina yang dikasihinya, tidak akan dia biarkan Kai menyakitinya lagi.

Kai bukan orang yang akan mudah ditekan, meski saat ini sudah jelas dia kelihatan salah. Laki-laki itu memberi penjelasan pada Hanggono, sisanya dia hanya minta untuk diberikan waktu agar tetap bisa bersama Sabrina. Urusan tanggung jawab pada Jeni dia akan lakukan. Tapi, selama itu juga Kai meminta agar mereka menunggu dia akan buktikan kalau dirinya tidak salah.

Sabrina tidak berani bicara apa-apa. Hari itu, Kai memintanya pulang. Tidak ada yang bisa melarang karena dia suaminya.

Sabrina bersimpuh meminta maaf pada kakeknya, dia ikut pulang bersama Kai.

Besoknya, Kai menyuruh orang untuk membawa Jeni ke hadapannya. Bukan di kantor atau rumah, perempuan itu dibawa ke vila milik Kai. Hanya ada mereka berdua untuk bicara.

"Kamu membawaku ke vila ini seperti penculik, apa yang kamu mau?" Jeni mengolok.

Kai mengangkat bahu. Dia suruh perempuan itu untuk duduk. "Kamu nggak perlu memaksakan diri untuk kelihatan kuat di depanku. Aku tahu saat ini kamu sedang hamil kondisimu lemah."

Jeni menatap tajam.

Kai bilang, "Duduk. Cukup terima kebaikanku selagi aku masih sudi melakukannya."

"Apa mau kamu?" Jeni takut kalau dia akan dibunuh di sini.

Kai tersenyum. "Kerja sama denganmu."

Jeni mengerutkan alis. Dia bingung dengan maksud ucapan Kai.

Laki-laki itu menegaskan. "Kamu merasa itu anakku, 'kan?" Dia bertanya sembari menunjuk perut Jeni. "Aku akan biayai hidupmu selama kehamilan, juga aku siapkan biaya hidup kamu dan anak ini sampai dia dewasa."

Jeni tahu Kai tidak akan berubah baik tanpa ada maksud tertentu. Saat dia menyaring air perempuan itu tahu kalau Apa yang dipikirkan yang benar.

"Lahirkan anak ini, setelah itu aku akan lakukan test DNA. Kalau benar ini anakku, aku akan berikan hak yang sama seperti hak Sabrina meski kita nggak akan menikah. Kalau bukan ...." Tatapan Kai menghunus, "kamu tahu akibatnya."





Sabrina dan KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang