CEMBURU

134 23 1
                                    

Apakah setelah minta dielus rambutnya, Kim berhenti? Tidak. Masih ada permintaannya yang lain, yaitu meminta kakiku dijadikan bantalnya. Aku duduk di sofa panjang yang kebetulan ada di ruangannya dengan dia yang kini terlelap. Untung perusahaan ini milik ayahnya, coba orang lain? Apa bisa dia seenaknya?

Saat ini yang bisa kulakukan hanya memainkan telepon genggam, berselancar dari platform satu ke platform yang lain karena tubuhku tidak bisa bergerak. Kim sepertinya tidak berbohong, dia benar-benar terlelap. Sudah lebih dari satu jam berada di posisi begini, membuatku ikut mengantuk.

                             ...

Saat membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah ruangan kantor Kim, tetapi posisi tidurku tidak lagi duduk, sudah berselonjor dengan selimut yang menutup separuh badan. Aku mencoba duduk, lantas merenggangkan kedua tangan, melihat keadaan sekitar. Sepi. Ke mana perginya laki-laki itu? Apakah dia meninggalkanku sendirian di sini?

Dengan tubuh yang masih berat, aku mencoba berdiri. Aku harus mencari keberadaan Kim kemudian pamit untuk pulang. Lagi pula, rencanaku berbelanja gagal total. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 wib, yang artinya aku tidur cukup lama, dua jam. Namun, baru akan melangkah terdengar suara pintu terbuka, aku buru-buru merapikan pakaian.

"Sudah bangun?" Kim membawa setumpuk map, entah dari mana.

"Kenapa enggak bangunin aku?" Aku balik bertanya, setengah merengek. Gara-gara Kim aku gagal belanja.

"Aku enggak tega, tidurmu pules banget. Ngorok lagi," ucap Kim seraya menuju mejanya, mulai membuka map dan membacanya.

"Mana ada aku ngorok?" Aku tidak terima pernyataan Kim, dia pasti mengada-ada.

Kim terkekeh. Tidak menyahut, masih fokus dengan pekerjaannya. Aku mendekat, mengulurkan tangan.

"Aku pulang dulu ya," ucapku sambil menunggu balasannya, Kim mendongak, tidak membalas uluranku.

"Pulang bareng aku, kamu balik tidur lagi sana!" Kim menunjuk dengan dagunya, memberi isyarat agar aku kembali ke sofa.

"Enggak mau! Aku mau pulang. Lagian, pulangmu malem-malem terus, aku keburu bosen." Akuku.

"Enggak, hari ini aku pulang lebih awal. Tunggu satu jam di situ."

Jeda.

"Nanti aku temenin belanja," sambung Kim yang mampu mengurungkan protesku. Aku kembali ke sofa dengan suka cita, lantas berselancar lagi ke dunia maya untuk mencari referensi barang-barang yang kubutuhkan. Duh, senangnya punya atm berjalan.

                                ...

Kulihat Kim hanya mengekor sambil sibuk dengan telepon genggamnya. Kalau tahu begini, lebih baik dia tidak menemaniku belanja. Badannya saja di sini, tetapi jiwanya masih di kantor. Beberapa kali menerima panggilan, lalu menelpon seseorang, hingga mengetik balasan tanpa tahu jika aku sudah melangkah jauh meninggalkannya. Sangat tidak menyenangkan.

Lantas, terbesit kejahilan dari otakku. Bagaimana jika aku meninggalkannya sekalian? Toh, sama saja, keberadaannya antara ada dan tiada. Kemudian, aku sengaja masuk ke sebuah gerai ketika Kim fokus ke layar handphonenya. Dia benar-benar tidak tahu bahwa aku memisahkan diri darinya. Benar-benar tidak menyadari, bahkan tubuhnya makin lama makin jauh dan menghilang.

"Alin?"

Aku menoleh ke belakang, mendapati seseorang yang tampak begitu asing mendekat.

"Alin, kan? Ini aku Farel," ucapnya setelah kami dekat. Aku mencoba mengingat-ingat, hingga ....

"Ah, Farel Hadinata?" Aku menepuknya senang, tidak menyangka bertemu teman masa SMP.

"Iya, Lin. Kamu enggak ingat aku?" Temanku itu terlihat kecewa karena aku sempat tidak mengenalinya.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang