Kim Ngambek

100 20 2
                                    

'Di mana?'  Pesan dari Kim, aku sengaja tidak membalasnya. Membiarkannya centang 2 biru dan menunggunya melakukan panggilan. Persis di hitungan ke delapan handphone-ku berdering, menampilkan kontak dengan nama 'Kim-g Rese', tetapi tetap aku abaikan. Hari ini aku benar-benar kesal, seenaknya dia menyuruh pekerja rumah memindahkan semua bajuku ke kamarnya. Padahal aku mengungsi sementara hingga suara tawa perempuan itu hilang. Namun, malah dianggapnya aku setuju untuk tidur satu kamar dengannya.

Handphone-ku terus berkedip, menampilkan nama pemanggil yang sama dari tadi, tetapi aku juga melakukan hal yang sama, tidak menggubrisnya. Biar saja dia pontang-panting mencariku. Salah sendiri memaksakan kehendak.

"Alin."

Aku menoleh saat mendengar sebuah seruan. Ternyata Abim dan Reyhan. Kenapa 2 orang itu ada di sini? Ini bukan tempat yang biasa mereka kunjungi. Tanpa basa-basi pun mereka langsung duduk, lantas memesan makanan. Seolah-olah kami sudah janjian sebelumnya.

"Sendirian aja? Kim ke mana?" Abim yang pertama kali sadar kalau aku seorang diri di cafe ini.

Aku memilih untuk bungkam. Aku masih ingat sekali dengan pengkhiatan mereka berlima waktu di pesta penyambutan. Aku disingkirkan dan diasingkan sendirian. Tidak diikutsertakan dalam obrolan mereka.

"Ceileh, masih ngambek aja, Lin? Udah, dong! Nanti Abim beliin batagor sama es krim." Reyhan menowel pipiku, aku segera menepisnya.

"Enak saja, lo yang janjiin kenapa namaku yang dipake?" Abim protes.

"Betewe, ini beneran kamu ngambek? Ya Allah, Lin. Jangan gitu dong! Kita masih sayang kamu, kok, masalahnya---" Abim menghentikan kalimatnya. Aku menoleh, menunggu. Namun, sepertinya dia keceplosan, membuatku makin penasaran dengan apa yang mereka sembunyikan di belakangku.

"masalahnya itu urusan cowok, kamu nanti ngamuk." Abim tersenyum canggung, menoleh ke arah Reyhan seolah-olah minta bantuan.

"Percaya pada kami, Lin. Kami masih sayang Alin Gantari yang sekarang berubah jadi Alin Arsyanendra. Betewe, gimana malam pertamanya?" Reyhan mencoba mengalihkan pembicaraan tanpa tahu kalau topik yang diambil justru adalah penyebab aku kabur ke tempat ini.

Aku mendelik kesal. Kenapa orang hanya tertarik menanyakan hal tersebut ketimbang bertanya tentang kemajuan hubungan kami? Meski pun dulu kami sangat dekat, tetapi perubahan dari persahabatan ke cinta tidak akan secepat itu. Aku perlu adaptasi.

"I know. Kalian belum melakukannya." Reyhan seperti bisa membaca raut wajahku, tidak melanjutkannya. Kami bertiga kembali diam.

"Letakkan handphone kalian, jangan ada yang menghubungi Kim atau siapa pun!" perintahku ketika melihat pergerakan di bawah meja, Abim buru-buru memasukkan kembali telepon genggamnya ke dalam saku, sedangkan Reyhan terkekeh geli.

"Ayolah, Lin, enggak asik kalau cuma bertiga! Kita jalan-jalan ya, mau ke mana? Bioskop? Aku dengar ada film baru, kamu pasti suka. Iya, kan, Rey?" Abim menyenggol Reyhan yang tengah minum, alhasil minumannya tumpah sedikit di meja.

Reyhan mengumpat pelan, tetapi segera mengangguk, membenarkan ucapan Abim. Mereka sepertinya ingin menebus kesalahan kemarin. Namun, aku harus bersikap jual mahal. Siapa suruh mengabaikanku? Setidaknya harus ada salah satu dari mereka yang memohon-mohon.

"Atau kita liburan ke Bali? Pekan depan aku libur, Lin. Kita berjemur seharian, menghitamkan kulit." Reyhan kali ini menyogok dengan paket liburan, lumayan juga. Apalagi jika bisa menikmati sunset, lantas berendam di air hangat dengan wewangian bunga, itu sangat menggoda.

Aku menggeleng. Makin aku bertahan, makin bertambah tawaran dari mereka. Layaknya lelang, aku harus menunggu harga tertinggi. Enak saja sogokannya cuma paket liburan ke Bali? Setidaknya harus ditambah dengan belanja sepuasnya di pasar Seni Sukawati.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang