MEMORIEL-2

56 10 4
                                    

"Huh... Huh...."

Napas Riel putus-putus. Dia membungkuk dan memegang kedua lutut. Kedua bahunya bergerak naik turun dan tenggorokannya mulai tercekat. Setelah itu dia berdiri tegak dan mengedarkan pandang. Sekarang, dia melihat jalanan yang tampak asing. Lagi.

"Ah! Gue harus ke mana ini?"

Kedua tangan Riel terkepal kemudian memilih menyeberangi jalan. Sungguh, dia tidak tahu akan ke mana. Dia terpikir untuk ke bar, minum sampai melupakan ucapan Meya. Namun, dia khawatir tidak bisa kembali ke hotel.

Saat itulah, Riel merasa salah jalan. Tepat di hadapannya, cukup banyak orang yang berjalan dan mereka tampak riang. Di salah satu sisi ada tembok kokoh dengan atap bangunan lama yang terlihat. Kemudian, ada deretan pepohonan dengan daun yang belum sepenuhnya tumbuh karena terserang musim dingin.

Riel mengedarkan pandang, mencoba mencari tahu jalan yang dilewati. "Ah, lupa tulisannya beda!" geramnya kemudian melanjutkan langkah, memilih melewati jalanan di depannya. "Entah, ujungnya gue ke mana."

Semakin memasuki jalan itu, Riel merasa atmosfirnya berbeda. Suasananya damai dan hangat. Berbeda sekali dengan kondisinya sekarang.

"Semua gara-gara lo, Me!" geram Riel. "Harusnya gue marah, kenapa, sih, gue nggak marah?" Riel memukul kepala dengan kepalan tangan.

Tring....

Saat berjalan sambil sesekali memukul kepala, Riel merasa menginjak sesuatu. Dia mengangkat kaki, melihat sebuah gantungan kunci berbahan tembaga dengan bentuk kepala kucing. Riel hendak menendang gantungan kunci itu, tapi ada tulisan kecil yang menarik perhatiannya.

Jangan patah semangat!

"Punya orang Indonesia?" gumam Riel sambil memungut gantungan kunci itu. Dia mengedarkan pandang, tapi tidak melihat wajah-wajah khas orang Indonesia. Kemudian dia menatap gantungan kunci itu. "Jangan patah semangat," bacanya dengan senyum sinis.

Entah apa yang terjadi hari ini. Riel tiba-tiba diputuskan, kemudian menemukan gantungan kunci yang seolah memberinya semangat. Riel tersenyum samar, kemudian memasukkan gantungan kunci itu ke saku celana.

"Shit! Gue di mana, sih?" Riel mengedarkan pandang dan barulah mengeluarkan ponsel.

Kembali, Riel membuka map dan mencari petunjuk agar bisa kembali ke hotel.

***

Incheon, 15 Maret 2019

Kreek.... Dap... Dap... Dap....

Wanita yang memakai jaket hitam dan kupluk berwarna senada berlari tanpa memedulikan sekitar. Di tangan kanannya, memegang gagang koper dan menyeret benda itu. Di tangan kiri, membawa tas slempang dengan tali yang mengenai lantai. Namun, dia tidak peduli dengan itu.

Begitu sampai di luar, Memo menghentikan langkah. Dia memejamkan mata sambil mengendus, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Udara Korea, nih!" gumamnya dengan senyuman. Setelah itu dia membuka mata. "Gong Yoo, Oppa!"

Memo terkekeh geli. "Ye Jin, Eonni! Adikmu datang!" teriaknya. "Son Memo datang!" teriaknya sambil melompat kegirangan.

Puk.. Puk....

Tiba-tiba Memo merasakan tepukan di pundak. Dia berbalik masih dengan senyuman. "Oppa!" ujarnya tanpa sadar. Saat melihat lelaki bersedekap dengan sorot mata tajam, senyumnya semakin lebar. "Sayangku!" Kemudian dia meloncat memeluk pacarnya.

"Daritadi dipanggilin nggak nyaut!"

Memo tidak memedulikan protes itu. Dia memeluk Saka, pacarnya yang mendapat beasiswa di Korea. Sudah setahun dia tidak bertemu pacarnya itu. Tentu saja rindu itu menggebu. Hingga sekarang, pacarnya berada di hadapannya. "Kangen nggak?" tanyanya sambil mengurai pelukan. "Akhirnya bisa samperin kamu."

MemorielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang