L I M A

0 0 0
                                    

Aku meringis saat ngilu di kakiku berdenyut hebat. Sekilas,  Jonas melirikku, lalu membawa kotak berwarna putih. Berjongkok di kakiku." Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi kuharap, ini bisa sedikit membantu." Mengoleskan cairan berwarna hijau tua berbentuk lendir dengan bau busuk yang menyengat. Aku menahan mulut agar tidak mengeluarkan suara. Baunya membuatku ingin muntah.

Beberapa saat kemudian, cairannya beraksi. Membakar kedua telapak kakiku. Aku memekik menahan sakit. Mencengkeram bibir sofa sekuat tenaga. "Apa itu?"

"Obat herbal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan laut. Memang sedikit sakit, tapi sebentar lagi rasa sakitnya akan menghilang. Jika kau lapar, akan kuambilkan makanan" tawar Jonas.  Lalu bangkit dan pergi ke arah dapur.

"Makanlah" Jonas menyodorkan sepiring sanwicht hangat. Dengan lelehan telur setengah matang.

"Terimakasih"

"Bajumu berdarah"

"Ini milik Ed. Aku akan melepaskannya terlebih dahulu." Aku melepaskan jaket yang sedari tadi membungkus tubuhku. Memperlihatkan kaus berbahan katun dengan warna kuning. Penuh darah. Mata Jonas terbelalak.

"Ap..apa itu...,? Tanyanya dengan raut wajah yang  menegang. Jonas bangkit berdiri. Pergi ke salah satu kamar dan kudengar dia berbisik, tapi masih bisa dijangkau oleh telinga.

"Katakan padaku apa yang terjadi? Kenapa wanita itu terlihat mengerikan dengan darah diseluruh tubuhnya? Apa dia baru saja melakukan pembunuhan?"

"Akan kujelaskan"

Itu suara Ed.

"Baiklah. Aku tidak ingin dia menjadi masalah untuk kita. Kau tahu,Sean tampak tidak menyukainya"

"Mengapa tidak kita tanya langsung pada orangnya"  Langkah kaki mereka beradu dengan lantai. Mendekat ke arahku lalu duduk dengan wajah gusar. Sedangkan Jonas berdiri dengan kedua tangan bersidekap di dada. Sekarang mereka memandangku tanpa jeda. Membuatku sedikit gugup. Padahal aku baru mengunyah gigitan pertama pada sanwicht ku.

"Aku bahkan belum mengetahui namanya. Baiklah. Katakan padaku apa yang terjadi. Tapi perkenalkan dirimu terlebih dahulu."perintah Ed.

"Aku Olivia. Usiaku lima belas tahun. Aku tinggal bersama bibi Ann. Sejak orangtuaku meninggal lima tahun yang lalu."

"Tunggu!" Sela Ed.

"Dia belum selesai, Ed. Biarkan dia menjelaskannya dulu"

"Tunggu! Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Apa wanita yang hampir kau...upss maaf. Wanita yang tadi tergeletak tidak berdaya adalah bibimu, Ann?"

Aku mengangguk.

"Baik. Lanjutkan!"

"Dia bekerja sebagai wanita malam," Ed dan Jonas saling berpandangan beberapa detik. Lalu kembali menatapku dengan serius. " Tapi sungguh aku baru tahu ketika aku berusia 13 tahun. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Yang kutahu, dia selalu merias diri, memoles bibirnya dengan lipstik, memakai gaun sexy atau lingerie yang hampir memperlihatkan seluruh tubuhnya. Dengan sepatu hak tinggi dan barang-barang mahal lainnya. Setiap malam, mobil Mercedes Benz menjemputnya dan mereka pergi entah kemana. Dia pulang ke rumah saat aku sudah pergi ke sekolah.

Akhir-akhir ini dia menuduhku mencuri uang di brankasnya. Aku tidak mengambilnya. Aku bahkan selalu kesusahan saat berhubungan dengan uang. Dia memberiku sangat sedikit,jadi aku harus berhemat untuk biaya sekolah dan pribadiku. Dia sering marah-marah, memukulku dengan tongkat bisbol hingga badanku biru dan bengkak." Aku membuka sedikit baju yang menutupi tulang selangka ku yang menonjol. Memperlihatkan bekas luka besar maupun kecil. Lalu kakiku yang penuh dengan bekas sulutan rokok. "Dan bekas sulutan rokok"

"Dia menyulutmu dengan rokok?" Tanya Jonas tidak percaya. "Jahat sekali. Harusnya kau bunuh saja dia"

"Tadi adalah kejadian yang paling menegangkan. Dia pulang dalam keadaan mabuk, mengacaukan segalanya. Menuduhku mencuri uangnya"

"Jangan kira kami yang mencuri uang bibimu. Kami hanya selera pada berlian dan emas" sela Jonas sambil tertawa. Disusul pekikan Ed yang membuat ruangan menjadi bergema.

"Kami bergulat,dia mencekik leherku. Lalu aku menusuk punggungnya. Seumur hidup aku belum pernah melukai siapapun. Tapi tadi sungguh mengejutkan. Aku seperti orang lain. Setelah dia terluka, aku balik mencekiknya hingga pingsan. Dan aku bertemu kalian."

"Untung ada kami. Bagaimana kalau polisi menangkap mu. Kau pasti sudah mendekam di penjara malam ini"

"Ed, si malaikat bersayap payah"

"Sebut saja aku pencuri paling brengsek di dunia. Tapi aku masih punya hati nurani. Disini kau aman. Tidak ada siapapun yang bisa menemukanmu. Kami tinggal disini bertahun-tahun. Sejak kami melarikan diri dari panti asuhan neraka di Biorjra. Kita punya kesamaan. Tidak punya ayah dan ibu. Tidak punya siapapun lagi di dunia. Kita bebas melakukan apa saja. Tidak ada yang bisa melarang"

"Kalian percaya pada lelucon?" Suara yang berat dan dingin itu terdengar begitu sarkastik. Sean muncul seraya membalut tangannya dengan kain. Ed dan Jonas diam. Saling berpandangan beberapa saat.

"Dia mengatakan itu supaya kau kasihan padanya. Lalu berlindung dibalik tubuhmu. Supaya dia tetap aman dari polisi. Gadis yang cerdik tapi berpura-pura lugu di topengnya" Sean menatap mataku. Membuat darahku berdesir. Dia selalu mengatakan hal buruk tentangku. Dia pikir aku sedang membohongi mereka.

"Tidak" kataku dengan tegas. "Aku tidak berbohong. Itu sungguh terjadi. Apa gunanya aku berbohong"

"Kau gadis yang licik. Gadis polos tidak akan menusuk bibinya sendiri hingga berdarah. Apa kau tidak lihat darah yang berlumuran di sekujur tubuhmu? Apa kau tidak merasa seperti seorang pembunuh?"

"Lebih baik aku membunuhnya sebelum ia membunuhku. Aku masih ingin hidup. Aku masih menantikan saat-saat bahagia dalam hidupku. Apa aku tidak berhak atas itu?" Aku menangis sekarang. Air mataku mengucur deras. Ini satu-satunya yang dapat kulakukan karena aku tidak mampu membuktikan apapun padanya.

"Oh,ayolah, kenapa kita membahas sesuatu yang tidak penting. Harusnya kita bersenang-senang malam ini. Jaden....kemarilah. Mari kita rayakan keberhasilan berlian dan emas" teriak Jonas.

Suasana yang tadi menegang perlahan mencair setelah Jaden bergabung bersama kami. Mereka meneguk wine dan tertawa karena lelucon Ed. Sesekali aku melirik arah dapur. Tempat Sean terakhir kali muncul. Perasaanku tidak tenang. Dia tidak menginginkan kehadiranku.

                            ***
Sinar matahari mengintip dari sudut gorden apartemen. Aku membuka mata, memutuskan bergelung dalam selimut lagi. Tapi bunyi kopi yang diaduk dan aromanya yang segar dan nikmat membuat mataku jadi melek. Aku meregangkan seluruh tubuh. Berusaha bangkit dan melipat selimut dan kasur yang berantakan.

"Si nona tidur bangun juga" Harry mengaduk secangkir kopi yang mengepulkan uap panas. "Kopi untuk nona tidur"

"Terimakasih banyak, Harry"

Kami menikmati secangkir kopi sambil berbincang di dekat jendela balkon. Menikmati pemandangan kota Machile sambil menilai warna dan corak gedung yang satu dengan yang lain.

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang