T I G A

0 0 0
                                    

Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi di ruang psikiater, menyebut dokter itu dengan sebutan "bung". Mengalungkan lengannya seraya melakukan tos dan berbagai macam gaya tangan. Pertanda mereka sangat akrab dan dekat. Lelaki itu juga tampak terkejut dengan kehadiranku tapi buru-buru menawarkan tumpangan di mobilnya. Mengikutiku hingga ke lobi depan bahkan menahan tanganku.

Aku marah sekaligus kesal. Dia terlalu berani padahal kami tidak saling mengenal. Ia bilang, dia juga sahabat psikiater muda bernama Fraklyn dan Harry. Tetap saja aku tidak mau. Aku bersikeras pulang sendiri dan berlari seperti baru saja dikejar anjing gila. Kusebut saja dia anjing gila. Sesampai di apartemen, aku langsung beristirahat. Merebahkan diri di kasur. Harry datang hari ini. Menjelang sore, aku mendengar suara berat dan tidak asing. Harry berdiri didepan pintu apartemen. Membawa  paperbag berukuran besar. Dan ransel yang tersampir di pundaknya.

"Repot sekali" kataku sambil membantunya membawa paperbag dan membantunya menurunkan ransel. Harry berbaring karena kelelahan. Nafasnya tergesa-gesa.

"Apa kau ingin tinggal disini selamanya? Mengapa membawa barang begitu banyak?"

"Aku ingin menghadiri acara reuni angkatan universitas yang ke lima puluh. Sebenarnya aku tidak berniat ikut, tapi karena kau disini. Mengapa tidak sekalian saja?"

"Benarkah? Pasti menyenangkan"

Harry mengerdikkan bahu. Lalu mengusap dahinya yang penuh dengan keringat. Aku merogoh tas yang kubawa saat pergi menemui psikiater alias dokter Fraklyn. Mengeluarkan sapu tangan merah muda dan menyerahkannya pada Harry. " Terimakasih. Bagaimana dengan pertemuannya? Apa kau merasa cocok?"

"Sejauh ini semua baik-baik saja. Aku akan menemuinya hari Jumat. Dia ramah dan sesuai dengan perintahmu. Dia begitu berhati-hati kepadaku"

"Yeaaa...dia takut padaku"

"Tidak juga. Dia hanya menghargai mu sebagai teman. Kau adalah teman baiknya"

"Aku memang cukup disegani oleh mereka. Kupastikan tidak ada hal bisa membuatmu tidak nyaman. Seperti psikiater-psikiater lain. Hanya bertanya. Bla...bla..bla tanpa solusi dan hal yang tidak masuk akal" Harry tertawa dramatis dan aku memukul lengannya. Dia sedang mengejekku. "Mereka berdua, dia dan Austin. Mereka adalah sekumpulan playboy yang telah bertobat. Tukang rusuh dan selalu bergantung padaku waktu kuliah. Kami berbeda jurusan tapi aku membantu mereka mengerjakan penelitian dan makalah. Mereka adalah kawan yang payah. Oh...aku teringat sesuatu, Austin bahkan..."

"Tunggu! Austin? Lelaki yang semalam bertemu denganku bersama Fraklyn? Di ruangannya? Mereka seperti dua saudara kembar yang terlihat sangat begitu menyayangi satu sama lain"

"Ada apa?"

"Dia pria yang menabrakku di bandara. Pria yang membentak ku" kataku dengan begitu yakin. Air muka Harry berubah drastis.

"Apa kau yakin?"

"Tentu saja. Dia terus meminta maaf padaku saat kami saling bertatap muka. Dia juga menawarkan tumpangan padaku di mobilnya. Tapi aku menolak. Karena aku masih marah dan kesal padanya"

Harry terkikik. "Si bodoh itu memang ceroboh. Jadi dia pria yang membuatmu terjatuh dan pingsan"

"Ya" kataku sekali lagi.

"Pelajaran apa yang akan kuberikan padanya?" Harry menggulung lengan pendeknya hingga ke atas. Memperlihatkan otot-ototnya yang lumayan berisi dan padat.

"Jangan berlebihan. Semuanya sudah berlalu. Aku tidak mau mengingat sesuatu yang tidak penting seperti ini"

"Baiklah. Karena semuanya baik-baik saja. Apa yang akan kita makan malam ini?"

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang