MEMORIEL-3

38 6 1
                                    

Inget, kalau kesasar cari tempat yang sering dikunjungi wisatawan. Kalau nggak Myeongdong, ya, Itaewon. Minta bantuan orang sana, cari orang Indonesia di sana.

Kalimat Emita terngiang di kepala Memo. Sahabatnya itu mengingatkannya jika terjadi apa-apa di Korea, maka carilah tempat yang ramai. Memo kemarin berkilah, jika akan aman bersama Saka. Ternyata baru satu jam, dia sudah dikecewakan oleh Saka.

Berada di negara asing, tentu saja Memo takut. Untungnya, Emita yang serba prepare mengirimkan tempat-tempat yang aman dikunjungi sendiri. Bahkan, daftar hotel berbintang dengan harga cukup murah.

Sekarang, Memo berdiri di sebuah hotel dengan pantung besar dengan posisi agak membungkuk. Patung itu seolah menyambutnya, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada pengunjung yang telah mengunjungi.

Tadi, usai keluar dari apartemen Saka, Memo menuju minimarket terdekat. Tentu saja dia tidak banyak berbicara karena keterbatasan bahasa. Dia hanya membeli minuman dingin, kemudian mencari bantuan menuju ke daerah Myeongdong. Hingga sampailah dia di kawasan dekat Myeongdong. Ternyata, tidak cukup jauh dari apartemen Saka.

"Semua gara-gara lo, Saka!" geram Memo sambil menggeret koper menuju lobi.

Beberapa saat kemudian, Memo sudah mendapat kamar. Patah hati membuatnya gegabah. Dia memesan kamar superior untuk semalam.

Sebelum balik mending nginep deket hotel. Gue tahu lo pelor.

Saran Emita kemarin juga Memo lakukan. Dia memesan hotel murah tidak jauh dari bandara. Dia hanya tiga hari di Korea, di hari ketiga dia harus pulang. Yah, bisa dibilang hanya dua hari dia bisa menikmati keindahan Negeri Gingseng itu.

"Hiks... Hiks...."

Begitu sampai kamar, Memo duduk di ranjang dan menangis sesenggukan. Sepanjang perjalanan sebenenarnya dia juga menangis. Namun, tidak bisa mengeluarkan emosinya.

"Haaaa. Lo jahat banget!" Memo tanpa sadar berteriak. Dia mengambil tisu dan mengusapkan ke sudut mata, kemudian membuangnya begitu saja.

Memo masih tidak habis pikir dengan Saka. Mengapa berpikiran picik seperti itu? Melepaskan Memo agar bahagia? Sungguh itu pembelaan agar tidak terkesan salah. Padahal, yang namanya mencintai pasti akan berusaha dipertahankan.

"Jangan-jangan dia kecantol cewek-cewek sini?" Memo mulai berpikiran buruk. "Udah pasti. Mana cewek sini cakep. Haaaa...." Tangisnya kian kencang.

Drttt.... Tiba-tiba ponsel di saku celana Memo bergetar.

Wanita itu merogoh saku sambil mengusap air mata dengan tisu. Saat melihat panggilan Whatsapp dari Emita, dia segera mengangkat. "Haaaa. Gue putus."

"Ha? Maksudnya?"

"Gue putus! Haaaa...." Tangis Memo semakin kencang. "Gila nggak? Hiks. Gue baru sampai. Hiks. Dia.. dia...."

"Tenang dulu, tenang."

"Haaa...." Bukannya tenang, Memo justru histeris. Dia mengeluarkan semua perasaan yang mengganjal. Sungguh, rindunya kepada Saka saja belum tuntas. Namun, lelaki itu menorehkan luka. Memo tidak pernah membayangkan Saka akan melakukan itu.

"Terus, lo sekarang di mana? Tahu, kan lo harus ke mana?"

Memo mengangguk. "Gue udah di hotel."

"Bagus!" jawab Emita puas. "Kok bisa, sih, putus?"

"Haaaa...."

"Aduh! Jangan nangis."

Sayangnya, Memo tidak bisa berhenti menangis begitu saja. Setiap mengingat Saka, air matanya seketika turun. Demi Tuhan, bahkan dia belum sempat duduk di apartemen Saka. Namun, semuanya terjadi begitu saja.

MemorielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang