Aku melanjutkan aktivitasku seperti biasa di sekolah. Kabar tentang Aditya yang masih koma terus berputar di pikiranku. Semalam, Catra mengirim pesan singkat tentang pesta ulang tahun meriah yang diadakan untuk anak itu.
Saat mengikat tali sepatu hitamku, aku menatap bayanganku di cermin sejenak. Wajahku terlihat lelah tapi tetap terjaga rapi.
"Ngaca mulu bang. Udah ganteng kok. Temen-temen gue aja bilang abang itu hitam manis kayak gula," suara Rasen tiba-tiba menginterupsi.
"Aku benci gula," jawabku datar tanpa berpaling.
"Iya gue tahu kok. Makanya hidup abang pahit kayak kopi kesukaan ayah," balasnya santai.
"Lu pake bahasa gaul mulu. Kagak sopan tahu nggak," tegurku.
"Bodo amat. Lagian kemarin abang cepuin gue punya pacar sih," jawabnya dengan nada cuek.
"Masih bocah lu. Jangan pacaran mulu kerjaannya! Fokus belajar aja dulu. Urusan cinta bisa belakangan!" aku menegurnya lebih keras kali ini.
"Nanti malah kayak abang, jomblo mulu kagak laku-laku sampai sekarang. Bisa jadi gue malah melangkahi abang di masa depan!" ledeknya sambil tertawa.
"RASEN!" seruku dengan nada kesal, tapi anak itu malah kabur.
Aku segera mengejarnya, tapi langkahku terhenti begitu melihat Rianti berdiri di depan pintu dengan tatapan tajamnya. Seperti biasa, tatapan itu cukup untuk menghentikan niatku. Kami semua akhirnya duduk bersama untuk sarapan.
Setelah selesai, aku berangkat ke sekolah sendirian. Rasen, seperti biasa, memilih minta jemput pacarnya. Anak itu benar-benar hidup seenaknya. Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil melangkah keluar rumah.
Di sekolah elit tempatku menempuh ilmu, aku menemukan kenyataan pahit: penderitaan Aditya masih berlanjut. Aku telah mencatat beberapa nama yang sering membully-nya. Mereka adalah anak-anak donatur sekolah ini. Namun, aku tidak peduli. Lagipula, sekolah ini milik Catra, pamanku.
Tidak ada yang tahu bahwa aku memiliki hubungan darah dengan Catra, dan hal itu justru memudahkanku untuk membalas perlakuan mereka. Nama besar Catra hanya akan mempersulit rencanaku.
Aku masuk ke kelas 12 IPS 1, tempatku belajar. Kehadiranku tidak terlalu diperhatikan oleh teman-teman sekelas karena aku dikenal sulit didekati. Aku lebih suka menyendiri saat berada di sekolah.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku bangkit dari bangku dan menuju kantin. Langkahku mengundang bisikan dari beberapa teman sekelas. Mungkin mereka menganggap ini hal yang langka. Tapi aku tak peduli. Aku memiliki tujuan.
Di kantin, aku melihat targetku sedang bercengkerama dengan teman-temannya. Momen ini adalah kesempatan yang tepat. Mereka adalah sekelompok orang yang telah merundung Aditya selama ini.
Tanpa basa-basi, aku membenturkan kepala salah satu dari mereka ke meja kantin. Suasana langsung ricuh, menarik perhatian semua orang. Teman-temannya segera bereaksi.
“Apa masalahmu, anak baru?!” salah satu dari mereka membentakku.
“Aku iseng,” jawabku santai.
“Kau menyerang temanku! Kau cari masalah?!”
“Hanya karena itu saja? Ayolah, adik kelasku yang manis. Kalian bahkan membuat mental seorang murid kelas satu hancur. Aku baru membenturkan kepala, belum menghajar kalian semua,” balasku dingin.
“Kau menantang kami?!”
“Ayo. Mau satu lawan satu atau keroyokan? Aku tunggu,” remehku.
“Hajar dia!”

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
Fiksi UmumOthello Pranaja Zayan, atau yang lebih akrab dipanggil Ello, adalah seorang pemuda berwajah tegas dengan sifat dingin, minim ekspresi, dan benci terhadap pengkhianatan. Meskipun tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, sifat dingin Ello tak pernah b...