T U J U H

0 0 0
                                    

Ed mengarahkanku keluar. Kami berjalan menuju lorong sebelah kiri. Terus berjalan beberapa menit hingga sebuah tangga yang panjang menuju ke atas menjulang tinggi tampak berdiri kokoh. Ed menaiki beberapa tangga, lalu menoleh ke belakang melihatku. "Ayo" membiarkan aku berjalan lebih dulu. Aku terus berjalan. Lampu lilin yang redup menjadi penerang sepanjang tangga yang terus kami jalani. Aku mulai kelelahan, sesekali melirik keberadaan Ed dibelakang. Kami tiba di atas. Aku berdiri dengan nafas memburu disusul Ed.

"Lihat!" Ed menunjuk hamparan bintang dan benda langit yang menghiasi angkasa. Aku tertegun.

"Indah sekali" berjalan mengitari lantai semen atap bangunan yang hampir roboh tempat kami tinggal. Di bawah, hamparan rumput ilalang dan pohon-pohon menghiasi halaman belakang. Cahaya bulan sabit terang benderang. Membentuk bayangan di bawah benda yang menerpa cahayanya. Suara jangkrik dan hewan-hewan aneh beradu.

"Kau suka?"

Aku mengangguk senang.

"Sebenarnya ini tempat favorit Sean. Dia sering pergi sendirian, menatap cahaya rembulan sambil minum sebotol vodka. Aku pernah mengintipnya sedang bernyanyi, suaranya lumayan bagus. Aku juga pernah melihatnya menangis, mengeluarkan air mata. Dia manusia biasa yang bisa bersedih, jadi jangan terlalu mengambil hati jika dia bersikap acuh padamu"

"Aku tidak berpikir begitu"

"Baguslah." Ed merebahkan diri di salah satu dari tiga kursi yang teronggok di dekat kami. Merebahkan diri sambil memandangi berbagai cahaya yang menghiasi langit.

"Apa menurutmu kami aneh?" Ed menoleh ke arahku. Aku berjalan mendekat. Ikut duduk di sebelahnya.

"Tidak sama sekali. Kalian justru sempurna. Seperti keluarga yang utuh. Ada ibu, ayah dan anak-anak. Berdoa sebelum makan, bekerja sama dan saling bergurau satu sama lain"

"Keluarga? Baiklah, aku tahu siapa yang kau maksud. Ayahnya adalah Sean, kan?"

"Boleh juga"

"Tidak mungkin aku atau Jaden. Dia jauh lebih pantas. Sedangkan aku dan Jaden adalah anak-anak yang lucu"

Aku menahan tawa.

"Bagaimana rasanya punya keluarga betulan? Ada ayah, ibu dan saudara?"

Aku menoleh, memperhatikan Ed yang masih setia memandangi langit.

"Aku tidak punya saudara. Aku tinggal bersama dengan ayah dan ibuku. Kami berasal dari Bjark selatan, bagian terpencil. Aku lahir dan besar disana. Ibuku suka merangkai bunga, menghias ruang tamu dan membuat kue. Dia terampil merajut tas. Dia mengajarkanku, jadi aku tahu sedikit-sedikit. Ayah bekerja sebagai pengusaha. Setiap pagi dia berangkat dengan jas dan sepatu pantofel mengkilap. Mengendarai mobil.

Kami hidup dengan bahagia. Aku suka melukis, berenang di sungai dekat rumah dan memberi makan kelinci dan angsa. Aku suka hujan, matahari tenggelam dan secangkir caramel macchiato buatan ibu. Suatu kali aku pernah bilang pada ayah untuk ikut ke kantor tempatnya bekerja, tapi ayah menolak. Dia bilang dia selalu sibuk sehingga tidak bisa mengajakku keliling kantornya. Waktu berjalan begitu cepat hingga usiaku sembilan tahun. Diam-diam aku menaiki angkutan umum melalui jalan perbatasan untuk bertemu dengan ayah. Sesampainya di kota, aku memberi alamat tempat kantor ayah berada. Supir taxi itu membawaku ke depan sebuah tempat pembuangan sampah raksasa yang berasap dan berbau busuk. Dia bilang alamat yang kuberikan ada disitu. Di tempat sampah itu.

Saat berjalan dengan kedua tangan yang menempel di hidung, aku mendengar suara seseorang yang tidak asing. Aku bersembunyi di balik tumpukan besi berkarat yang menjulang tinggi. Itu adalah suara ayahku. Dia sedang berbicara dengan seseorang di sampingnya. Mereka memakai topi berwarna kuning dengan jaket oranye gelap yang kumuh dan kotor. Kakinya dilapisi sepatu boot coklat yang besar dan tebal.

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang