PENGAKUAN

130 24 3
                                        

Aku mendiamkan Kim setelah kejadian di kebun tadi. Bisa-bisanya dia main cium dan asal sambar bibirku seolah-olah ini sudah jadi miliknya. Enak saja, dalam sehari dia melakukannya sampai dua kali. Dia memang suamiku, tetapi perjanjian tetaplah perjanjian. Aku belum bisa menerima dia sepenuhnya.

Beberapa kali Kim mencoba mendekat, tetapi aku konsisten menjaga jarak. Bahkan di acara inti, yaitu acara tiup lilin, aku sengaja duduk bersama sepupu-sepupunya. Tidak buruk, mereka semua menyenangkan, termasuk Keisya yang tadinya tampak begitu menyebalkan.

Kim masih gigih mendekatiku, tetapi aku sama kerasnya berusaha menghindar. Tidak peduli jika anggota keluarga yang lain menyadari, aku akan tetap melakukannya. Biar Kim tahu rasa. Biar lain kali dia permisi dulu sebelum menciumku. Namun, rupanya dia menang juga. Ini karena Eyang menyuruh kami semua berfoto bersama. Terpaksa aku berdiri di samping suami dan tentu saja dia terlihat semringah karena berhasil memutus kerenggangan kami.

Kabar baiknya, acara malam ini tidak selarut kemarin, jadi aku bisa istirahat lebih cepat. Setelah berpamitan kepada semua orang yang tersisa di ruang keluarga, aku segera memasuki kamar. Kim tetap bertahan bersama yang lain, mungkin merasa tidak enak karena para laki-laki tidak ada yang beranjak dari duduknya masing-masing.

Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang terjadi serta yang dibicarakan, aku terlalu mengantuk karena kurang tidur. Namun, seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, aku terbangun di jam 3 pagi. Aku memperhatikan tempat sebelah, kosong. Hey, bagaimana bisa orang itu tidak ada? Apa dia masih berada di luar? Dengan perlahan aku mengintip melalui celah pintu yang sengaja kubuka sedikit, tidak ada. Aku jadi penasaran, ke mana perginya?

Setelah menutup pintu kamar, aku berjalan sedikit mengendap-endap untuk mencari keberadaan Kim. Laki-laki itu ke mana, kenapa tidak kembali ke kamar? Jangan-jangan dia tidur di kamar lain? Sialan, kenapa dia membuatku over thinking gini?

"Kim," panggilku lirih. Sebenarnya panggilanku ini tidak bermanfaat sedikit pun, tetapi daripada hening, mending ada suara meski itu suaraku sendiri.

Kembali, aku mengitari ruangan demi ruangan yang masih terbuka. Hasilnya nihil. Kim tidak berada di salah satunya. Bahkan ruang keluarga yang tadinya dipakai berkumpul sudah sangat bersih, sampah pun sudah tidak ada. Heran, kapan mereka bersih-bersihnya?

"Kim." Lagi, aku memanggilnya. Namun, kali ini suaraku sedikit nyaring. Aku memberanikan diri keluar dari villa, mungkin saja laki-laki itu mencari udara segar. Meski dipikir-pikir, manusia waras mana yang pagi buta begini berada di luar kecuali siap menanggung risiko kena penyakit?

Saat aku berniat untuk kembali, mataku menangkap sesosok manusia yang berada di kursi taman seraya meracau tidak jelas serta tangannya memegang botol. Meski orang itu hanya tampak punggungnya, tetapi aku hafal sebab punggung itu yang selalu jadi sandaranku tidur. Kim Arsyanendra, sedang apa di sana?

"Kim," panggilku begitu dekat dengan laki-laki itu, tetapi Kim tidak menoleh.

"Kim," panggilku lagi. Masih dengan respons yang sama, Kim bergeming. Aku memberanikan diri meski di hati timbul sedikit ketakutan, jangan-jangan Mbak Kunti menjelma menyerupai sosok suamiku.

"Kim, kamu ngapain di sini?"

Kim menoleh, aku refleks mundur, tetapi tangannya bergerak menarikku. Aku tidak bisa mengelak dan jatuh di pangkuannya. Dari jarak sedekat ini akhirnya aku tahu kenapa Kim bertingkah aneh, ternyata dia mabuk.

"Kim, kamu mabuk?" Aku menanyakan hal yang sudah aku tahu jawabannya.

Kim menempelkan telunjuknya di bibirku, menyuruhku diam. Aku tidak tahu kenapa, tetapi melihatnya seperti ini membuat hatiku sedih. Dari matanya dapat kutangkap sebuah kepedihan.

"Aku capek," ucapnya lirih, Kim lantas menjatuhkan kepalanya di pundakku. Meski duduk di pangkuannya, tetap saja aku begitu mungil dibanding dirinya.

"Aku capek banget dituntut sempurna," ucapnya lagi. Aku secara naluriah mengusap-usap punggungnya.

"Tapi aku senang kamu hadir, Lin. Hidupku jadi berwarna." Kim terkekeh. Bahkan dalam kondisi mabuk pun, baginya aku tetap hiburan.

"Terima kasih," ucapnya seraya mengangkat kepala, lantas menatapku lekat-lekat.

Aku gantian mengelus pipinya, Kim tampak nelangsa. "Masuk yuk! Di sini dingin."

Kim menggeleng, menolak ajakanku.

"Ngapain masuk? Aku enggak bisa ngapa-ngapain kamu. Tidur sama kamu tuh siksaan bagiku. Aku harus nahan diri, padahal kita sudah nikah." Kim terkekeh di sela racauannya. Dan barusan, apa aku tidak salah dengar?

"Aku laki-laki normal, Lin." Seakan mengerti kebingunganku, Kim melanjutkannya lagi, "aku terangsang tiap lihat kamu tidur, tapi aku berusaha keras ngeredamnya karena kamu belum mau ngelakuinnya. Iya, kan?"

Aku merasa ini tidak benar dan berharap ini hanya mimpi. Namun lagi-lagi, seakan menjawab keraguanku, Kim mendekatkan diri, lantas menangkup pipiku serta mengunci pandangan kami berdua.

"Aku sayang kamu, Lin."

Selanjutnya seperti biasa, Kim memangkas jarak kami. Seolah-olah terhipnotis, aku membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya. Awalnya lembut, tetapi lama-lama makin menuntut. Meski mabuk, Kim tidak kehilangan keahliannya dalam mencium, bahkan sepertinya aku harus mengibarkan bendera putih sebagai tanda kewalahan menghadapi seranganya. Kim tidak membiarkanku bernafas sedikit pun.

Aku tersengal begitu Kim memutus ciumannya. Sebaliknya, laki-laki itu malah tersenyum geli, lantas mengusap bibirku yang rasanya bengkak karena ulahnya. Dengan posisi kami yang seperti ini, memang memudahkannya melakukan sesuatu atas diriku. Namun, sebagai seseorang yang waras seharusnya aku bisa menolaknya, tetapi apa yang kulakukan? Tidak ada. Malah tadi sempat ikut berkontribusi. Lama kelamaan aku teracuni oleh Kim Arsyanendra. Amit-amit.

Beruntungnya, kegilaan Kim hanya sebatas ciuman. Laki-laki itu terdengar mendengkur tidak lama setelah kembali menjatuhkan kepalanya di pundakku.

Aku mengumpat kesal. Bagaimana caraku membawanya kembali ke kamar?

...

Rombongan kami, lebih tepatnya Papa, Mama, Kim, dan aku menjadi yang terakhir meninggalkan villa karena Kim masih terindikasi mabuk. Laki-laki itu bersikeras meski papanya sudah menawarkan diri menggantikannya menyetir, bahkan saat Eyang turun tangan pun tidak digubris. Kim merasa masih sanggup membawa kami pulang ke rumah dengan selamat. Aku sih, menurut-menurut saja, tidak peduli siapa yang mengemudi.

Kim akhirnya menyerah ketika Mama Ami bertindak. Papa yang menyetir dan Kim berada di sebelahnya sambil terus memegang kepalanya yang pusing. Aku sudah memberinya obat pereda nyeri, tetapi tidak banyak membantu.

"Kamu minum berapa banyak sih, Kim? Dosa tau." Mama Ami mengomel, sementara anaknya bungkam, mungkin merenenungi kesalahannya.

"Jangan diulangi lagi! Mama enggak suka kamu lari ke hal-hal negatif kaya gitu. Kalo ada masalah, cerita! Enggak mau sama mama, ada Alin."

Kim tetap tidak bersuara.

"Kamu enggak ngerasa salah sama istrimu?"

Gimana ngerasa salah, aku yang jadi sumber masalahnya hingga Kim mabuk. Namun, aku hanya mengatakannya dalam hati. Mana mungkin aku jujur? Lebih baik aku pura-pura tidak tahu.

Masih sama. Kim tetap bungkam.

"Sudahlah, Ma! Kasihan Kim, kasihan juga Alin. Lihat, dia jadi takut," lerai Papa.

Aku tersenyum saat Mama Ami menoleh ke arahku. Wanita paruh baya itu lantas menghela nafas lelah.

"Habis ini kamu istirahat, jangan ke mana-mana! Alin, pastiin suamimu diam di rumah!" Meski kecewa, Mama Ami tetaplah seperti ibu-ibu di luar sana, tetap perhatian terhadap putranya.

Aku tidak tahu arti kediamannya Kim. Entah dia menyesal atau tengah mengingat kejadian semalam, tetapi bisa saja bukan keduanya.

Bersambung ....
Nih orang khilafnya sampe 3× sehari. Rekor tersendiri. Untungnya diimbangi Alin Gantari yang anti baper. Coba Alin tipe yang menye-menye, disosor berkali-kali pasti bawaannya minta pertanggungjawaban, meski sah-sah aja karena mereka pasangan yang udah halal buat ngapa-ngapain. Hihihi ... see you next part. Dimohon kesabarannya.

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang