13

467 52 3
                                    

Usia 12 tahun, Kim Taehyung terbangun di ruangan putih berbau obat.

Sakit juga sesak menusuk dada kosong Taehyung kecil dengan luka batin yang tak terlihat. Bayangan ombak besar, awan gelap serta gemuruh petir menjadi background dia berteriak kencang menyusul ayahnya yang tergulung ombak.

Taehyung menggigil, punggung kecil dia melengkung kasihan menutupi wajah basah.

Trauma mulai terbentuk merantai pergelangan kaki Taehyung dengan borgol bernama kenangan buruk. Dia ingin mencari ayahnya diantara luas lautan, berenang meski harus tenggelam dan memberi potongan puzzle hilang dari arti sebuah keluarga.

Suster maupun dokter memasuki ruangan mondar-mandir, memeriksa setiap perubahan luka tubuh Taehyung tapi tidak dengan jiwa.

Dia akan melamun kosong setiap malam menjelang. Memandangi bulan jauh berirama kuasa Tuhan akan besarnya kalimat Yang Maha Esa.

Taehyung bersimpuh, menangis lagi memanggil nama ayah.

Haneul tidak pernah mau berkunjung apalagi merawat Taehyung semenjak suaminya meninggal. Dia menyalahkan, menuding Taehyung pembawa sial dan pergi dengan anak berusia 4 tahun dalam gandengan tangan.

Sooyeon kecil menangis memanggil nama kakaknya rindu. Ingin memeluk namun sang ibu terus membangun jarak setinggi angkasa yang sukar roboh membentur semesta.

Sepi, takut juga sedih.

Taehyung mulai merenungkan perkataan tak berhati Haneul sebelum makan atau tidur. Dia menggambar kertas putih dengan krayon untuk menutupi topeng rapuh.

Hanya sampai saat itu.

Tepat ketika Taehyung melihat seorang anak kecil duduk di kursi roda dengan selang infus berpadu gips pada kaki kiri.

Mereka bersua merajut benang merah takdir seiring tawa lugu.

Taehyung yang tidak pernah berhenti mendekati dan Jeon Jeongguk yang murung menutup pintu kamar inap menggunakan kursi kayu.

“Jeongguk-ie, ayo main denganku. Kamu pasti bosan sendirian dengan selang infus 'kan?”

Jeongguk kecil teramat dingin dan sulit. Dia belum pernah memberi Taehyung senyuman hanya diam mengabaikannya yang terus meringsek melempar jauh rasa malu.

Perawat mulai akrab tentang dua anak yang selalu bersama-sama. Menggoda mereka sebagai belahan jiwa sebab beriringan menyebar afeksi suka maupun duka.

“Ayahku sudah meninggal.”

“... Ibuku juga.”

Sungguh sebuah percakapan gelap antara anak-anak.

Jeongguk enggan melukis emosi bagai boneka yang tidak pernah merasakan warna dunia. Taehyung teteskan merah muda sukarela agar dapat menerima canda tawa dari mulut manis yang lebih muda.

“Mau jadi teman pena? Kita bisa bertukar surat.”

Awalan dari secarik kertas lusuh bertuliskan ceker ayam yang sulit untuk dimengerti.

“Aku rindu ayahku.”

“Kamu sedih?”

“Sedikit, 'kan ada Jeongguk-ie menemaniku di rumah sakit.”

Taehyung yang mencurahkan keluhan hatinya bagai anak kucing terlantar dan mengeong lirih memanggil seorang ibu.

“Apa ibuku membenciku? Jeongguk-ie, apa aku anak yang tidak berguna? Ibu bilang ayah mati demi menyelamatkan aku.”

Tangan Jeongguk kecil mengusap air mata Taehyung lembut, ada seutas senyum langka yang ia ukir sebelum bicara memeluk Taehyung hangat. “Bukan salahmu tapi dunia.”

Cromulent; Jeon JeonggukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang