23. Tranqiel

4 0 0
                                    

Terbang menggunakan pelana di punggung Kaladrius rupanya membuat udara dingin di atas awan menerpa tubuh Laudi tanpa perlindungan. Seperti kawan-kawannya yang lain, Laudi pun menggigil kedinginan karena tidak ada bulu-bulu hangat Kaladrius yang menutupi mereka. Memikirkan soal hawa dingin membuat Laudi menyadari bahwa tujuan mereka adalah pegunungan tinggi yang diselimuti salju.

Tanpa berpikir dua kali, Laudi lantas kembali membuka portal birunya dan mengeluarkan enam jaket gunung hangat berwarna oranye terang. Gadis itu pun membagikan jaket tebal tersebut pada teman-temannya, berharap tidak ada yang terkena flu karena cuaca ekstrim.

Setelah perjalanan selama beberapa waktu dan bertarung dengan udara dingin yang menggigit, akhirnya mereka memasuki daratan pulau Papua yang ada di timur. Sepanjang pemantauan Laudi dari atas punggung Kaladrius, pulau tersebut nampaknya mengalami kerusakan yang paling ringan daripada tempat-tempat lain yang sudah ia datangi. Pemukiman penduduk dan hutan-hutan tidak banyak berubah bahkan tidak terlihat satu pun Corux dewasa yang merajalela.

Keanehan tersebut bertambah tidak wajar ketika mereka mulai melintasi wilayah pegunungan yang dituju oleh rombongan Laudi. Jayawijaya dengan puncaknya yang tertutup salju menyambut mereka di bawah sana. Hamparan putih salju itu kini tercemar dengan titik-titik hitam yang sangat dikenali oleh Laudi. Bahkan ada beberapa sosok Corux Dewasa yang sudah bergelimpangan tewas.

Semakin dekat jarak terbang Kaladrius dengan pegunungan tersebut, semakin jelas penglihatan Laudi. Rupanya titik-titik hitam itu adalah tubuh para Molden yang sudah tercerai berai. Beberapa di antaranya masih hidup, tetapi justru saling bertempur dengan sesama mereka. Di atas kepala Molden-molden itu terdapat semacam portal kecil beraliran listrik hitam yang pekat. Tanpa banyak berpikir, Laudi langsung bisa mengambil kesimpulan atas kejadian tak lazim di bawah sana.

"Si pembisik udah terampil pakai kekuatannya," komentar Leo yang turut melihat kekacauan di puncak gunung Jayawijaya tersebut. Ratusan bahkan mungkin ribuan Molden dikumpulkan di tempat itu untuk saling membunuh. Hanya satu orang yang bisa melakukan hal semacam itu, dan dia adalah Tranqiel.

"Perkiraanmu benar, Di. Kayak gini sih pasti kerjaan Tranqiel," timpal Dipa mengawasi pertempuran berdarah itu.

"Pantas aja kota-kota yang kita lewatin tadi masih pada utuh. Tranqiel bawa semua makhluk itu ke sini buat saling bunuh." Kara turut berkomentar.

"Susah mendeteksi keberadaannya dengan pekatnya energi Molden dan Corux," ucap Rendra yang mencoba memindai lokasi Tranqiel.

"Nggak perlu, Ren. Tuh anaknya nangkring di sono," kata Nilam sembari menunjuk sesosok Corux raksasa yang berdiri diam mengawasi pertempuran kawanannya sendiri.

Laudi turut memicingkan matanya ke arah yang ditunjuk oleh Nilam. Tepat di tengah-tengah kekacauan tersebut, sesosok Corux dewasa berdiri diam tak bergerak. Di bahu Corux tersebut duduk seorang pria berkulit gelap dengan kedua mata berwarna hitam legam. Ia duduk dengan satu tangan terangkat di depan dadanya dan sebuah portal yang juga berwarna hitam berpusar kuat mengendalikan seluruh kawanan Molden.

Saat Kaladrius berkoak sembari terbang berputar di atas puncak gunung, pria tersebut akhirnya mendongak. Sekonyong-konyong sebuah portal hitam yang sama muncul di atas kepala Laudi dan semua rekan-rekannya yang lain. Suara pria lantas terdengar di kepala Laudi.

"Tunggu sebentar lagi," kata suara tersebut menggema dalam benak gadis itu.

"Tranqiel?" gumam Laudi bertanya.

"Jo, Qhael. Kalian udah lengkap ternyata," jawab pria itu masih dalam bentuk telepati.

"Emang paling dahsyat Tranqiel ini," celetuk Leo sembari berdecak kagum.

"Namanya sekarang Jo, katanya," tambah Kara yang juga mendengar suara yang sama.

"Jadi gimana? Mau mendarat dulu?" tanya Leo lagi.

"Di lembah aja. Yang dekat sungai. Di sana nggak banyak Molden," perintah Laudi kemudian.

Leo pun menurut. Ia lantas memerintahkan Kaladrius untuk mendarat di tempat landai di dekat sungai yang mengalir membelah pegunungan. Hawa dingin berangsur menghangat. Laudi dan rekan-rekannya memutuskan menunggu Jo untuk menyelesaikan urusannya dengan para Molden di puncak gunung sana.

"Syukurlah dia selamat," ungkap Kara lega.

Laudi berjongkok di pinggir sungai untuk membasuh wajahnya. Air sungai itu terasa segar dan membuatnya kembali bertenaga.

"Nathan gimana?" tanya Laudi kemudian.

"Sama Nilam dan Rendra. Masih sedih. Setelah kita semua lengkap, tinggal cari titik buat nutup gerbang dimensi. Cuma aku kepikiran Nathan. Anak itu masih muda banget, pasti bakal butuh wali untuk bisa melanjutkan hidupnya yang sekarang," jawab Kara tampak penuh simpati.

Laudi tercenung. Ia sendiri juga kehilangan keluarganya. Di luar sana, orang-orang yang selamat pasti mengalami penderitaan yang sama. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan kehidupan manusia setelah kekacauan ini.

"Sekarang fokus dulu sama misi kita. Hal-hal lain kita pikirin sesudah itu. Manusia nggak selemah itu, kok. Percaya aja, pasti kita semua nanti bakal bangkit. Peradaban ini bisa dilanjutkan dan bakalan semakin kuat setelah kejadian ini," timpal Leo seolah bisa membaca pikiran Laudi.

Gadis itu pun menghela napas panjang, berharap segalanya bisa segera membaik setelah portal dimensi ditutup. Kerusakan yang terjadi cukup besar dan seluruh dunia harus memulai segalanya dari awal lagi. Meski begitu, entah kenapa ada keyakinan di hati Laudi bahwa harapan akan selalu ada.

Akhirnya, setelah menunggu selama beberapa waktu, orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Jo muncul diiringi suara gemuruh yang menggetarkan tanah. Bebatuan kecil serta debu-debu halus menggelinding dari tebing pegunungan. Tak lama setelahnya, sesosok Corux raksasa terlihat berjalan turun dari atas puncak gunung, bersama Jo yang duduk bersila di bahunya.

Laudi dan yang lainnya segera bersikap waspada, khawatir jika Corux itu tiba-tiba menyerang mereka. Namun Jo rupanya sudah menguasai pikiran sang Corux. Pria itu melompat turun begitu sampai di lembah. Ia lantas berdiri menghadap Corux tunggangannya sembari mengangkat portalnya dan bicara dalam bahasa Drakonian yang samar-samar masih diingat oleh Laudi.

"☌⍜ ⏃⋏⎅ ☍⟟⌰⌰ ⊬⍜⎍⍀⌇⟒⌰⎎," desis Jo dengan suara dengung yang aneh.

Sepemahaman Laudi, kata-kata Jo tersebut memiliki arti yang kurang lebih seperti ini 'Pergi dan hancurkan dirimu'. Corux tersebut lantas berbalik pergi meninggalkan suara gemuruh yang menggetarkan tanah. Tak lama setelah itu, Jo kembali pada wujud normalnya dengan mata yang tidak lagi berwarna hitam legam tanpa bagian putih. Pria itu tampak tenang dan berjalan ke arah Laudi serta rombongannya yang lain.

"Lama nggak ketemu, Komandan Qael sang Penghancur," sapa Jo tersenyum tipis.

"Laudi," gumam gadis itu mengangguk singkat.

Sosok Tranqiel kini menempati raga seorang pria yang usianya berkisar tiga puluhan akhir. Dari auranya saja, Laudi sudah bisa merasakan kemampuan pembisik milik pria itu. Bahkan setelah sekian lama tidak melihat Tranqiel menggunakan kekuatannya, Laudi tetap merasa takjub. Ia benar-benar beruntung karena orang seperti itu menjadi sekutunya alih-alih musuh. Tidak ada yang bisa menghentikan kemampuan Tranqiel dan oleh karena itu Laudi menghormatinya. 

The Fifth DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang