19. Balistik

2 0 0
                                    

Hembusan angin menerpa wajah Laudi. Ia dan keempat rekannya terbang dengan mengendarai Kaladrius. Bulu-bulu burung raksasa tersebut terasa begitu lembut dan licin. Laudi mengeratkan genggamannya semata-mata agar tidak terpeleset jatuh ke laut lepas.

Kaladrius membumbung tinggi menembus awan-awan. Dengan cepat kota di bawah mereka pun mengecil dan membuat Laudi bisa melihat hamparan pulau besar yang berbatasan dengan laut. Mereka terus terbang ke utara, melewati Laut Jawa. Pulau Kalimantan sudah terlihat di depan sana. Pulau tersebut didominasi oleh area hutan dengan anak-anak sungai yang mengalir membelah daratan luas itu.

Laudi menengadah ke langit. Di balik atmosfer itu, portal besar sedang menganga terbuka, sebuah gerbang yang dibuat oleh para Drakonian untuk menginvasi Bumi. Portal itulah yang harus ditutup oleh Laudi dan rekan-rekannya. Waktu mereka semakin sempit. Dengan banyaknya Corux yang sudah bangun, artinya waktu mereka sudah tidak lama lagi. Setelah masa inkubasi para Corux itu selesai, gelombang kedua ras Drakonian akan segera muncul. Pada saat itu Bumi mungkin sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

Kini tinggal tiga orang yang tersisa. Laudi berharap mereka bertiga masih bisa bertahan dari gempuran gelombang pertama serangan ini. Batu-batu portal kedelapan orang itu harus disatukan untuk menciptakan energi yang berlawanan dengan portal milik para Drakonian.

Setelah kembali memikirkan fokus misinya tersebut, sejenak Laudi bisa mengesampingkan rasa sedihnya setelah kehilangan keluarga. Meski di sudut hatinya masih terasa kosong dan pilu, tetapi gadis itu sudah lebih tegar sekarang.

"Kita udah mau sampai!" seru Leo yang duduk paling depan. Ia berteriak untuk mengalahkan deru angin yang menerpa mereka.

Kaladrius sepertinya sudah tahu kemana harus membawa rombongan tersebut. Kini ia terbang lebih rendah dan semakin dekat dengan daratan. Hutan belantara ada di bawah kaki mereka. Namun hutan itu sudah porak poranda. Pepohonan tumbang dan berserakan di seluruh dasar hutan. Titik-titik api tersebar tak beraturan, dan lubang-lubang besar mengaga sebesarkawah tampak di sana-sini.

Setidaknya ada tiga ekor Corux raksasa yang sudah bangun sepenuhnya. Tubuh mereka serupa manusia dengan tinggi sekitar tiga puluh meter. Tidak ada kulit yang menutupi tubuh para Corux tersebut, alih-alih urat dan sisik pucat berwarna putih kemerahan seperti luka bakar di sekujur tubuh. Dengan wajah serupa reptil bergigi tajam, serta jari-jari berselaput dan cakar yang tajam, Corux-corux itu menyerang membabi-buta ke satu arah yang sama.

Laudi menyipitkan matanya demi melihat arah serangan para Corux tersebut. Dari kejauhan, ia melihat setitik kecil manusia yang mencoba melawan para Corux dengan segenap tenaga. Orang itu beberapa kali mengeluarkan portal untuk mengubah tubuhnya menjadi sekeras metal . Tubuh logamnya itu pun bisa bertahan menerima serangan para Corux, entah itu semburan api atau pun gas beracun yang meluncur dari mulut makhluk-makhluk tersebut. Sesekali kedua tangan orang itu berubah menjadi pedang besar yang berhasil memotong jari-jari bahkan pergelangan tangan Corux yang menyerangnya. Akan tetapi tindakan itu sia-sia belaka, karena Corux yang sudah bangkit bisa meregenerasi tubuh raksasanya semudah membalikkan telapak tangan.

"Itu Irqiels!" seru Kara yang juga menyadari keberadaan manusia yang bisa berubah menjadi logam tersebut.

"Gimana cara nolong dia? Kita nggak bisa sembarangan mendarat di sana. Tiga Corux dewasa! Bisa-bisa kita semua mati!" Dipa turut berseru menimpali.

Laudi berpikir cepat. "Kita mendarat di sana," tukasnya sembari menunjuk ke area yang tidak terjangkau serangan.

Leo menurut dan mengarahkan Kaladrius untuk mendarat di tempat yang ditunjuk oleh Laudi. Tempat iu tidak terlalu jauh dari medan pertempuran, tetapi para Corux yang sedang fokus menyerang pada satu titik, tidak menyadari kedatangan mereka.

Laudi segera meluncur turun dari punggung sang burung putih raksasa tersebut. Ia lantas mengeluarkan portalnya sendiri yang dilingkupi aliran listrik berwarna biru.

"Rencanamu gimana?" tanya Leo yang berlari menghampirinya.

"Aku mau pakai Balistik. Kara, apa kamu bisa jemput Irqiels pakai portalmu?" tanya Laudi beralih pada Kara.

"Ya. Aku bisa," sahut Kara cepat.

"Tunggu aba-abaku. Kamu jembut Irqiels lalu langsung bawa ke sini secepat mungkin," perintah gadis itu tegas.

"Sebentar, sebentar. Kamu yakin mau pakai Balistik? Itu sama aja ngancurin semua area hutan ini. berapa hektar bakal hancur. Kamu nembakin rudal loh," potong Leo tampak khawatir.

"Kalian semua harus siap-siap di atas Kaladrius. Begitu aku nembakin Balistik, kita harus segera kabur dari sini sebelum ikut hancur karena efek ledakan." Laudi bersikeras. Ia tidak menanggapi kekhawatiran Leo.

"Tunggu, Di. Ini serius. Kamu juga bakalan kehabisan tenaga kalau manggil senjata besar itu. Kamu yakin tubuhmu bakal kuat?" lanjut Leo semakin cemas.

Akhirnya tatapan Laudi pun mengarah pada pemuda itu. Leo mendapat atensi Laudi. "Aku nggak mau main aman lagi, Leo, sementara kalian semua udah berusaha keras. Ini cara yang paling masuk akal buat kita ngelawan tiga Corux dewasa. Jangan khawatir. Aku bisa," ucap gadis itu meyakinkan.

"Biar aku support kamu, Di." Dipa menawarkan.

Laudi menggeleng pelan. "Tenagamu juga udah habis, Dipa. Sekarang kalian tunggu aja di atas Kaladrius. Kecuali Kara," perintahnya tegas.

"Serius, Laudi. Kamu-."

"Tolong percaya sama aku, Leo. Kalian udah melakukan bagaian kalian masing-masing. Sekarang giliranku," potong Laudi tak sabar. Ia harus segera berkonsentrasi untuk memperbesar portal biru yang ada di hadapannya.

Leo menghela napas pelan. Wajahnya masih menampakkan kecemasan yang besar. Meski begitu, ia tidak berkomentar lagi. Dengan berat hati, Leo pun berbalik pergi bersama Dipa dan Rendra untuk kembali naik ke punggung Kaladrius.

Kini di sisi Laudi hanya tersisa Kara yang sudah siap untuk membuka portalnya sendiri. Ia menanti aba-aba dari Laudi yang masih fokus memanggil senjata berat yang sangat besar dari dalam portal dimensinya.

Beberapa menit berlalu dan portal Laudi sudah melebar hingga seluas puluhan meter. Pada titik ini, energi Laudi benar-benar terkuras habis. Ia nyaris tidak bisa bertahan. Kedua tangannya yang terjulur ke depan mulai gemetaran dan tubuhnya sudah terasa semakin berat. Peluh membasahi seluruh tubuh Laudi, kepalanya berdengung hampir kehilangan kesadaran.

Meski begitu Laudi tetap bertahan. Ia terus mengerahkan seluruh tekadnya untuk memperlebar portalnya agar dapat memanggil sebuah senjata besarnya yang sepanjang dua puluh meter. Sebuah peluru kendali yang dapat terbang dalam ketinggian sub-orbit melalui jalur balistik.

"Laudi, kamu berdarah!" pekik Kara tampak terkejut.

Laudi tidak menyadarinya tetapi sekarang kedua lubang hidungnya sudah mulai mengeluarkan darah. Tak lama setelah itu ia pun terbatuk dan mulutnya turut menyemburkan darah segar. Kara kembali memekik khawatir, tetapi Laudi menggeleng pelan tanpa berkata apa-apa. Sedikit lagi, pikirnya. Laudi hanya harus bertahan sebentar lagi.

Detik-detik berlalu dengan sangat lambat. Kesadaran Laudi sudah berada di ambang ada dan tiada, hingga akhirnya, portal yang dia panggil telah berada dalam ukuran yang tepat. Sebuah senjata pelontar rudal raksasa akhirnya muncul dari balik portal. Logam berat beserta peluru kendali mahabesar itu pun terdorong keluar secara perlahan.

Laudi masih harus mempertahankan portalnya tetap terbuka hingga seluruh badan senjata raksasanya itu keluar dengan sempurna. Usahanya itu pun membuahkan hasil. Rudal besar beserta pelontarnya itu pun muncul di atas tanah hutan Kalimantan yang sudah porak poranda.

Laudi pun segera menutup kembali portalnya sembari tersengal kehabisan napas. Rasanya lebih parah dari sekedar berlari sprint. Lebih seperti habis melakukan bench press sepuluh ribu kali berturut-turut. Sembari menopang tubuh di lututnya, Laudi pun menyeka peluh yang sudah menetes di seluruh wajah, termasuk darah mimisannya. Kara segera berlari ke arah gadis itu dengan khawatir.

"Masih kuat?" tanya Kara dengan alis berkerut.

Laudi hanya mengangguk singkat. "Sekarang kita bisa mulai berburu, Kara," ucapnya kemudian.

The Fifth DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang