D U A

0 0 0
                                    

Dokter psikiater bernama Fraklyn mempersilahkanku duduk di ruang praktek pribadinya. Ruangannya tergolong sederhana. Sebuah sofa berwarna hitam dengan ukuran sedang yang saling berhadap-hadapan. Dan satu vas bunga berukuran panjang dan besar yang terletak didekat meja kecil. Dinding putih polos dan cahaya redup serta jam pasir kaca berlapiskan kayu yang teronggok di atas meja.

"Gangguan stres pasca trauma. Mengalami kejadian traumatik  karena kehilangan orang yang dicintai. Berbagai resiko gangguan depresi seperti masalah biologis, gangguan kimia pada otak, penyakit keturunan, peristiwa kehidupan, kondisi medis atau kesehatan, gangguan hormon, obat dan kepribadian. Berdasarkan beberapa pertanyaan yang baru saja kusebutkan, kau kemungkinan menderita depresi karena peristiwa kehidupan yang berkaitan dengan seseorang bernama Sean?"

Aku mengangguk. Pernyataan ini telah kudengar belasan kali dari psikiater yang berbeda. Mereka menyebutku depresi peristiwa kehidupan. Salah satu penyebabnya karena masa lalu yang terus menghantuiku setiap saat.

"Apa yang membuatmu begitu yakin, kalau Sean adalah biang keladinya?"

"Dia terus datang seperti hantu. Berbentuk bayangan dan ekspresinya berbeda-beda. Terkadang dia sedih tapi kadang begitu bersemangat dan ceria. Dia datang disaat aku sendirian"

"Bagaimana dengan kondisi tidur? Apakah pengaruhnya bisa membuatmu merasa tersiksa? Mengganggu tidur atau mempengaruhi tekanan fisik?"

"Terkadang aku memimpikan dia. Disaat-saat tertentu. Jika aku sedang kelelahan atau pikiranku tidak menentu. Dia selalu berhubungan dengan pasir panas. Seperti oasis. Kami hanya berdiri untuk waktu yang lama. Dia tidak pernah menoleh ke arahku. Saat aku memanggil, dia tidak menoleh. Tapi, terakhir kali aku bermimpi, pertama kali dia menoleh ke arahku. Kejadiannya semalam, saat aku sedang pingsan."

"Apakah bayangan tentang Sean bisa menghilang saat kau melakukan kegiatan lain? Atau justru selalu muncul walaupun kadang kau sudah terbiasa?"

"Dia selalu ada di pikiranku. Aku ingin melupakannya, tapi tidak bisa"

"Apa kau punya penyakit sebelumnya?"

"Tidak.!"

"Baiklah. Aku tidak ingin terlalu buru-buru untuk hal ini. Kita akan melakukannya perlahan, dengan tenang dan pasti. Kita akan melakukan tes mental di pertemuan berikutnya. Tenangkan dirimu. Jika tidak ada kemajuan untuk metode pertama, kita harus melakukan tes laboratorium." Fraklyn mencatat sesuatu di buku tebal miliknya.

"Pertemuan berikutnya, hari Jumat. Pukul dua siang di tempat ini. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik. Aku pasti akan berusaha"

"Terimakasih. Mohon bantuanmu"

Fraklyn tersenyum. Kami bangkit berdiri. Fraklyn mengantarku hingga ke depan lobi. Sebuah mobil sedang dengan plat kota Machile baru saja tiba saat aku ingin keluar dari area lobi menuju jalan untuk mendapatkan taxi. Tapi saat kaki panjang yang keluar dari mobil bersama sang empunya menampakkan batang hidung, aku menganga. Tidak percaya akan bertemu lagi dengannya.

"Si gadis pingsan" pekiknya saat melihatku hendak pergi.

"Tunggu sebentar." Dia menahan tanganku." Kebetulan sekali kita bertemu. Aku tahu pasti akan bertemu lagi denganmu. Kemana kau akan pergi?"

"Bukan urusanmu."

"Lihatlah Fraklyn. Dia gadis yang kubicarakan sewaktu aku sedang menggila di bandara. Dia masih marah padaku" Lelaki itu berjalan ke arah Fraklyn. Mereka bersalaman, menggaet kedua lengan, dan melakukan tepuk jari seperti bocah berusia tujuh tahun.

Fraklyn terkekeh. "Berani-beraninya kau pada pasien spesialku" Fraklyn meninju lengannya.

"Sebagai permintaan maaf selain daripada kata-kata. Biarkan aku mengantarmu pulang"

"Aku tidak butuh bantuanmu!"

"Hey...anggap saja untuk membayar hutangku padamu."

"Tidak!" Aku terus berjalan tanpa menggubrisnya. Dia tetap mengikutiku hingga kami berdiri di pinggir jalan.

"Ayolah, aku berniat tulus. Tidak ada paksaan sama sekali. Aku hanya ingin kau pulang dalam keadaan aman. Kau baru saja di kota ini. Tidak aman jika seorang gadis asing berjalan-jalan di kota yang belum pernah ia datangi"

"Bukan urusanmu!"

"Kalau begitu, biarkan aku mengantarmu pulang"

"Pergi atau aku berteriak ada orang mesum yang berusaha menggangguku? Ancamku sambil menatap matanya tajam.

"Terserah tapi aku sungguhan"

"Pergi kau! Aku tidak butuh tumpanganmu" aku berlari untuk menghindar tapi ia terus mengejarku hingga sebuah taxi melintas dan buru-buru aku melambai dan masuk. Tidak perduli pada teriakan gilanya.

"Kita pasti bertemu lagi. Aku teman Fraklyn dan Harry" teriaknya saat mobil melaju dengan perlahan. Bergabung bersama mobil-mobil lain di jalan raya. Aku menarik nafas. Memandang keluar, lalu memegang tas ku erat-erat.

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang