Liburan Keluarga

89 16 4
                                    

"Bundaaa!" Aku menghambur kepada wanita yang telah melahirkan Kim ke dunia ini, wanita yang tetap terlihat cantik meski usianya lebih dari setengah abad, wanita yang selalu memelukku penuh kehangatan. Padahal ketika dengan Mama aku tidak seperti ini, tetapi begitulah, kami memiliki ikatan yang sangat kuat.

"Alin, bunda kangen!" Bunda memelukku erat sambil mengelus punggungku.

"Me too," sahutku.

Kulihat ayah mertua mendekat, aku segera melepaskan pelukan dan menyalaminya. Kim yang baru masuk dengan mendorong dua koper milik kami melakukan hal yang sama, menyalami orangtuanya.

"Yang lain belum datang?" Kim bertanya karena belum melihat kakak-kakaknya serta para keponakan, aku akhirnya ikut celingukan ke sana ke mari sebab biasanya ramai.

"Mereka langsung ke rumah Eyang, kita nyusul," jawab ayahnya Kim sambil menelepon seseorang, mungkin klien atau kenalannya.

"Loh, enggak bareng?" Aku yang bertanya kali ini.

Bunda menggeleng. "Bunda sama Ayah mau nebeng sama kalian."

"Yuk, langsung aja!" Bunda menggandengku keluar rumah, sedang Kim terlihat cemberut karena sudah berat-berat bawa koper, ternyata malah sia-sia. Tahu gitu enggak diturunin, mungkin batinnya seperti itu.

Selama perjalanan, aku dan Bunda yang duduk di jok belakang sibuk mengobrol, ayah mertua memilih tidur, sedangkan Kim yang beralih profesi menjadi supir fokus ke jalanan. Namun, kadang sesekali ikut menyahut jika yang kami---aku dan Bunda---obrolkan menyangkut dirinya, Kim langsung berseru protes, apalagi saat aku menceritakan tentang 3 hari tanpa disapanya, laki-laki itu sampai mengerem mendadak, untunglah Bunda menengahi kami berdua.

Awal-awal perjalanan terasa menyenangkan. Namun, ketika Bunda tertidur dan aku tidak punya teman mengobrol lagi, jadi menjenuhkan. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masih kurang 3 jam hingga sampai ke tujuan. Kim yang seakan mengerti keadaanku mencoba membuka obrolan, tetapi dia tidak seperti Bunda yang sangat asyik diajak membahas ini-itu, aku makin nelangsa.

"Ya udah, kamu ikutan tidur. Nanti kalo nyampe aku bangunin," ucap Kim pada akhirnya. Aku tidak menurutinya, nanti siapa yang akan menemaninya. Konon, jangan biarkan supir merasa sendirian jika tidak ingin sesuatu yang terjadi.

Aku bertekad tidak tidur untuk menemani Kim sampai ke rumah Eyang, tetapi setelah beberapa saat akhirnya kalah juga dengan rasa bosan. Aku merasakan kantuk yang luar biasa, selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi hingga tepukan lembut membangunkanku.

"Lin, ayo bangun! Udah nyampe nih," ucap seseorang yang entah itu siapa.

"Alin, bangun, Sayang!"

"Lin, ayo bangun!"

Aku merasa dalam mimpiku kali ini sangat ramai. Terdengar suara tawa beberapa anak, juga beberapa orang dewasa.

"Alin kalo udah tidur ngebo," celetuk seseorang yang entah itu siapa, rasanya aku ingin menjitaknya, tetapi tubuhku terasa sangat berat, begitu juga dengan mataku.

"Udah, gendong aja! Kalian mau di luar terus?"

Selanjutnya, tubuhku mulai terayun dan insting alamiku refleks mencari pegangan. Aku merasa tidurku ini sangat nyaman, bersandar pada sesuatu yang berbunyi, dug-dug-dug.

...

Saat membuka mata, hal yang kulihat pertama kali adalah langit-langit kamar berwarna putih dan lampu yang menyala terang. Ternyata sudah malam. Aku tersenyum, rasanya enak sekali tidur dari siang.

Hah? Malam? Aku bergegas bangkit, tetapi karena nyawa yang belum terkumpul semua membuatku limbung. Aku ambruk dengan tubuh yang masih terlilit selimut. Aku mengaduh sakit, hidungku mencium lantai sangat mesra.

"Lin!" seru Kim seraya menghampiriku, lantas membantuku bangun.

"Kamu enggak papa?" tanyanya khawatir, aku meringis kesakitan.

"Sakit," rengekku seraya mengusap-usap hidung.

Kim membawaku kembali ke sisi ranjang, ikut mengusap hidungku dengan lembut, tetapi dapat kutangkap dia tengah tersenyum. Aku memukul tangannya, dia malah tertawa.

"Ada apa, Kim?" Bunda masuk dengan raut wajah yang khawatir.

"Ini, Bun. Jatuh," jawab Kim masih dengan tawanya yang coba ditahan, aku mendelik kesal.

"Kenapa bisa jatuh?" Bunda ikut duduk di sampingku, memeriksa apakah hidungku ada yang lecet.

"Tau, tuh, kayaknya mimpi dikejar anjing." Kim meledekku. Sialan emang, padahal tebakannya salah.

Aku memukulnya. Satu, karena meledekku. Dua, katanya akan membangunkanku begitu sampai, tetapi malah membiarkanku tidur hingga malam.

"Karena kamu udah bangun, turun yuk! Makan malem bareng." Bunda bangkit, lantas menggandengku keluar dari kamar. Kim mengekor di belakang.

Tiba di ruang makan, kulihat kakak-kakaknya Kim serta para keponakan telah berkumpul. Ditambah lagi beberapa orang yang sebagian kukenal karena pernah bertemu, sisanya baru kali ini kutemui.

"Oh, ini istrinya Kim? Cantik banget. Sini-sini!" seru seseorang yang entah itu siapa. Melihatku kebingungan, Kim membisikkan nama serta kedudukan orang tersebut di keluarga Arsyanendra. Aku menyalaminya sebagai seseorang yang lebih muda.

Sebelum acara makan malam dimulai, aku menyalami yang ada di ruangan satu per satu hingga yang terakhir tiba pada orang yang dipanggil Eyang, nenek Kim, ibu dari ayah mertuaku. Orangnya terlihat dingin, memiliki mata yang tajam, tetapi masih terlihat cantik meski di usia yang sudah senja. Aku jadi tahu dari mana Kim memiliki wajah yang tampan, gen Arsyanendra tidak punya produk gagal.

Setelah selesai, aku mendapatkan tempat duduk di samping Kim, tentu saja dan seseorang yang baru kukenal sebagai sepupu ipar, namanya Keisya. Gadis itu sangat cantik dan anggun. Aku sebagai sesama perempuan saja mengakuinya.

Akhirnya aku bisa merumuskan sedikit tentang keluarga Arsyanendra. Dimulai dari Eyang Putri sebagai yang tertua, memiliki tiga orang anak. Ayah mertua adalah anak pertama, yang juga memiliki tiga anak. Kemudian ada Bibi Adhisti sebagai anak kedua, memiliki dua orang anak, semuanya perempuan dan telah menikah, terakhir Paman Abinawa yang memiliki dua anak, juga hanya ada anak perempuan yaitu Kanaya dan Keisya, yang belum menikah karena usia mereka setahun di bawahku, dan hei ternyata mereka kembar.

Sesuatu yang paling krusial yang akhirnya aku mengerti kenapa Kim merupakan cucu kesayangan sekaligus kebanggaan, sebab hanya darinyalah nama Arsyanendra akan tetap hidup. Kim satu-satunya cucu laki-laki dan hanya anaknya kelak yang akan menyandang Arsyanendra sebagai nama belakangnya, sedangkan kakak-kakak serta sepupu-sepupunya mengikuti marga suami masing-masing.

Aku melirik Kim yang makan dengan tenang, kemudian melirik yang lain sama, sampai ke para keponakan yang paling kecil juga. Begitu hidmat mereka saat makan. Hanya terdengar suara denting sendok dan piring yang beradu. Suasana seperti ini sangat menyiksaku, aku bisa stress jika lama-lama berada dalam keheningan, itulah kenapa aku sangat benci diabaikan oleh Kim kemarin.

Aku menendang kaki Kim pelan dan saat dia menoleh, aku memasang wajah nelangsa. Aku berharap laki-laki itu mengerti isyaratku, bahwa aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi di ruang makan. Aku butuh udara segar. Namun, aku kecewa karena Kim memberikan jawaban berupa gelengan yang berarti penolakan. Aku dimintanya untuk tetap tinggal sampai acara makan malam ini selesai.

Ya Tuhan, padahal baru sebentar aku di sini, tetapi sudah ingin cepat-cepat pulang. Sementara menurut Kim tadi, kami akan menginap selama tiga hari. Sulit membayangkannya, mungkin setelah dari sini aku akan menuntut Kim agar membawaku liburan ke luar negeri.

BERSAMBUNG ....
Hai, apa kabar? Maaf ya, baru bisa menyapa lagi dan sekaligus ini juga pemberitahuan jika Pengantin Pengganti tidak bisa selancar kemarin-kemarin updatenya. Doain aja, aku tetap bisa menulis di sela padatnya kegiatan di duta. Sekali lagi, maaf jika membuat kalian kecewa 🙏 love you, All.

Tetap dukung Kim & Alin ya. Buat mereka memiliki rating yang tinggi. Terima kasih.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang