S E M B I L A N

0 0 0
                                    

Kami pulang ke apartemen sekitar pukul sebelas malam. Aku membaringkan badan di sofa, sementara Harry sedang fokus di depan laptop. Bekerja.

"Kau pasti kelelahan, Harry"

"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Lagipula aku akan kembali besok pagi. Kami mengadakan rapat Jumat pagi. Aku harus segera kesana. Sedikit lagi dan selesai." Harry menutup laptop. Waktu menunjukkan pukul dua belas.

"Selamat malam, oh, apa Austin mengatakan sesuatu?"

"Tidak ada"

"Dia memang suka merayu wanita. Tidak usah marah atau merasa bahwa omongannya benar. Dia suka menjanji-janjikan sesuatu pada wanita dan memberi mereka harapan palsu"

"Aku tahu. Aku bisa merasakan tatapan matanya yang genit"

Harry terkekeh. "Selamat malam"

"Selamat malam, Harry"

                            ****
Aku berusaha memejamkan mata. Menarik selimut hingga menutupi semua tubuhku. Termasuk kepala. Tetap tidak mau tidur. Aku memutuskan keluar dari kamar. Mendapati Ed sedang tertidur pulas di sofa. Tadi mereka sempat berdebat soal tempat tidur. Dengan murah hati, Ed mempersilahkanku tidur di kasurnya, sementara ia tidur di sofa. Aku menarik selimut tebalku, menutupi tubuh Ed agar tidak kedinginan.

Baru saja berbalik, Ed memanggilku.

"Ada apa?"

"Apa kau kedinginan?"

"Tidak terlalu."

Ed mengucek kedua mata. Menyibak selimut lalu membuka kedua tangannya lebar-lebar.

"Kemarilah bersamaku"

"Tidak perlu. Aku akan kembali ke kamar. Kau tidurlah. Pasti sangat dingin, tidur di luar"

"Olivia, kemarilah. Sofa ini masih muat untuk kita berdua. Kita hanya tidur. Hanya tidur! Kau bisa kedinginan kalau tidak pakai selimut" Ed menepuk-nepuk sofa. "Kemarilah"

Aku berjalan mendekat. Berbaring menyamping. Sementara Ed menutupiku dengan selimut. Jantungku berdetak cepat. Hembusan nafas hangat Ed membuat tengkukku merinding. Aku berusaha memejamkan mata. Beberapa saat kemudian suara dengkur yang berasal dari belakang mengejutkanku.

Dia sudah tidur rupanya.

Jam dinding berdetak teratur. Pukul empat pagi. Aku terbangun, mengucek kedua mata, berjalan menuju dapur. Sejujurnya aku tidak tahu harus melakukan apa. Panci, wajan dan barang-barang dapur tersusun rapi.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Astaga" kataku sambil berbalik. Sean berdiri sambil berkacak pinggang.

"Aku ingin memasak sesuatu untuk sarapan. Tapi aku tidak tahu dimana bahannya" Sean berjalan mendekat, mengambil panci dibawah kompor, didekatku berdiri, membuatku menghindar.

"Ada di balik gorden" Sean menyalakan kompor. Mengisi panci dengan segelas air. Setelah airnya mendidih, Sean menyibak gorden kecil yang dipasang didekat meja makan. Ada banyak makanan di lemari besar. Sean mengambil sekotak kopi sachet dan menyeduhnya. Duduk di meja makan sambil memantik rokok. Aku semakin gugup. Memperhatikan lemari berisi bahan makanan untuk waktu yang lama. Mengambil beberapa sayuran.

Tak lama kemudian Jonas datang. "sudah bangun, ya. Bagaimana kalau kita masak sop ikan?"

"Kedengarannya enak"

Jonas membuka pintu lain di dekat lemari, sebuah lemari es berukuran besar dengan isi penuh. Ada banyak daging ayam, daging babi, ikan tuna dan lain-lain.

"Kami makan enak jika dapat berlian saja. Kalau tidak ada barang jarahan, kami hanya makan makanan kaleng, iya,kan, Sean?"  Jonas terkikik sambil menggeser pintu lemari. Mengambil satu potongan-potongan ikan tuna. Sementara aku menyodorkan wadah besar tempat ikan.

Sesekali Jonas bernyanyi. Kadang ia juga berbicara tentang Ed dan Jaden padaku. Kami tertawa. Sementara Sean duduk dengan tenang sambil menikmati kopinya. Setelah ikannya masak, kami makan bersama. Ed yang memimpin doa.

Begitulah seterusnya. Tidak terasa, aku tinggal dirumah mereka selama enam bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Seperti kata Jonas. Jika mereka dapat berlian, kami akan makan-makanan enak. Tapi jika tidak, kami hanya makan-makanan kaleng. Tapi sungguh aku bersyukur mengenal mereka. Sean tetap sama seperti itu. Diam, sesekali ikut berbicara tapi kadang juga suka berlelucon jika aku tidak ada didekat mereka. Misalnya jika aku sedang dikamar. Atau sedang membersihkan area dapur. Karena aku bertugas di rumah, Jonas mulai ikut bersama mereka. Pergi malam hari. Kadang mereka pergi selama beberapa hari, tapi terkadang cepat pulang jika tidak ada apapun.

Hari ini mereka cepat pulang. Sean terluka parah karena diserang sekelompok perampok yang juga ingin mencuri beberapa barang berharga yang bisa dijual dari pabrik plastik. Mereka berkelahi,tapi Jaden dan Jonas datang terlambat. Sean dan Ed bertarung melawan mereka. Beberapa bagian tubuh Sean terluka karena sabetan benda tajam. Sementara wajah Ed babak belur.

Kami semua terdiam. Jonas membalut luka Sean sementara aku membantu mengompres wajah Ed. Aku tidak berani melihat luka Sean. Terlalu mengerikan melihat darah segar yang mengalir dari berbagai luka yang menganga. Tapi ia tampak biasa saja, bahkan tertawa ketika Jonas mengatakan sesuatu.

Melihat mereka bersendau gurau ditengah-tengah keadaan yang seharusnya menegang, aku bisa merasakan tatapan mata Ed yang terus tertuju padaku. Sesekali aku harus pura-pura tertawa untuk menghindari kecanggungan antara kami.

"Olivia" panggilnya dengan suara serak.

"Ya?"

"Disini juga sakit" ucapnya sambil mengarahkan tanganku di bagian dada kirinya. Menggenggamnya begitu erat dengan pandangan mata yang tak berpaling sejak tadi. Sontak aku tergugup. Sekarang irama jantungku berdegup kencang.

"Sakit sekali,ya?"

Tanpa tedeng aling-aling, Ed menyingkap kaosnya. Memperlihatkan dada bidangnya yang penuh luka lebam dan membiru.

"Ya, Tuhan" kataku sambil memeras kain dengan air hangat dan meletakkannya di dada Ed.

"Apa kau mendengar sesuatu?"

"Mendengar apa?" Sesekali kain itu berpindah ke bagian luka yang lain.

"Ada bunyi yang begitu keras. Apa tidak kedengaran sama sekali?"

"Bunyi apa?" Tanyaku sekali lagi. Kegugupanku bertambah ketika Ed mengusap rambutku dengan lembut, lalu mendekatkan kepalaku ke dadanya.

"Detak jantungku" bisiknya lirih.

"Apa obat merahnya masih cukup,Jad?"

Mendengar teriakan Jonas memanggil Jaden saat lelaki itu sedang mengambil persediaan obat di kamar, aku menjauh dari Ed. Detak jantungku semakin memburu saat pria itu mendekatkan wajahnya ke telingaku.

"Santai saja. Aku hanya bercanda" bisiknya lalu tertawa. Aku menepuk dadanya, membuat Ed meringis dan protes karena aku menambah rasa sakit di lukanya.

"Rasakan sendiri. Siapa suruh bersikap konyol seperti itu"

"Hahahaha"

                            

AUSTIN (Sean)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang