"Baru pulang lo?" Baru masuk ke rumah, Kiara langsung dilempari pertanyaan—yang kesannya lebih terdengar seperti interogasi—oleh Jehan. "Abis dari mana aja? Keluyuran lo?"
Mata Kiara memanas, sudut matanya berembun. Ingin sekali dia mengadukan semua orang yang membully-nya di sekolah tadi pada Jehan. Tapi Kiara sadar, perlakuan Jehan dan Elgar padanya sebelas dua belas—sama saja tak ada beda.
Jadilah Kiara hanya bisa diam, menatap lamat-lamat sang Abang.
"Papa udah nelpon berkali-kali ke elo tapi sama sekali ga diangkat. Dia mau jemput lo tapi ga bisa karena harus nemenin bosnya meeting. Makanya lo dititipin ke gue sekarang."
Papa sebenarnya juga sudah menyuruh Jehan agar menjemput Kiara. Tapi dia hanya mengiyakan tanpa melaksanakan.
Tak menyahut, Kiara tetap membisu.
Ketika diperhatikan lebih detil, kondisi Kiara saat ini membuat kerutan di dahi Jehan muncul. Penasaran, dia bertanya, "Lo abis dibully?"
Bibir Kiara berkedut menahan tangis. Saat ini ia butuh pelukan agar bisa menenangkan batinnya yang sedang tergoncang. Riak sendu di matanya terarah ke netra cokelat Jehan.
Namun berikutnya yang terdengar malah tawa lantang Jehan. Berkata dia, "Jadi lo beneran dibully? HAHAHA!"
Susah payah Kiara meneguk salivanya. Sudah dibilang bukan, kalau Jehan dan Elgar sama saja? Sama-sama tak punya hati.
"Coba sini liat, apa aja yang dibully?!" Jehan mendekat, lantas menyibak kain selimut yang membalut tubuh Kiara secara paksa.
Laki-laki itu sedikit tercengang mendapati seragam sekolah Kiara sobek-sobek dan menampakkan beberapa bagian tubuhnya. Dia membidikkan maniknya tepat ke pupil sang adik yang berembun, sedangkan bibir kecilnya tertekuk ke bawah dan bergetar.
Jehan tahu Kiara sedang menahan tangisnya agar tak pecah. Itu semakin membuat Jehan tak tahan ingin menertawakan adiknya.
"Cuman gini doang?" Jehan lagi-lagi bersuara, tak lupa diakhiri gelak tawa atas derita Kiara.
"Apa yang lucu, Bang?" Tenggorokan Kiara tercekat, suaranya bergetar mati-matian menahan tangis.
"Masih nanya lo?" Jehan bersidekap. "Lo lawak. Anak manjanya papa dibully. Suka nih gue."
Tega, deh.
"Bang Jehan jahat!" Kiara menghentakkan kakinya, capcus dari sana dengan air mata yang siap meluncur sebentar lagi.
Brak!
Keras-keras Kiara banting pintu kamarnya. Biar saja. Supaya Jehan tahu kalau Kiara tidak suka ditertawakan. Apalagi ini bukan hal sepele. Bullying tidak hanya melukai fisik Kiara tapi juga batin dan hatinya.
Kiara bersandar di pintu kamarnya yang tertutup rapat. Perlahan tubuhnya menggelosor, lututnya ia tekuk dan dipeluk erat. Tangisnya pecah, seketika rindu pada papa.
"Gue bakal aduin orang-orang jahat itu ke papa..." tangis Kiara.
"Kiara!" Tanpa diduga, Jehan malah mengetuk pintu kamar ini. "Kiara! Gue belum selesai ngomong!"
Kiara mendongakkan kepalanya, dia menoleh ke pintu di belakangnya tersebut dengan alis bertaut.
"Apa lagi sih, Bang?" Terpaksa, Kiara pun membuka pintu lagi.
Jehan bersandar di bingkai pintu, ekspresinya kembali santai dan normal. Kata dia, "Lo ga boleh kasih tau papa soal ini. Lo ga boleh ngadu. Kalo lo dibully, lo harus selesaikan sendiri. Jangan cepu ke papa."
Kiara mengernyit.
Jehan tahu kata-katanya belum sepenuhnya dimengerti Kiara. Maka, dia pun melanjutkan, "Iya, Ki. Kalo lo cepu ke papa, masalahnya ga akan pernah kelar. Lo harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Jangan manja. Masa segitu doang cepu? Lembek lo."
Tak tahu harus berkata apa, Kiara hanya diam.
"Papa udah banyak beban pikiran. Kalo lo ngadu kesakitan lo ini ke dia, apa lo ga kasian? Mending jangan ngadu. Sembunyiin dan pendem. Jadi anak yang baik dengan merahasiakan semua itu."
Agak menyakitkan, tapi menurut Kiara, ucapan Jehan ada benarnya juga...
***
Walau luka-luka di tubuhnya terasa perih apalagi saat terkena sabun, susah payah akhirnya Kiara selesai mandi. Cewek itu dengan handuk melilit tubuh kurusnya dan handuk lain digunakan mengeringkan rambut, mendudukkan diri di sisi kasur.
Sedikit-sedikit mulutnya melontarkan ringisan karena luka-lukanya terasa berdenyut nyeri dan keperihan. Mencari kotak P3K, Kiara berniat mengobati luka-luka tersebut.
"Awh sakit banget," ringis Kiara kala obat merah ditekankan ke lukanya menggunakan kapas.
Sakit rasanya, tapi Kiara memaksakan luka-lukanya diobati supaya cepat sembuh. Dia juga membalut dengan perban, menempelkan plester, dan mengoleskan salep. Selepasnya, cewek itu duduk diam menatap pantulan dirinya di cermin meja rias.
"Kok mereka tega sih, salah gue apa?" Nyeri terasa. Bukan di luka fisiknya, tapi luka di hati dan batinnya.
Grek!
Pintu dibuka. Kontan kepala Kiara tertoleh ke arahnya. Ternyata itu adalah Jehan, masuk membawa sepiring nasi tanpa lauk.
"Makan nih."
Cuma itu, kemudian Jehan hendak berbalik pergi setelah menaruh kasar piring itu di meja. Kiara melihatnya dan menghentikan laki-laki itu dengan suaranya.
"Lauknya mana, Bang?"
Jehan menoleh sedikit, membalas tatapan Kiara lewat ekor matanya.
"Ga ada. Ga usah nyari di dapur, makan aja itu nasi. Lo harusnya bersyukur masih bisa makan."
Jehan melanjutkan langkah.
Kiara memejamkan mata kala bunyi gebrakan pintu yang ditutup berdebam. Dengan langkah pelan ia hampiri nasi di meja itu, nanar matanya berpendar.
Beberapa pertanyaan mondar-mandir di sekitar otaknya. Semisal, kenapa dia tidak diberi lauk? Apakah lauknya benar tidak ada? Dan terpenting, kenapa Jehan repot-repot mengambilkan nasi untuknya? Mengapa pula dia tidak boleh mencari lauk di dapur?
Sementara Kiara memaksakan nasi tanpa lauk itu masuk ke perutnya, Jehan di dapur sedang puas menikmati makanan yang enak-enak. Yang seharusnya ayam kentucky diberikan untuk Kiara juga, dia hanya memberikan nasi untuk sang adik.
"Hahaha, rasain si Ara cuman makan nasi. Biar semua lauknya buat gue."
Tadi memang ada kurir go food yang mengantar makanan. Ternyata papa yang memesan untuk Jehan dan Kiara di rumah. Jehan menerimanya, dan membawa ke dapur tanpa sepengetahuan Kiara.
"Wih, pesta lo? Banyak amat nih makanan."
Kegiatan makan Jehan terhenti ketika tahu-tahu Elgar masuk ke dapur. Adik keduanya itu langsung mendudukkan diri di salah satu kursi dan mencomot paha ayam krispi.
"Heh tangan lo," tegur Jehan, tatapannya tajam.
"Tangan gue ada dua, jarinya sepuluh. Emang kenapa?" Elgar menanggapinya santai, sengaja memancing emosi abangnya yang congkak. Satu kakinya ditekuk, dinaikkan ke kursi yang didudukinya.
Jehan berdecak. "Ngapain lo pulang? Masih inget rumah? Sono pergi. Lo ganggu."
"Itu derita lo. Gue hidup emang buat ganggu orang." Kali ini tangan Elgar meraih kentang goreng.
Kini bibir Jehan mengukir sebuah senyum. Senyum miring. "Part pertarungan lo sama papa belom kelar. Lo yakin lo aman dari tangan papa? Kalo gue jadi lo, gue ga akan pernah pulang."
Seketika, Elgar menghentikan kunyahannya.
•
•
•
•
•BERSAMBUNG...
KAMU SEDANG MEMBACA
ANIMOUS #1 | Bullying Is Scary [ END ]
RandomResiko menjadi adik perempuan dari seorang ketua geng motor. Kiara Angelica Ertama awalnya sama seperti cewek-cewek pada umumnya. Sekolah yang tenang, punya teman dekat, orangtua yang penyayang. Yang dia tidak miliki hanyalah, pacar dan perhatian da...