"Kim, aku rasa kamu salah belok," ucapku saat menyadari Kim mengambil arah yang berbeda dengan arah menuju apartemennya, aku menatap jalanan di belakangku. Hampir tertinggal jauh karena laki-laki di sebelahku mengemudi dengan kecepatan yang tinggi.
"Memangnya kamu tahu kita akan ke mana?" Kim malah menanyaiku. Jelas-jelas tadi bilang mau ke rumah yang akan kami tinggali berdua. Lepas dari keluarga masing-masing.
"Apartemen," jawabku padat dan singkat.
"Rumah, Lin. Rumah. Bukan apartemen." Kim menjelaskan lebih detail, bahkan diulang-ulang.
"Emang apa bedanya rumah dan apartemen?" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, berpikir perbedaan dua bangunan tersebut.
"Makanya kalo kuliah jangan tidur! Rumah dan apartemen jelas beda. Perlu aku terangkan?"
Aku cemberut. Bukannya tidak tahu perbedaannya, tetapi, kan, tadi bilang mau ke ru---aku menoleh ke arah Kim yang menyetir, laki-laki tersenyum geli.
"Emangnya kamu punya rumah?"
"Punya, tapi kecil. Nanti kalo mau dibangun lagi bisa, tanah samping kiri dan kanan, juga belakangnya masih sisa. Tadinya aku pikir tanahnya untuk bangun sekolah, tapi Ayah bilang sudah beli sendiri. Jadinya, daripada nganggur aku pake untuk rumah."
Aku menatapnya takjub, dia menjelaskannya seolah-olah itu hal yang biasa. Apakah membangun sebuah rumah itu mudah? Aku paham karena keluarganya kaya raya, tetapi Kim masih pegawai di perusahaan ayahnya. Gajinya mungkin tidak jauh berbeda denganku. Aku saja tabungan masa depannya masih sedikit, sering tergiur jalan-jalan ke luar kota serta nonton konser oppa-oppa Korea.
"Tenang saja, uang yang kugunakan untuk rumah dan hidupmu uang halal kok. Ada beberapa persen saham perusahaan Ayah atas namaku dan semua hasilnya aku kumpulkan. Selain rumah, apartemen, aku juga memiliki satu perusahaan kecil, rintisan dengan Beny dan Abim." Seolah-olah tahu apa yang kupikirkan, Kim lagi-lagi menjelaskannya secara terperinci.
"Seharusnya kamu jelasin ini sebelum kita menikah!" Aku cemberut lagi, ternyata banyak yang tidak kuketahui tentangnya. Padahal aku bersahabat dengannya hampir 11 tahun lamanya.
Kim tergelak, salah satu tangannya terulur kemudian mengelus rambutku, "kalau tahu jadinya nikah sama kamu, aku jelasinnya sama kamu."
"Jadi, kamu juga jelasin ini sama Vivian?" Aku ingin tahu.
"Iyalah, aku jelasin semua hal tentangku. Ini penting agar tidak ada rahasia. Harus terbuka juga soal keuangan, riwayat penyakit, serta---"
"Mantan." Aku menyambar cepat. Kim makin tergelak.
"Nah, itu kamu tahu."
"Habis ini kamu harus jelasin semua tentangmu. Aku enggak mau kaya istri oon yang enggak tahu apa-apa soal suaminya."
"Siap!" Kim menjawab dengan nada tegas.
***
Aku menatap laki-laki di sebelahku dengan banyak pertanyaan. Bukankah tadi dia bilang, rumahnya kecil. Makanya aku bersedia membagi tugas bersih-bersih serta beres-beresnya hanya dengannya, tidak ambil pekerja? Aku belum pikun, jelas-jelas Kim bilang rumahnya kecil. Apa definisi kecil di bayanganku berbeda dengan kecil di bayangan Kim Arsyanendra?
"Ayo masuk! Kemarin Bibi udah bersih-bersih, jadi hari ini kita bebas tugas. Paling cuma nyediain makan malam, tapi kalau kamu mager bisa delivery." Kim mengoceh seraya menarik koper, aku mengekorinya sambil menggerutu. Rumah dengan 2 lantai dia sebut kecil, lalu apa kabar dengan rumahku yang seadanya?
"Nanti kamu bisa nanam bunga di teras samping, luasnya emang enggak seberapa, tapi pasti cukup. Aku tahu hobimu itu cuma buat konten." Kim tertawa. Tidak ada yang lucu. Lagian, aku trauma mendengar kata rumahnya kecil, ukurannya tidak seberapa, tidak begitu banyak, dan lain-lainnya selama itu keluar dari mulutnya. Tidak ada yang sesuai ekspektasiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti
RomansaApa jadinya menikah karena insiden? Bukan insiden yang satu itu, tapi insiden di mana kamu diminta menggantikan mempelai wanita yang kabur oleh sahabatmu sendiri. Alin Gantari harus menjalani pernikahan yang tidak pernah dia inginkan dan bayangkan...