Sejak kejadian itu, Kim kambuh lagi. Seperti biasa, laki-laki itu menjaga jarak denganku tanpa alasan tidak jelas. Pergi pagi-pagi, pulang sangat larut, lantas tidur di kamarnya sendiri. Aku benci keadaan ini. Benci diabaikan, juga benci dianggap seolah-olah tidak ada.
Hari ketiga dia mendiamkanku, aku memutuskan sesuatu, tidak lagi pulang ke rumah Mama, melainkan menungguinya pulang di kamarnya. Biar saja. Malam ini kami harus bicara dan menyelesaikan kesalahan pahaman.
Kim terkejut karena mendapatiku berbaring di ranjangnya saat laki-laki itu pulang dari kantor jam sebelas malam dan hebatnya aku masih terjaga agar bisa bicara dengannya.
"Kamu belum tidur?" Kim cepat sekali mengubah ekspresi, tidak ada lagi raut terkejut, berubah menjadi sorot geli seperti hari-hari sebelumnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di antara kami.
"Kelihatannya?" Aku balas bertanya, memang ada orang tidur yang matanya terbuka lebar?
Kim terkekeh geli, lantas mulai melepaskan jas, kemudian melonggarkan dasi dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Aku tidak lagi berbaring, sudah berganti posisi duduk di tepi ranjang saat dia masuk kamar, mengamatinya dengan tatapan siap menghunus.
"Aku mandi dulu," ucapnya seraya memasuki kamar mandi. Aku yang akan bicara mendadak bungkam.
Anehnya, aku masih tetap menunggunya menyelesaikan mandi dengan sabar hingga Kim keluar hanya memakai handuk sebatas pinggangnya. Aku buru-buru mengalihkan pandangan begitu laki-laki itu menoleh ke arahku, lama-lama mataku bisa ternoda karena melihat dada bidangnya yang dipenuhi kotak-kotak dan tidak tertutup apa pun.
"Loh, masih di sini?"
Aku merengut kesal, "cepetan ganti baju!"
Tidak ada suara, maka dari itu aku menoleh untuk tahu apa yang dilakukan oleh Kim, tetapi sial, yang kudapati malah pemandangan yang membuat mataku kian ternoda.
"Kim, ganti baju kenapa di situ?!" jeritku frustrasi, lantas kudengar dia tergelak.
Setelah beberapa saat, aku mulai bosan.
"Udah selesai belum?" tanyaku memastikan, takutnya aku menoleh dan mendapati pemandangan tak senonoh lagi.
"Sudah, Sayang."
Aku terlonjak kaget, hampir terjerembab jika saja Kim tidak menangkap tubuhku. Sejak kapan dia duduk di sebelah? Seperti hantu saja.
Aku segera mengurai tangannya yang berada di pinggangku setelah memperbaiki posisi duduk, lantas mengambil jarak agar kami tidak terlalu dekat.
"Kenapa belum tidur?"
"Aku ingin bicara," ucapku bersamaan dengan pertanyaan yang keluar bibir Kim. Aku merengut lagi.
"Baiklah, kamu duluan." Kim mengalah, memilih mendengarkanku.
"Tiga hari ini aku salah apa?" desakku langsung tanpa basa-basi.
Kim menggeleng, "kamu enggak ada salah. Emang kenapa?"
"Kamu ngejauhin aku, padahal kamu paling tahu aku enggak suka dijauhin."
Kim tersenyum, tidak mengatakan apa-apa dan aku melongo tidak percaya hingga ....
"Aku ada banyak pekerjaan."
Benarkah hanya karena pekerjaan sampai mengabaikanku selama tiga hari, tidak menyapaku, tidak mengajakku bicara, juga tidak menemaniku tidur. Tidak akan aneh kalau sebelumnya tidak terjadi sesuatu di antara kami, tetapi aku masih ingat jelas bagaimana pengakuannya saat di teras samping rumah Eyang. Kim menyatakan cinta meski dalam keadaan mabuk. Laki-laki itu juga memberikan ciuman. Sial, ternyata laki-laki di mana saja sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti
Любовные романыApa jadinya menikah karena insiden? Bukan insiden yang satu itu, tapi insiden di mana kamu diminta menggantikan mempelai wanita yang kabur oleh sahabatmu sendiri. Alin Gantari harus menjalani pernikahan yang tidak pernah dia inginkan dan bayangkan...