18. Kaladrius

2 0 0
                                    

Setibanya mereka di area terbuka di pesisir pantai, Rendra kembali melepas kacamatanya dan mengeluarkan portal dimensi pemindainya untuk menelusuri jejak energi jiwa-jiwa Maldek yang menitis di Bumi. Selama beberapa saat Rendra merentangkan tangannya dengan kedua mata bercahaya ungu muda. Portal dimensinya meluas hingga tidak terlihat lagi dengan mata telanjang.

Laudi dan yang lainnya menunggu dalam diam. Mereka masih duduk di hewan tunggangan mereka masing-masing hingga kurang lebih lima belas menit kemudian mendadak kedua mata Rendra menitikkan tetes-tetes darah serupa air mata berwarna merah. Sontak Laudi pun langsung mendekati pemuda itu. Buru-buru ia menepuk bahu Rendra untuk segera menyadarkan pemuda itu.

"Udah cukup," ucap Laudi.

Secara perlahan cahaya di kedua mata Rendra pun meredup. Meski begitu darah masih terus menetes dari matanya. Dipa turut mendekati Rendra dan segera mengeluarkan portalnya untuk meminimalisir rasa sakit yang mungkin dirasakan rekannya itu. Ia mengarahkan portal emasnya ke arah wajah Rendra.

"Jangan dipaksa," lanjut Laudi sembari mengamati Rendra yang sudah tertunduk sembari memegang kepalanya, tampak kesakitan.

Tiba-tiba Rendra mengangkat satu tangannya. "Udah ketemu. Aku berhasil melacak salah satu dari mereka. Irqiels ... cewek logam itu," desahnya masih menahan rasa sakit.

"Oke. Bagus. Makasih, Ren. Sekarang sembuhin dulu lukamu. Kayaknya kamu kesakitan banget," ucap Laudi yang masih menatap Rendra dengan khawatir. Dipa berusaha keras untuk terus menggunakan portal penyembuhnya. Perlahan-lahan darah yang keluar dari mata Rendra pun berhenti. Kara membantu mengusap darah dari wajah Rendra dengan sapu tangannya yang lembut.

"Ada dua kemungkinan kenapa Rendra sampai seperti itu. antara lokasinya yang sangat jauh, atau karena ada penghalang energi yang kuat banget," komentar Leo kemudian.

"Dua-duanya," sahut Renda parau. "Dia nggak ada di pulau ini. Di utara. Harus nyeberang laut. Kalimantan. Lokasi tepatnya aku belum dapet. Tapi ada Corux besar di sana. Udah bangkit. Nggak cuma satu Kalau kita nggak buru-buru, Irqiels mungkin nggak akan bisa bertahan," lanjutnya dengan kalimat patah-patah.

Laudi menghela napas sembari berpikir bagaimana caranya untuk mencapai pulau itu dengan cepat. Melihat Kara tidak mencoba mengajukan diri untuk membuka portal, itu artinya ia belum pernah pergi ke Kalimantan.

"Aku mungkin bisa buka portal ke sana kalau misalnya ada gambar atau foto salah satu kota di Kalimantan," ucap Kara tiba-tiba.

Mereka semua saling berpandangan. Tidak ada lagi ponsel yang bekerja setelah invasi Draconian ini. Bagaimana cara mendapatkan gambar atau foto salah satu kota di pulau tersebut?

Leo tiba-terdengar menarik napas panjang. "Biar aku aja," katanya memecah keheningan.

Sontak Laudi menoleh ke arah Leo. "Jangan bilang, kamu mau panggil Kaladrius? Tubuhmu yang sekarang mungkin belum cukup buat pakai kekuatan sebesar itu Leo. Jangan memaksakan diri juga," tukas gadis itu.

Sudah cukup ia melihat Rendra yang kesakitan karena menggunakan kekuatannya dengan berlebihan. Jika menggunakan tubuh bintang mereka saat berada di Maldek dulu, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. Namun tubuh manusia ini benar-benar rapuh. Raga mereka yang sekarang tidak bisa menampung seluruh kekuatan jiwa mereka yang sebenarnya.

Meski begitu Leo tetap bersikeras. Pemuda itu menatap Laudi dengan sungguh-sungguh. "Nggak apa-apa, Laudi. Aku masih bisa tahan. Itu satu-satunya jalan atau kita bakal kehilangan Irqiels."

Tidak ada yang bisa berkomentar. Kata-kata Leo memang benar. Penglihatan Rendra tidak pernah salah. Laudi benar-benar dihadapkan pada pilihan yang sulit. Meski begitu, ia tidak bisa kehilangan Irqiels. Jika satu saja dari mereka tidak berhasil selamat, maka seluruh upaya menyelamatkan Bumi akan sia-sia. Hanya delapan batu portal yang bisa melindungi planet ini dari kedatangan para Drakonian, sekaligus membinasakan seluruh wabah Corux.

"Dipa, gimana keadaanmu sekarang? Apa tenagamu masih cukup buat nanti support Leo?" tanya Laudi yang beralih pada rekannya pemilik portal pernyembuh.

"Aman. Ini Rendra juga udah kelar kusembuhin. Cuma perlu istirahat bentar buat ilangin sisa pusingnya. Nanti aku back up Leo biar nggak kecapekan," jawab Dipa percaya diri.

Laudi menarik napas panjang. "Yaudah kalau gitu. Kita terbang ke Kalimantan," kata Laudi kemudian.

Semua orang setuju tanpa membantah. Mereka lantas turun dari hewan tunggangan masing-masing agar Leo bisa mengembalikan hewan-hewan itu ke dalam portal dimensi. Selanjutnya Leo kembali memusatkan konsentrasi untuk membuk portal baru di atas kepalanya. Dipa berdiri di belakang Leo dengan tangan terangkat. Portal emas milik Dipa sudah berada di balik punggung Leo. Begitulah cara Dipa mengirimkan energinya untuk menstabilkan kekuatan rekannya yang lain.

Semakin lama, portal Leo semakin membesar. Lebarnya mungkin mencapai hampir dua puluh meter. Leo sudah makin terlihat kepayahan. Peluh membasahi seluruh tubuh pemuda itu, dan kedua tangannya yang terangkat kini tampak gemetaran. Laudi sudah nyaris memutuskan untuk menghentikan usaha Leo ketika mendadak sebuah suara koak burung terdengar dari dalam portal Leo.

Seekor burung raksasa melesat keluar dari dalam portal Leo. Burung itu melesat sangat cepat hingga yang terlihat hanya bulu putihnya yang bergerak seperti peluru. Burung itu berputar satu kali di udara sembari berkoak keras sekali, seolah girang karena dipanggil oleh sang majikan setelah sekian lama.

Portal dimensi Leo kembali tertutup dan pemuda itu langsung rebah di atas tanah dan berlutut dengan satu kaki. Napasnya memburu seperti seorang pelari sprinter yang baru saja melewati garis finis. Laudi segera menghampiri Leo dan ikut berlutut di hadapan pemuda itu.

"Aman, Le?" tanya Dipa sembari masih mengarahkan portal emasnya ke punggung Leo.

Leo hanya mengangkat satu tangannya sembari mengangguk pelan. Laudi segera memberinya sebotol air mineral dari perbekalan mereka. Leo meraihnya masih dengan tangan yang gemetaran. Perlahan-lahan ia pun meminum seluruh isi botol hingga habis tak bersisa.

"Gila. Berasa tua banget aku. Manggil satu Kaladrius aja rasanya kayak mau mati. Padahal dulu mau manggil mereka sekompi juga masih bugar," ujar Leo dengan napas tersengal.

"Sistem tubuh kita waktu itu kan beda komposisinya sama sekarang. Medan energi Maldek juga jauh lebih tinggi vibrasinya daripada Bumi. Jangan dibandingin, dong," komentar Kara sembari membungkuk melihat kondisi Leo yang kehabisan energi.

"Kaladrius datang." Rendra yang sudah menggunakan kacamatanya lagi kini menatap ke arah sang burung raksasa yang mulai terbang menukik dan bersiap untuk mendarat di dekat sang majikan yang kelelahan. Bahkan tanpa dua mata normal, Rendra bisa melihat jauh lebih banyak daripada semua orang yang ada di sana.

Tepat setelah itu sang burung raksasa pun betul-betul mendarat. Gelombang angin besar dari sayap Kaladrius langsung menerpa Laudi dan rekan-rekannyanya lain. Gadis itu sampai harus menutup mata karena debu-debu halus yang ikut beterbangan ke arah mereka.

"Oke, ayo kita berangkat," ujar Leo sembari bangkit berdiri. Pemuda itu mengulurkan tangannya pada Laudi yang masih berlutut di depannya.

Gadis itu mendengkus pelan lantas menyambut uluran tangan Leo. "Oke," sahutnya sembari tersenyum.

The Fifth DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang