2. Pesta Akhir Tahun

33 8 0
                                    

Setelah selesai berias, Laudi pun akhirnya pergi menuju lantai dua tempat ruangan Departemen Sales & Marketing berada. Di sana Bu Dista dan dua seniornya sudah duduk bergerombol di sudut ruangan, bergosip. Saat Laudi masuk, pandangan mereka menjadi dingin. Laudi menyapa seadaanya sambil duduk di mejanya sendiri.

"Selamat sore Bu Dista, Mbak Mega dan Mbak Vanya," ucap Laudi canggung.

"Kok baru nongol. Udah jam enam lho. Acaranya mulai jam tujuh. Kamu udah cek venue?" tanya Vanya mulai nyinyir.

"Iya tadi siap-siap dulu, Mbak. Sama mandi di ruang loker," sahut Laudi dengan senyum dipaksakan.

Vanya berdecak tak sabar lantas melengos melihat ponselnya lagi.

"Yaudah, sana kamu siap-siap di venue. Ini Mega sama Vanya saya suruh standby di depan aja nanti sambil nyambut tamu-tamunya." Bu Dista pun memberi perintah.

Laudi menurut. Sebaiknya memang berada di ruangan yang berbeda dengan mereka bertiga kalau ingin bisa bernapas lega tanpa tekanan. Maka setelah mematikan computer kerjanya, gadis itu pun segera melesat ke rooftop bar di puncak bangunan hotelnya.

Persiapan di rooftop tampaknya sudah sembilan puluh persen selesai. Para waiters sudah menyusun meja sedemikian rupa, DJ yang akan tampil juga sudah mulai melakukan check sound. Anton, bartender yang dikenal Laudi sebagai karyawan hotel satu-satunya yang bertato, sudah mulai mempersiapkan beragam cocktail untuk welcome drink.

Laudi tidak punya banyak teman dekat di kantornya. Beberapa anak menyapa saat melihat dia datang. Namun kemudian mereka semua lantas membiarkan Laudi duduk sendiri di sudut bar yang temaram. Tidak ada yang perlu dia lakukan, toh seluruh persiapan venue sudah ditangani oleh Departemen Food & Beverages. Laudi tinggal memastikan bahwa tamu-tamu undangan sudah mendapat tempat duduk yang tepat.

Pukul tujuh malam, acara pun akhirnya dimulai. Tidak ada yang terlalu hingar-bingar di awal-awal pesta. Para tamu pun belum semua datang. DJ hanya memainkan musik-musik chill untuk menghidupkan suasana. Masuk pukul sepuluh malam, suasana pesta akhirnya mulai meriah. Laudi sesekali menyapa beberapa tamu yang dia kenal sebelum akhirnya para tamu itu pun menikmati pesta dengan rombongan mereka masing-masing.

Sampai saat itu, Laudi belum menyentuh alkohol sama sekali. Di seberang bar, ia melihat kawan-kawannya sekantor sudah memegang gelas alkohol mereka masing-masing. Venya menempel pada seorang tamu dari kelompok perusahaan ternama di Bali. Mega dan Bu Dista mengobrol dengan orang-orang dari agen travel.

Pesta berjalan meriah dan lancar hingga nyaris mencapai puncaknya. Mendadak Bu Dista, Venya dan Mega mendatangi Laudi yang sedari tadi hanya celingak-celinguk sendirian. Mereka membawa sebotol minuman keras berserta segelas cocktail di tangan masing-masing. Tanpa basa-basi ketiganya duduk di meja Laudi tanpa permisi.

"Laudi, kamu ih lagi party juga malah diem-diem bae," celetuk Bu Dista sok akrab. Entah kenapa Laudi merasa janggal dengan situasi tersebut.

"Iya Laudi. Mumpung bebas gini, harusnya kita senang-senang dong. Nih kami udah bawain minuman buat kamu," sambung Vanya setengah berteriak. Suara musik DJ kini sudah begitu keras hingga memekakkan telinga.

"Enggak, Mbak. Aku nggak minum. Nanti nggak bisa pulang," tolak Laudi sopan.

"Heh! Nggak boleh gitu! Ayo, minum! Kita udah capek-capek bawain lho. Sama senior harus nurut! Cuma dikit juga, nggak bakal mabuk." Mega turut mengompori.

"Nanti kalau nggak bisa pulang buka kamar aja. Nginep sini sama Vanya sama Mega." Bu Dista pun menimpali.

Kedua senior Laudi terus menyodorkan gelas cocktail mereka pada Laudi. Dari aroma mereka bertiga, jelas semuanya sudah mabuk. Laudi tak kuasa menghadapi tiga orang wanita mabuk yang terus merongrongnya. Dengan terpaksa gadis itu pun menenggak minuman-minuman yang disodorkan padanya.

"Nah, bagus. Tuh ternyata pinter minum. Nih lagi, lagi. Nggak usah malu-malu!" seru Vanya kembali mengisi gelas kosongnya lalu memberikan pada Laudi.

Sekuat tenaga gadis itu menoak, tetapi akhirnya gagal juga. Gelas demi gelas akhirnya dia minum hingga nyaris satu jam ia menjadi bulan-bulanan tiga orang itu.

Tanpa terasa, hitung mundur tahun baru pun akhirnya dimulai. Ketiga orang itu pun mengalihkan perhatian mereka dari Laudi lalu berdiri berjingkat-jingkat untuk ikut serta berhitung dari angka sepuluh.

Laudi di sisi lain, sudah tidak bisa lagi mengangkat kepalanya. Entah sudah berapa gelas dia tenggak malam itu. Laudi sudah tidak bisa menghitungnya. Kepala gadis itu terasa sangat berat dan pening. Tubuhnya lemas seperti berubah menjadi agar-agar. Laudi terkulai lemah dan hanya bisa mendengar suara hingar bingar pesta tanpa bisa menyaksikan apa-apa. Setelah terompet tanda tahun berganti berbunyi, ia pun kehilangan kesadaran.

Laudi terbangun dengan nyeri tubuh luar biasa di seluruh persendiannya. Kepalanya berat dan perutnya sangat mual. Ia mencoba mengerjap, tetapi hanya kegelapan yang menyapanya. Gadis itu pun mencoba bangkit dari posisinya yang terbaring. Ia lantas menyadari bahwa selama ini tubuhnya tidur di atas lantai keras yang dingin. Pantas saja tubuhnya sakit semua.

Akan tetapi, hal yang lebih meresahkannya adalah kenyataan bahwa Laudi berada di tempat yang sama sekali tidak dia kenal. Jelas ruangan ini bukanlah kamar kosnya yang walaupun kecil tapi memiliki ranjang empuk dan perabot yang banyak. Lagipula lantai tempatnya terduduk sekarang terasa kasar seperti semen yang belum dipoles. Sementara lantai kosnya sudah berkeramik halus.

Sebenarnya di mana ini? Kepanikan segera melanda Laudi. Tempat itu sangat gelap. Namun secara perlahan matanya mulai beradaptasi. Ia melihat dirinya sendiri masih mengenakan baju yang sama seperti semalam. Sementara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, Laudi mendapati bahwa tempat itu ternyata sangat luas dan kosong. tidak ada barang apa pun di sana selain dirinya sendiri.

"Apa yang terjadi?" rintihnya pelan.

Rasa mual dan pening di kepala Laudi membuat perasaannya semakin buruk. Sambil tertatih, gadis itu pun berjalan menuju sebuah pintu yang ada di hadapannya. Pintu itu adalah satu-satunya tempat dimana cahaya bisa masuk. Di bagian atas pintu terdapat kaca bening yang membuat Laudi bisa melihat keluar.

Begitu mencapai pintu, ternyata Laudi tidak bisa melihat apa-apa selain cahaya putih yang menyilaukan. Matanya yang belum beradaptasi langsung menyipit pedih. Ia pun mencoba membuka gerendel pintu yang rupanya terkunci. Berkali-kali Laudi menggoyangkan gagang pintu itu, tetapi tidak ada yang terjadi. Pintunya tetap tidak mau terbuka.

"Tolong!" seru Laudi panik sembari menggedor-gedor pintu.

Tak ada jawaban. Sekali lagi ia melakukan hal yang sama, tetapi tetap tidak ada jawaban. Hanya kesunyian.

Gadis itu pun mulai menangis. Tubuhnya beringsut jatuh ke lantai dengan posisi meringkuk. Laudi panik dan ketakutan. Ia pun teringat pada ponselnya. Dengan buru-buru ia pun segera mencari ke seluruh tubuhnya, termasuk tempatnya terbaring tadi. Sayangnya ponsel pintarnya pun tetap tidak bisa ditemukan.

Laudi meraung marah sambil menangis keras. Apa yang harus dia lakukan?

The Fifth DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang