Marahan

87 17 1
                                    

Akhirnya, makan malam yang dingin, sunyi, dan kaku itu berakhir, tetapi tidak serta merta aku bisa langsung kembali ke kamar. Ternyata masih ada sesi berkumpul bersama. Namun, acaranya tidak begitu membosankan. Anak-anak dari kakak-kakakku memberikan penampilan yang menggemaskan, sedang anak-,anak dari sepupu bermain musik. Aku akui, meski mereka masih kecil, tetapi kemampuannya sangat menakjubkan. Selama acara juga, Kim selalu menggenggam tanganku, tidak memperbolehkanku jauh-jauh. Aku tidak keberatan, justru lebih baik aku tetap bersamanya daripada ditanya-tanya oleh para orangtua.

Harapanku untuk dilancarkan sisa acara malam ini tidak terkabul. Semua itu karena Keisya yang sangat cantik plus anggun tiba-tiba duduk di sebelahku, lalu mulailah pertanyaan demi pertanyaan ditunjukkan kepadaku. Sesekali Kim ikut menjawab, kadang Bunda, bahkan kakak ipar, aku terlalu gugup menghadapi orang-orang hebat di keluarga Arsyanendra. Entah ke mana keberanianku menguap, yang pasti aku kembali tidak merasa nyaman.

"Lin, kamu, kan, nikah karena gantiin Stevi, trus gimana tiap harinya, kagok nggak?"

Aku pura-pura tersenyum. Sebenarnya tidak masalah Keisya menanyakan hal itu, wajar juga, tetapi tidak di depan semua orang. Harusnya dia bertanya secara pribadi, bisa jadi kami malah makin akrab. Namun kini, aku malah mulai tidak menyukainya. Dia membuatku ingin menciptakan jarak dengannya.

"Enggaklah, kami udah deket sebelumnya. Mungkin kagoknya, dulu kami sahabatan, sekarang jadi suami istri." Aku bersyukur bisa menjawabnya.

"Trus malam pertamanya?"

Sumpah, aku ingin sekali menonjok wajahnya yang cantik, tetapi takut kena pasal penganiayaan. Perlukah dia menanyakan itu? Atau aku saja yang tidak menyukai pembahasan hal-hal privasi seperti itu, yang alangkah baiknya menjadi rahasia antar pasangan saja.

"Candaaa, Lin. Mukamu tegang banget sih, tapi aku tetap penasaran karena tadi kamu bilang kagok yang awalnya sahabatan sekarang jadi suami istri."

Enggak lucu, Kei! Ingin sekali aku berteriak, tetapi lagi-lagi aku harus menjaga sikap. Jadi aku hanya bisa tersenyum kesal.

"Kalian berencana punya anak berapa?" Keisya bertanya lagi. Bisakah dia menanyai sepupu yang lain?

Kenapa, kamu mau menafkahi mereka, ha?! Aku ingin balik menyerangnya dengan pertanyaan tersebut, tetapi Kim yang seakan melihat gelagatku yang seolah-olah pengin menerkam sepupunya makin mengeratkan genggamannya.

"Dua, Kei." Kim yang menjawab. Aku menoleh ke arahnya, menampilkan senyum kaku. Kapan kita pernah membahas anak?

"Enggak tiga aja?"

Demi apa pun, sepupu yang bernama Keisya Arsyanendra ini meresahkan sekali. Siapa dia berani memberikan saran kepada pasangan lain mengenai anak? Dia saja belum menikah.

"Boleh juga, nanti kami diskusikan lagi. Iya, kan, Sayang?" Kim tersenyum, aku mengangguk pelan, juga pura-pura tersenyum.

...

Aku melempar bantal begitu Kim masuk ke kamar hingga membuat laki-laki itu tidak sempat menghindar. Kim menghela nafas berat, kemudian memungutnya, lantas mengembalikannya kepadaku.

"Kenapa?" Kim bertanya lembut, dia duduk di sampingku sambil mengelus rambutku. Aku merasa sedikit nyaman, jadi aku berinisiatif menempel padanya.

"Sepupumu menyebalkan," ucapku lirih, tetapi aku yakin Kim mendengarnya.

"Tidak semuanya, kan?" Kim bertanya lagi, tangannya kini berpindah ke punggungku, mengelusnya. Ada perasaan aneh, tetapi aku berusaha mengabaikannya.

"Hhmmm," sahutku malas. Acara sehabis makan malam tadi sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya dirusak oleh Keisya yang kepoan. Sepupunya yang lain ramah, bahkan kembaran si kepo memiliki sikap yang jauh berbeda. Kanaya tidak banyak bicara, dia seperti ayahnya yang begitu tenang dan murah senyum.

"Kamu tadi kenapa ladenin Kei? Pake bilang mau punya anak dua."

Kim terkekeh, emang ada yang lucu dari pertanyaanku?

"Memangnya kamu mau berapa? Tiga, empat, lima?"

Aku mengedip dengan cepat, lantas mendongak untuk melihat secara dekat bagaimana Kim saat mengajukan pertanyaan itu. Masalahnya, aku bahkan tidak memiliki pemikiran sampai punya anak dengannya. Aku mau menggantikan calonnya yang kabur demi menyelamatkan nama baik keluarganya. Setelahnya, biarkan mengalir sesuai arusnya. Namun Kim, seolah-olah memiliki ekspektasi yang tinggi pada pernikahan kami.

"Kamu bercanda, kan?" tanyaku masih menatapnya dengan lekat.

Kim memperlihatkan wajah yang serius, tidak ada raut geli di matanya. "Aku ingin punya anak denganmu."

"Tapi kita---"

"Pelan-pelan saja! Aku tidak menuntutmu punya anak sekarang, karena yang hamil kamu, yang melahirkan juga kamu." Kim memotong ucapanku.

"Kim!" Aku berseru kesal. Kenapa dia harus menampilkan wajah yang serius? Aku tidak suka candaannya.

Kim menarikku lebih dekat, memaksaku terus menatapnya. Aku tidak suka jika dia seperti ini, membuatku kehilangan keberanian.

"Lin, apa salah aku ingin punya anak darimu? Kita suami istri."

"Tapi kita menikah tanpa dasar cinta?"

"Kamu bisa coba untuk mencintaiku." Ucapan Kim seolah-olah dia mencintaiku. Alih-alih menggunakan kata kita, kenapa dia menyuruhku untuk belajar menerima.

Aku menggeleng. Ini pasti bukan Kim, laki-laki di hadapanku ini bukan sahabatku. Aku suka Kim yang selalu memancarkan kegelian dari matanya. Kim yang tertawa karena berhasil membuatku menangis.

"Sepertinya kamu ketularan Arsyanendra yang lain." Aku tersenyum canggung, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Kim, tetapi sulit. Kim makin membuatku takut dengan sikapnya yang tidak biasa.

Seakan tersadar, Kim mengendurkan cengkeramannya dan perlahan melepaskanku. Laki-laki itu kemudian beranjak dari tempatnya duduk.

"Mau ke mana?" tanyaku saat melihatnya seperti akan keluar dari kamar.

"Aku keluar sebentar, kamu tidur saja duluan!" Kim menjawabnya tanpa menoleh padaku. Apa dia marah?

"Kim," panggilku.

"Tenang saja, Mbak Kunti tidak ada di sini." Kim benar-benar mengabaikanku, dia keluar kamar begitu saja. Mendadak, rasa bersalah menyergapku. Aku juga merasa sedih, tetapi tidak mungkin aku mengejarnya keluar. Nanti orang-orang jadi tahu kalau kami bertengkar.

...

Aku tidak ingat jam berapa akhirnya aku tidur, yang pasti hingga jam di ponsel menunjukkan angka 01.07 mataku masih terjaga. Aku menunggu Kim kembali, tetapi laki-laki itu entah pergi ke mana. Namun, saat kini aku membuka mata, Kim sudah tidur di sebelahku.

Aku tersenyum melihat wajahnya yang damai saat tidur, hal yang mulai kusukai sejak kami tidur dalam satu ranjang.

Aku bangun dan mengambil ponsel yang ada di nakas, ingin tahu jam berapa sekarang. Ternyata masih jam 3 pagi, pantas saja aku terbangun. Sudah menjadi kebiasaan, aku bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah selesai, aku segera keluar dan ingin kembali bergelung selimut. Udara di sini sangat dingin, membuatku menggigil.

Melihat Kim masih pulas, aku iseng-iseng merapatnya diri sebab selimut saja ternyata tidak cukup mengusir rasa dingin. Dan benar, menempel kepadanya membuat tubuhku terasa hangat dan nyaman. Aku kembali mengantuk, tetapi samar-samar atau entah mimpi, aku merasakan sebuah tangan menelusup ke bawah dan membawaku dalam dekapan yang makin hangat, lebih dari yang tadi.

***

Bersambung ....
Gimana dengan part ini? Udah bikin deg-degan? Kalo belum, part selanjutnya aku mau taruh yang manis-manis. Buat yang tanya, apakah Kim menyukai Alin? Hhmmm, kalo dari kacamata Alin, tidak. Mereka bersahabat sangat lama. Alin merasa nyaman dengan Kim, sebab laki-laki itu laki-laki kedua yang dekat dengannya setelah Liam. Dari Kim, Alin mendapatkan banyak hal. Salah satunya, persahabatan.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang