S A T U

0 0 0
                                    

Aku mulai berpikir jernih setelah mengalami hal-hal yang sebenarnya bisa dikatakan bodoh dan naif. Masa-masa muda, liar dan fantastis adalah kaitan-kaitan masa lalu yang begitu mengikat dan mendebarkan. Aku terlanjur jatuh ke dalam berbagai perasaan yang sakit dan menyiksa. Dulu kupikir ini adalah bagian dari masa mudaku. Tapi saat semuanya berjalan melewati batas, dan tanpa berpikir panjang, aku dengan darah muda yang masih menggebu-gebu, rela kehilangan beberapa hal penting dalam hidupku. Salah satunya adalah tindakan nekat yang kami lakukan 9 tahun yang lalu. Mencuri beberapa barang berharga dari gudang raksasa pabrik elektronik untuk dijual dan bersenang-senang.

Kami melewati malam-malam dengan alkohol, pesta dan balap liar. Darah mudaku begitu mendidih saat aku harus kehilangan semuanya. Termasuk diriku sendiri. Bagian dalam diriku yang paling berharga. Tempat akal sehat dan aku hanya mampu berpikir pendek. Sean mencintaiku. Dia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah bersama sejak lama. Dia satu-satunya yang ku punya di hidupku. Hanya dia. Hanya itu yang ada dalam benakku. Semua berjalan dengan mulus hingga  usiaku dua puluh dua tahun. Sean bekerja keras untuk membiayai kuliahku. Dia melakukan semua pekerjaan. Montir dadakan, tukang bangunan, pegawai kafe, barista, KFC, dan Starbucks. Dia melakukan semuanya demi aku.

Kami tinggal bersama. Makan seadanya, menabung demi kebutuhan hidup dan masa depan, juga usaha menjual tas rajut yang kubuat sendiri. Masa-masa itu adalah hal yang paling menyenangkan sekaligus memilukan. Kadang ia marah jika aku pulang terlambat. Tapi kadang dia sangat gembira dan bersemangat. Aku lebih menyukai itu ketimbang saat dia sedang marah.

Aku merebahkan diri di sofa. Rasanya begitu nyaman setelah melakukan perjalanan yang lumayan panjang dan lama. Jarak kota Bjark ke Machile sebenarnya tergolong dekat, namun perjalanan dari bandara menuju apartemen Harry membutuhkan waktu sekitar enam jam. Aku tidak bisa tidur di mobil dan terus mendengar suara musik yang tidak kusuka sama sekali selama dalam perjalanan. Aku ingin melupakan semuanya. Hanya itu. Aku rela melakukan banyak hal, pergi ke berbagai psikiater dan liburan ke pantai.

Tapi semuanya sia-sia. Mimpi-mimpi buruk dan bayangan Sean terus menghantuiku. Aku ingin melupakannya. Cukup setelah aku tidak lagi bersamanya. Aku membencinya sama seperti malam itu. Malam yang selalu muncul dalam mimpi sialan. Beberapa psikiater menyarankan ku untuk melakukan yoga. Sudah kulakukan tapi aku tidak bisa fokus. Ada sesuatu yang selalu mengganjal dalam benakku. Wajah Sean, lekuk tubuhnya, setiap inci dari wajahnya, selalu mengganggu konsentrasiku. Masa lalu dan kejadian-kejadian tahun-tahun lalu.

                              ****

Aku bangun lebih awal dan melirik ponsel. Masih terlalu pagi untuk bangun. Setelah memejamkan mata  beberapa menit, aku memutuskan bangkit dari kasur. Mencuci muka dan duduk di sofa. Sunyi, hanya detak jam dinding yang beradu dan berlawanan. Tiba-tiba bayangan itu muncul. Dengan senyuman andalannya. Hanya berdiri. Menatapku lalu hilang. Beberapa saat kemudian datang lagi, sekarang ada di dekat gorden. Mengintip keluar lalu melambai ke arahku, tersenyum. 

"Kumohon pergilah. Jangan datang seperti hantu. Kau menakutiku"

Dia malah murung, lalu menghilang. Beberapa menit berlalu, dia tidak datang lagi. Aku tergugu. Air mataku tumpah. Ini terjadi ratusan kali. Setiap kali aku sendiri. Bayangannya selalu datang, membuat perasaan rinduku hampir membuncah. Tapi tidak  terlampiaskan. Aku tidak bisa mendekapnya. Atau memegang tangannya. Dia hanyalah bayangan. Tidak dapat kusentuh dan kurasakan.

Ponsel yang berdering membuatku mengalihkan perhatian pada benda berbentuk persegi panjang yang terletak di sofa. Nama Harry terpampang jelas di layar.

"Halo?"

"Apa kau menangis?"

Harry selalu tahu saat aku sedang menangis. Sejujurnya aku tidak ingin dia mengasihani ku.

"Tidak. Cuacanya lumayan dingin. Aku terkena flu. Hidungku memerah dan berair" lancarku berbohong.

"Tidak. Kau sedang menangis. Apa kau melihatnya lagi?"

Aku menceritakan semuanya pada Harry. Bagaimana perasaan dan ketidakwarasan pikiranku selama ini.

"Ya. Aku selalu melihatnya setiap saat, setiap waktu, setiap detik. Dia ada dimana-mana. Disetiap aku melakukan apa saja"

"Aku akan datang"

"Tidak perlu. Kau sedang bekerja. Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku sudah terbiasa"

"Tapi itu membuatmu sedih. Cobalah untuk melawan pikiranmu sesekali. Bayangkan sesuatu yang asing. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan masa lalu. Bayangkan masa depan saja. Bagaimana?"

"Ya. Akan kucoba. Terimakasih sarannya. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Kenapa kau selalu tahu kalau aku sedang menangis?"

"Karena radarmu menyala dari sana. Membuatku terjaga dan bersiap menelepon. Kita punya radar yang begitu kuat. Kita punya ikatan yang kuat"

"Ikatan sahabat kita begitu kuat, ya. Lebih kuat daripada apapun"

Kudengar Harry tertawa. "Tentu saja"

"Istirahatlah. Maaf karena radarku membangunkan mu. Selamat pagi"

"Selamat pagi.  Kau juga istirahatlah. Nanti kau akan bertemu dengannya. Maaf tidak bisa menemanimu"

"Baiklah."

Panggilan terputus. Aku mengusap wajah dengan gusar. Setiap aku Harry menelepon, rasanya lebih ringan dan lega.

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang