21. Duka Kehilangan

5 0 0
                                    

Esok paginya Laudi terbangun karena suara deburan ombak yang keras saat memecah karang. Ia mengerjap beberapa kali dan mendapati Kara serta Nilam yang tidur di atas tanah, tepat di sebelah Laudi. Dipa serta Leo juga masih terlelap di seberang api unggun. Hanya Rendra yang tidak terlihat di area tersebut.

Laudi menggeliat pelan lantas bangkit berdiri untuk menjelajahi pulau kecil itu. Ia juga harus mencari tempat untuk buang air. Beruntung ada sebuah bilik toilet umum sempit di dekat jembatan. Setidaknya Laudi bisa menuntaskan keperluan pribadinya itu dengan nyaman dan tidak perlu bersembunyi di balik semak-semak yang gatal.

Saat sampai di tepi pantai, Talia melihat Rendra sedang berdiri ke arah laut lepas. Matahari belum terbit sepenuhnya. Karena itu suasana pagi masih sedikit gelap. Karena itu sosok Rendra yang berdiri di tepi pantai tampak seperti siluet. Laudi pun mengurungkan niatnya untuk ke toilet. Gadis itu menghampiri Rendra yang sudah bangun sejak pagi-pagi buta.

"Kamu nggak tidur?" tanya Laudi begitu sampai di jarak dengar pemuda tersebut. Suara debur ombak masih bersahut-sahutan. Meski begitu suaranya terdengar cukup jelas.

"Barusan bangun juga, kok," jawab Rendra masih menghadap ke arah laut dengan kacamata hitamnya yang trendi.

"Udah ketemu kah?" tanya Laudi merujuk pada rekan-rekannya yang masih ada di luar sana. Samar-samar ia bisa melihat bekas-bekas tetesan darah dari kedua mata Rendra. Pemuda itu pasti memaksakan diri lagi.

Rendra menunjuk ke arah barat. "Di sana. Di seberang laut. Nggak jauh dari sini. Buvi udah bangun. Ada satu Corux dewasa di dekatnya. Tapi mereka nggak sedang bertarung. Buvi masih bertahan," ujar pemuda itu tampak menerawang.

"Buvi? Si portal pembeku?" tanya Laudi memastikan.

Rendra mangangguk. "Mungkin dia juga nggak akan bisa bertahan lama," lanjutnya dengan nada muram.

"Biar aku bangunin yang lain. Kita berangkat setelah sarapan," usul Laudi lantas berbalik pergi.

Setelah selesai dengan urusan toiletnya, Laudi segera membangunkan rekan-rekannya yang lain. Mereka mungkin masih butuh istirahat. Namun keadaan tidak memberi mereka banyak waktu. Seusai membereskan diri dan sarapan seadanya dengan sisa daging bakaran semalam, kelima orang itu pun kembali terbang dengan menunggangi Kaladrius. Tujuan mereka selanjutnya adalah Tanjung Pinang, tempat yang ditunjuk oleh Rendra dalam penglihatannya.

Lautan lepas dan jajaran pulau-pulau sudah dilewati oleh rombongan Laudi. Di kejauhan, mereka akhirnya melihat sebuah pulau berpenduduk padat di Kepulauan Riau. Kota itu berada di Pulau Bintan, Provinsi Riau.

Tepat di alun-alun kota tersebut, Laudi bisa melihat sesosok Corux dewasa yang berdiri diam dalam belitan portal dengan cahaya listrik berwarna putih. Itu adalah kekuatan pembeku milik Bavi, salah satu rekannya yang ditemukan oleh Rendra.

Sosok Bavi kini menempati raga seorang remaja berusia sekitar lima belas tahun. Dengan seragam SMPnya yang sudah kumal, anak itu terus mengulurkan tangannya ke arah raksasa setinggi pulahan meter. Laudi benar-benar takjub dengan kemampuan tubuh Bavi dalam menggunakan kekuatan besar itu dalam raga seorang remaja bertubuh jangkung. Ia bertanya-tanya sudah berapa lama anak itu bertahan di posisi itu tanpa beristirahat.

Leo segera memerintahkan burung besarnya untuk terbang rendah ke arah anak itu. Belum sampai Kaladrius mendarat, mendadak Nilam sudah memekik keras sembari melompat turun.

"Biar aku urus Corux sialan itu!" serunnya sembari melompat dari punggung Kaladrius tanpa ragu. Padahal mereka masih berada di ketinggian seratus meter dari atas tanah.

Meski begitu, Nilam dengan cekatan mengubah wujudnya menjadi logam. Portal beraliran listrik merah melingkupi seluruh tubuhnya hingga berubah menjadi metal berwarna abu-abu mengkilau, lengkap dengan kedua tangan yang berubah menjadi pedang besar.

Begitu mencapai jarak yang tepat, Nilam segera mencincang tubuh Corux raksasa menjadi bagian-bagian kecil yang sulit untuk disatukan. Gerakannya sangat cepat dan terlatih, serupa master pedang dengan jam terbang yang tinggi.

Leo segera mendaratkan Kaladrius di tempat yang cukup luas. Ia dan seluruh rombongan itu pun segera melompat turun untuk membantu Nilam. Tanpa perlu disuruh, Leo segera memanggil Salamander apinya untuk segera membakar sisa-sisa potongan Corux tersebut, demi mencegah tubuh monster itu beregenerasi. Dengan cepat Corux tersebut pun berhasil disingkirkan.

Laudi, Kara dan Dipa segera berlari untuk melihat kondisi Bavi. Anak remaja itu langsung loyo begitu Corux selesai dibereskan. Ia beringsut jatuh ke tanah tak bertenaga.

"Kalian datang juga akhirnya," gumam anak itu lemah.

Dipa langsung bekerja keras untuk mengalirkan tenaga pada Bavi yang sudah lunglai dalam pelukan Kara.

"Udah berapa lama kamu membekukan Corux itu?" tanya Dipa sembari menggunakan portal emasnya.

"Nggak tahu. Dua hari apa tiga hari gitu. Kota ini udah habis gara-gara dia. Semuanya ... nggak ada orang yang selamat," gumam Bavi pilu. Air mata besar-besar lantas mulai menetes di kedua pipi tirusnya. Laudi menduga Bavi juga sudah kehilangan seluruh keluarganya.

Dengan penuh empati, Laudi kemudian menggenggam tangan anak itu. "Makasih udah bertahan, Bavi," ujarnya penuh ketulusan.

Remaja itu tersenyum pilu. "Aku udah hampir nyerah. Apa lagi waktu papa sama mama ... ." Ia tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Isakan kecil mulai terdengar dari tubuhnya yang bergetar karena kesedihan.

Semua orang di tempat itu pun turut berkabung. Sekalipun mereka sudah dibangunkan dari ingatan jiwa masing-masing, tetapi duka saat kehilangan orang yang terdekat tetap saja menyakitkan. Laudi sudah merasakannya sendiri. Sedangkan yang dialami Bavi mungkin lebih menyakitkan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana seluruh kotanya hancur dan dibantai oleh serangan Corux.

"Kami udah mencoba buat berlindung di pinggir pantai. Semua aparat militer melindungi kami. Tapi Molden-molden itu terus dateng nggak ada habisnya. Orang mati satu per satu, sampai akhirnya Corux itu bangun. Semua Molden lenyap, orang-orang yang diubah jadi Molden juga dimangsa sama induk Corux itu. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan cuma bertahan hidup. Sendirian. Aku bahkan nggak boleh mati karena harus selesaiin misi ini," ratap anak itu tanpa terputus.

"Kalau aja aku lebih kuat, aku bisa selamatin orang-orang itu," lanjut Bavi penuh kepedihan.

Laudi bisa merasakan kegetiran dalam setiap isak tangis anak itu. Kara bahkan sudah ikut menangis. Nilam, yang sudah berubah dalam wujud manusianya, turut memeluk bocah itu dengan hangat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghidupkan kembali para korban.

"Siapa namamu sekarang?" tanya Laudi kemudian.

"Nathan," sahut anak itu di sela-sela isak tangisnya.

"Ini semua bukan salahmu, Nathan. Kamu udah berusaha keras, dan bertahan hidup. Keberadaanmu sudah menjadi harapan untuk seluruh umat manusia yang tersisa. Terima kasih karena kamu masih hidup. Terima kasih karena kamu udah bertahan," hibur Laudi kemudian.

Seketika isak tangis pun pecah merobek kesunyian pagi itu. Bahkan Nilam yang bermental baja pun turut menangis. Tanpa bisa dikendalikan, kedua mata Laudi yang sedari tadi berkaca-kaca turut meneteskan air mata kepedihan. 

The Fifth DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang