MEMORIEL-17

20 8 2
                                    

Sebelum masuk teater, para tamu undangan dicek kembali. Mereka harus menyerahkan kartu undangan baru boleh masuk. Karena itu, di bagian depan pintu teater, berjajar orang-orang yang mengantre.

"Kita dapet di area belakang."

"Tahu. Kan, udah dikasih undangan," jawab Memo sambil mengangkat tasnya. Dia mendapat undangan dari Josan. Katanya, setiap karyawan hanya mendapat dua tiket. Dia yakin, pasti tiket yang diberikan sebenarnya jatah Riel. Sayangnya, dia tidak bertanya langsung ke orangnya.

Di belakang Memo, Riel mengeluarkan undangan dari saku lalu tersenyum menatap undangan itu. "Akhirnya...."

"Bentar. Masa undangan gue ketinggalan?"

Riel sontak mengangkat wajah dan melihat Memo yang menunduk. "Kalau ketinggalan nggak mungkin masuk ke sini, Mo."

"Terus, mana dong?" Memo membungkuk, melihat isi tasnya. Sayangnya, dia tidak melihat ada benda berbentuk kamera yang harus dibawa saat acara. "Masa ketinggalan di luar?" gumamnya setelah tidak berhasil mencari.

"Mo, jangan bercanda."

"Serius!" jawab Memo sambil menatap Riel. "Tadi di depan dicek, gue inget kok. Sambil dicek gue gandeng Sharon."

"Iya, habis dicek undangannya dibalikin."

Memo menatap Riel dengan wajah pias. "Masa nggak gue ambil?" gumamnya. "Bentar! Gue cari dulu!" Lantas dia berjalan keluar.

Riel mulai bingung. Di satu sisi, dia ingin melihat filmnya diputar, meski dia sudah melihat berkali-kali. Namun, dia juga tidak setega itu membiarkan Memo kesusahan. "Mo! Tunggu!" Lantas Riel mengejar dan menggenggam tangan Memo. "Pasti ketemu kok."

Memo masih tetap panik. Dia mengedarkan pandang ke arah bawah, takut tiket itu jatuh. "Duh! Pasti jatuh!" Lantas dia membungkuk, berharap benda itu ketemu.

"Ada yang bisa dibantu?" Petugas di bagian depan mendekati Memo.

"Mbak, ada tiket yang ketinggalan?" tanya Riel.

Sontak Memo berdiri tegak, menatap petugas yang tadi bagian mengecek tiket. "Mbak inget wajah saya, kan?"

"Waduh, Kak, tamu undangan banyak. Jelas saya lupa."

"Ada tiket yang ketinggalan nggak?" ulang Riel.

"Tidak ada." Petugas itu berbalik, melihat meja kecil di bagian depan telah diangkat oleh petugas lain.

"Aduh!" Memo memegang kepala. "Punya saya ilang, Mbak!"

"Wah. Kalau itu saya nggak bisa bantu, Mbak. Maaf." Petugas itu membungkuk kemudian menjauh.

Riel menatap Memo yang frustrasi. "Terus gimana, Mo? Gue juga nggak bisa bantu banyak," ujarnya. "Kok bisa ilang, sih?"

Memo menatap Riel dengan mata berkaca-kaca. "Gue emang ceroboh," gumamnya. "Pantes banyak orang yang marah-marah karena kecerobohan gue."

"Para tamu undangan yang masih berada di luar, dimohon untuk segera masuk ke teater, pemutaran film...."

"... masuk!" Memo berbucap sebelum suara informasi berakhir. "Lo harus masuk, itu film kerja keras lo."

"Terus lo?" tanya Riel sambil memperhatikan Memo. Dia tahu, wanita itu pasti kecewa.

"Nunggu di luar aja."

"Mo, yang bener aja?"

Memo menepuk pundak Riel. "Sana masuk," pintanya. "Lo harus dapet apresiasi dari orang-orang. Sana!"

Riel menatap tiket di tangannya. "Sorry, Mo," ujarnya kemudian melangkah menjauh. Dia sangat ingin menonton filmnya dan melihat reaksi pengunjung.

MemorielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang