SEBUAH PESAN

59 8 5
                                    

Celine kini tersadar dari pingsannya setelah Dina dan Livia mengoleskan minyak kayu putih di kening. Mata gadis itu menggeriap perlahan mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk.

Eenghhh ...

"Kamu dah sadar, Lin?" tanya Dina membantu Celine duduk di sandaran sofa ruang kerja Devi.

Devi memberikan segelas air puith sedangkan Livia duduk di sebelah Celine.

"Apa yang membuatmu pingsan, Lin?" Devi pun turut penasaran.

"A--da da--rah," jawab Celine rergagap.

"Darah?" tanya Dina dan Livia bersamaan.

"I--ya," lanjutnya.

Devi memicing curiga menatap Celine dan bertanya, "Maksudnya?"

Dina dan Livia yang tahu tentang pobhia Celine sejak lama langsung paham dan kini saling pandang meminta persetujuan satu sama lain untuk menjelaskan.

"Gini, Mbak Dev, satu hal yang belum mbak ketahui tentang Celine  bahwa dia pobhia sama darah," ungkap Dina mewakili dua sahabatnya.

"Kenapa baru bilang sekarang, Din?" gemas Devi.

"Kamu juga, Liv, kenapa nggak bilang kalau surat itu ada noda darahnya," marah Devi.

"Kalau soal itu saya nggak tahu, Mbak. Tadi di lembar depan ada semacam ancaman gitu," bela Livia takut-takut saat membaca pesan yang tertulis di kertas itu.

"Mana kertasnya? Tolong ambilkan, Din?" pinta Devi kemudian Dina mengangsurkan surat tersebut.

Devi menerimanya dan membaca dengan seksama.

Jangan khawatirkan adikmu. Dia baik-baik saja. Semua ini terjadi karena takdir yang harus dijalaninya tertulis demikian. Percayalah bahwa hal baik akan mengalahkan kebatilan. Aku berjanji akan menjaganya tetap utuh sampai dia kembali bersamamu. Tapi tidak untuk saat ini, sebab dia diharuskan menyelesaikan satu masalah di negeri Daha. Jika kau penasaran dan hendak menemuiku, carilah aku di Museum Trowulan besok pagi jam 9.00 WIB. Tapi kamu harus ke sana sendirian dan jangan bilang pada siapapun.

Dari ANONIM

Devi melipat kembali lembaran kertas itu memasukkannya lagi pada tabung kecil tadi.

"Gimana, Mbak? Orang itu bilang apa sama mbak?" tanya Dina makin penasaran begitu pun dengan Celine dan Livia  menatap lurus Devi.

"Bener, kan ada darahnya?" tanya Celine.

"Surat ini ada cipratan darah penulisnya," beber Devi.

"Tuh, kan bener. Pantesan Celine langsung pingsan," ujar Livia.

"Ya udah kalian santai-santai aja. Jangan memforsir tenaga. Berhubung hari ini ada kejadian yang kurang menyenangkan aku akan menutup butik lebih awal," jelas Devi.

"Tapi kenapa harus seperti itu, Mbak?" tanya Livia.

Celine dan Dina turut mengangguk setuju.

"Kenapa, Liv? Kamu nggak setuju?" tanya Devi.

"Bukan begitu, Mbak. Soalnya manager dari model terkenal itu katanya sore nanti mau datang kemari," jelas Livia.

Devi mengerutkan kening tanda tidak mengerti.

"Oh ya, bener kamu, Liv. Aku hampir lupa," imbuh Celine yang mengingat ucapan manager yang pernah bilang seperti itu.

"Siapa sih yang kalian maksud?" bingung Devi.

"Giniloh, Mbak, sebenarnya sewaktu mbak Dev pulang lebih awal, ada seorang customer baru di butik kita pernah mampir ke sini beberapa kali. Dan dia bilang, salah satu model di agency-nya suka dengan desain baju yang mbak buat," jelas Dina.

PURNAMA   DI  NEGERI  DAHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang