CEMAS

56 11 0
                                    

Masa Kini di Kota Surabaya, 28 Nopember 2022

Di butik DEVIANDRA, seorang wanita yang merupakan owner di sana sedang melamun. Sesekali ia membolak balikkan buku sketsa di meja kerjanya. Jika merasa lelah, ia berdiri dari tempat duduknya berjalan menuju jendela kaca kemudian menyenderkan badan di sana sambil mengedarkan pandangan keluar menyaksikan hiruk pikuk kendaraan yang lewat.

Saking asyiknya menyelia kondisi di luar sana, ia sama sekali tidak terdistraksi oleh suara ketukan pintu yang terdengar nyaring. Si pengetuk pintu yang lelah karena tidak ada tanggapan dari si owner butik, ia pun memberanikan diri membuka pintu lalu masuk ke ruangan itu. Seperti dugaannya bahwa sang atasan masih bersikap seperti kemarin yang hanya diam melamun tanpa melakukan apapun di ruang kerjanya. Sejujurnya si bawahan turut sedih melihat kondisi sang atasan yang tidak seperti biasanya. Namun apalah daya, ia pun tak memiliki keberanian untuk sekadar bertanya pada wanita dewasa yang masih saja tampak diam menyendiri tak acuh sedikit pun pada sekitarnya.

"Mbak Dev!" sapa perempuan yang sudah jengah melihat wanita dewasa itu masih sibuk dengan dunianya sendiri.

Dengan malas wanita itu menoleh pada seorang bawahannya yang kini berdiri di belakangnya. Perempuan muda itu turut prihatin melihat kondisi sang atasan yang terlihat berwajah sendu sejak kemarin.

"Ada apa, Liv?"

"Ini udah saatnya makan siang, kita makan sama-sama yuk," ajak Livia.

"Aku udah bilang, kan Liv. Aku tuh nggak selera makan. Kamu nggak ngerti ya?" ketus Devi.

"Maaf, Mbak Dev, saya nggak ada maksud---"

"Udahlah kamu makan siang sama yang lain aja," tolak Devi.

"Tapi saya nggak mau mbak Dev sakit," cemas Livia.

"Udah tenang aja, aku cuma nggak selera makan bukan sekarat hampir mati."

"Tapi,---

"Udah stop, silakan keluar!" tegas Devi.

Livia mendesah kecewa karena tidak berhasil membujuk Devi. Dengan langkah malas, ia pun keluar dari ruangan itu dan menutup pintunya perlahan. Di dekat sisi pintu Dina sudah menunggu Livia untuk menanyakan kondisi atasan mereka. Belum sempat bertanya, Dina sudah tahu jawabannya saat menatap ekspresi menyerah dari air muka Livia.

"Kita makan siang sama Celine aja, Din," ajak Livia yang diangguki oleh Dina.

Mereka berjalan menuju pintu keluar butik.

"Gimana, Liv?" tanya Celine ketika melihat dua sahabatnya tampak diam dan murung.

"Kamu jagain butik ya! Biar aku sama Dina beli makanan di angkringan sebelah sekalian beliin sesuatu buat mbak Dev."

Celine mengangguk saja. Mereka tahu betul keadaan suasana hati atasan mereka sedang tidak baik-baik saja. Terkadang mereka bingung dengan alasan apa yang melatarbelakangi sikap Devi. Sebenarnya mereka memang tidak tahu apa-apa sebab Devi tak bicara  apapun pada mereka.

Di ruang kerja, Devi tampak murung dan bingung.

"Sebenarnya kamu kemana sih, Ndra? Ponsel nggak aktif, Gita juga sama. Kalau kalian marah sama aku ngomong dong jangan ngilang kayak gini," gerutunya menatap foto mereka di bingkai yang terpampang di meja kerja.

Tanpa ia ketahui ada sepasang netra menyorot ke arahnya, sudut bibirnya tersungging senyum miring. Orang berjubah hitam misterius itu datang lagi dari kejauhan berdiri pada sebuah atap gedung pencakar langit. Ia terus memperhatikan gerak gerik Devi melalui teropong.

Lima belas menit kemudian, Dina dan Livia kembali dari angkringan membawa dua bungkus nasi bantingan. Nasi itu sengaja dibeli untuk Devi dan yang satunya lagi titipan Celine.

PURNAMA   DI  NEGERI  DAHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang