S E B E L A S

0 0 0
                                    

"aku lapar"

Aku baru saja merebahkan diri di kasur saat mendengar suara Sean di  tengah kegelapan didalam kamar. Aku bangkit, mengusap kedua mata yang ngantuk berat.

"Aku akan membuatkan roti lapis daging"

Aku menyentuh sakelar lampu. Sekarang lelaki itu duduk di kursi dekat lemari. Lama-kelamaan, rasa gengsinya merendah juga.

"Baiklah" Sean pergi kembali ke kamarnya.

Roti isi daging ayam dengan saus pedas siap. Segelas teh hangat diatas nampan. Aku mengetuk pintu kamarnya. Sean sedang berbaring telentang. Melihatku berdiri dengan kedua tangan memegang makanan hangat, pelan-pelan ia bangkit, duduk ditepi ranjang.

Aku menyodorkan satu sendok potongan roti ke mulutnya. Tanpa kuduga, dia tampak mengunyah rotinya dengan nikmat.

"Aku tidak terlalu pintar memasak. Ini hanya seadanya"

"Ini enak. Rupanya kau pintar masak seperti Jonas"

Aku tersenyum tipis. Walau sebenarnya dalam hatiku sangat gembira. Dia tidak bersikap dingin lagi padaku.

"Bisa aku minta minum?"

"Tentu saja"

Setelah makanannya habis, Sean kembali berbaring. Aku menutupi tubuhnya dengan selimut, lalu membawa piring dan gelas yang tentunya sudah kandas tak bersisa. Baru saja berbalik tiba-tiba Sean memanggilku.

"Terimakasih, Olivia. Maaf kalau selama ini aku bersikap jahat padamu"

"Tidak sama sekali" balasku dengan semangat. Mematikan sakelar lampu dan menutup pintu pelan-pelan.

"Selamat malam, Sean"

Pukul lima pagi, suara-suara berisik yang berasal dari pintu depan membuatku terjaga. Rupanya mereka telah sampai dengan wajah yang mengantuk dan lesu. Ranjang bergoyang, aku yakin itu Ed. Aku berbalik, mendapati Ed membaringkan diri disamping kasur mini size kami.

"Ed?"

"Sssttt. Aku ingin tidur disini" Ed mengusap rambutku, tangannya memeluk pinggangku. Rasanya menjadi sesak dan menegangkan.

"Ed, mereka bisa lihat"

"Jangan pedulikan mereka. Kau tahu, ada gadis yang menggodaku tadi. Dia menari-nari dengan lingerie seksi, menatapku dengan seringai nakal. Aku tidak suka" Ed menyerukkan wajahnya ke leherku. Aku menggeliat, kini kami saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat.

"Kau yakin tidak suka?"

"Tentu saja. Aku punya satu gadis manis dirumah. Bagaimana bisa aku mengkhianatinya?"

"Cihh, aku masih dibawah umur"

"Berapa usiamu sekarang?"

"Lima belas"

"Ulang tahun?"

"Ah" aku terbangun. "Tanggal berapa ini?"

"Dua puluh"

"Besok ulang tahunku" pekikku girang. Sebelah alis Ed menukik tajam. "Kau sudah dewasa, Olivia. Itu artinya sudah bisa berpacaran"

"Apa gunanya pacaran?" Kini aku berbalik membalas tatapan matanya.

"Kau terikat dengan seseorang yang kau cintai. Tidak ada yang bisa menghalangi kalian"

"Itu membosankan"

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang